11 Maret 2014

MindWeb Papua: Mikir Papua Tanpa Mikir

Oleh: Heimas

Pada awal Februari lalu melalui Facebook, seorang teman (Brigjen T. Irwan Amrun) merekomendasikan sebuah buku tulisan Bpk. Eka Wartana berjudul: “MindWeb A New Way of Thinking, Konsep Berpikir Tanpa Mikir” kepada saya. Pada saat itu saya diminta untuk melihat slide presentasinya dan setelahnya langsung saya simpulkan bahwa ini adalah sebuah berlian tidak hanya bagi saya tetapi juga bagi siapa saja. Melalui Facebook juga saya berkenalan dengan sang penulis, dan saya sampaikan apresiasi atas buku tersebut, sekaligus akan saya uji pemahaman saya atas konsep berpikir tersebut.

Langkah 1: Menentukan Topik. Topik yang saya pilih adalah Papua.

Langkah 2: Membuat kerangka utama MindWeb dengan mencari hal-hal utama yang berhubungan dengan topiknya (langkah ini tidak saya gunakan).

Langkah 3: Mencari perincian yang lebih detail dari kerangka utama. Dalam contoh ini saya menggunakan 8 informasi, yaitu: Otsus, kekayaan alam, rakyat marjinal, Papua Merdeka, isu HAM, New York Agreement, MRP dan Tungku Tiga Kaki. Ini merupakan informasi yang seketika terbersit dibenak ketika saya membayangkan masalah Papua.

Langkah 4: Membuat rangkaian keterkaitan antar informasi. Menurut Pak Eka Wartana, langkah pembuatan MindWeb itu sederhana, namun yang sedikit memerlukan “keringat” adalah mencari informasi yang terkait dan mencari hubungan logis antar informasi-informasi tersebut. Berikut ini adalah desain MindWeb yang saya coba buat dan dilengkapi oleh Pak Eka Wartana (tambahan garis koneksi warna biru).

MindWeb Revisi Pak EkaSelanjutnya saya coba gambarkan hubungan logis antar informasi-informasi dalam bentuk chart sebagai berikut:

Chart 1 Chart 2Pada chart pertama, hubungan logis antara informasi Tungku Tiga Kaki dan Otsus saya uraikan sebagai berikut:

  • Tungku Tiga Kaki: Adat-Gereja/Agama-Pemerintah merupakan filosofi luhur sejak dahulu kala berkaitan pembangunan di Tanah Papua.
  • Otsus hanya ditopang oleh 1 kaki saja yaitu: “Pemerintah”, Adat dan Gereja/Agama tidak difungsikan sebagaimana seharusnya.
  • Apapun yang diolah dalam “Tungku Pembangunan” tidak akan berjalan baik dan menghasilkan manfaat karena Tungku Pembangunan hanya bertumpu pada 1 kaki saja.

Mengingat topik ini berkaitan dengan permasalahan di Papua, saya coba memberikan prospek untuk solusi, antara lain:

  • Memfungsikan Adat dengan membentuk Badan Peradilan Adat untuk menangani Perang Suku, Konflik Tanah, maupun perkara-perkara yang bisa diselesaikan menggunakan hukum Adat.
  • Membentuk Badan Pertanahan Adat untuk menjembatani hak ulayat yang dimiliki masyarakat Adat dengan Hak Tanah yang diatur oleh Undang-undang Pertanahan, agar fungsi sosial tanah masih tetap bisa dirasakan oleh Rakyat Papua sekalipun telah dimanfaatkan untuk fungsi ekonomi.
    • Keberadaan badan-badan Adat sekaligus juga dapat memberdayakan MRP yang sering membuat Jakarta sakit kepala, karena yang seharusnya MRP mengurusi masalah kultural menjadi mengurusi politik.
    • Masih cukup banyak solusi-solusi kreatif lainnya berkaitan dengan pemberdayaan Adat jika kita sungguh-sungguh ingin membangun Papua melalui Otsus.

Pada chart kedua, hubungan logis antara informasi MRP dan Otsus uraiannya adalah sebagai berikut:

  • MRP merupakan hal sangat spesifik dari Otsus yang merupakan kompromi politik atas tuntutan Papua Merdeka dan hanya ada di Papua (dan Papua Barat yang keberadaannya tidak dikehendaki).
  • MRP merupakan lembaga kultural tertinggi, artinya pemerintah mengakui kultur rakyat Papua (Adat-Gereja/Agama-Perempuan), namun tidak diberdayakan sebagaimana seharusnya dalam ruang Otsus sehingga akhirnya MRP malah terjebak mengurusi politik.
  • Banyak persoalan-persoalan Papua yang dapat diselesaikan secara kultural, seperti perdamaian Perang Suku, perzinaan, pencurian diantara masyarakat asli Papua.
  • MRP masih hanya sebatas memberikan pertimbangan, belum pada level action, padahal Adat sesungguhnya merupakan embrio pemerintahan modern yang memiliki fungsi eksekutif, legislatif bahkan yudikatif.

Prospek solusi yang bisa dikembangkan:

  • MRP diberikan ruang untuk melakukan action secara kultural, misalnya dengan dilengkapi Badan-badan seperti: Badan Pertanahan Adat, Badan Pengadilan Adat, Polisi Adat, dsb. Dari aspek pemerintahan, rakyat Papua telah mengimplementasikan self-determination, karena hampir semua bidang pemerintahan diatur langsung oleh rakyat asli Papua. Alangkah baiknya bila dari aspek Adat, Gereja/Agama dan Perempuan diberikan ruang melakukan self-determination (dalam bingkai NKRI), sehingga tidak ada lagi kehendak rakyat Papua untuk melakukan self-determination sebagaimana yang selama ini dituntut (diluar bingkai NKRI).
  • Sebaiknya Adat-Gereja/Agama-Perempuan memperoleh alokasi anggaran Otsus secara tetap untuk memberikan ruang mengatur anggaran sendiri. Selama ini salah satu yang menjadi kecemburuan MRP terhadap Pemda Papua dan DPRP adalah masalah anggaran ini. Jika MRP telah berdaya, sebenarnya cukup banyak sumber-sumber anggaran yang bisa langsung dikelola MRP, seperti sharing dana dari investor berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah ulayat, pengaturan dan penerimaan retribusi berkaitan dengan pemanfaatan tanah ulayat, dsb.

Demikian sekilas penerapan konsep MindWeb berkaitan permasalahan Papua. Konsep MindWeb ini tentunya dapat digunakan untuk beragam hal. yang berkaitan dengan berpikir. Dan yang saya rasakan, konsep MindWeb dapat menyederhanakan tidak hanya cara berpikir namun rekam pikiran dalam bentuk tulisan.

Selamat mencoba.

                   Buku MindWebTanda Tangan Pak Eka

Baca selengkapnya . . .

07 Maret 2014

Teknologi Informasi Dalam Perang Hibrida

Oleh: Budiman S.Pratomo [Kasubdis Binfung Disinfolahtad]

Pendahuluan

Perang hibrida merupakan istilah yang masih asing di telinga kita sebagai anggota TNI. Namun sebenarnya hal ini sudah akrab bagi TNI karena konsep ini sebenarnya merupakan konsep “perang rakyat” yang menggunakan segala daya upaya dan sumber daya agar tidak dapat dikalahkan oleh lawan, perbedaannya hanyalah penggunaan senjatanya yang meliputi nuklir dan teknologi cyber. Konsep perang inilah yang masih diyakini kehebatannya oleh banyak kalangan terutama oleh para pendahulu kita. Istilah ini sebenarnya apabila dirunut berawal dari metafora untuk menggambarkan tuntutan medan perang modern oleh Jenderal (Mar) Charles C. Krulak tentang tantangan yang dihadapi oleh marinir Amerika Serikat (AS) ketika bertugas di "negara gagal" seperti Somalia dan bekas Yugoslavia. Krulak menyadari bahwa medan perang masa depan adalah: terjadi di perkotaan, sifatnya asimetris, situasinya sulit membedakan antara pejuang dan non kombatan, dan persenjataan canggih sudah tersedia dengan mudah untuk semua pihak. Krulak menyebutnya dalam istilah perang tiga blok (Three Block War), “Anda berjuang seperti iblis pada satu blok, Anda berbuat baik menyerahkan bantuan kemanusiaan di blok berikutnya, dan Anda harus berjuang untuk tetap menjaga supaya kedua faksi tidak bertikai di blok yang berikutnya”. (Marine Corps Gazette, edisi 1999).

Apapun bentuk perangnya, yang harus selalu diingat adalah bahwa yang menjadi musuh adalah manusia, karena manusia maka selalu mempunyai kemampuan kreatif untuk tidak dapat ditaklukkan. Akibatnya, walaupun secara militer konvensional mudah ditaklukkan namun selalu saja musuh tersebut siap untuk berperang walaupun tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan secara internasional. Keunggulan konvensional satu negara akan menciptakan ide baru bagi negara-negara dan aktor non-negara untuk bergerak keluar dari modus perang konvensional dan mencari kemampuan lain yang merupakan kombinasi dari teknologi dan taktik untuk mendapatkan keuntungan. Oleh AS, kelompok ini dikenal sebagai penantang tidak teratur (irregular challengers) yang meliputi aktor-aktor yang bermain dalam terorisme, pemberontakan, perang terbatas, perang gerilya, dan perang narkoba. Kelompok-kelompok ini akan mengeksploitasi keuntungan taktis pada waktu dan tempat yang mereka pilih sendiri, dan memperbesar keuntungan mereka melalui media dan perang informasi, untuk melemahkan AS. Ini lah yang disebut oleh mereka dengan perang hibrida. Perang jenis ini tidak bisa dimenangkan dengan hanya berfokus pada kekuatan teknologi, namun juga dengan memerhatikan aspek sosial budaya dan aspek lain dalam masyarakat. (Proceedings Magazine, Issue: November 2005 Vol. 132/11/1,233 Future Warfare: The Rise of Hybrid Wars oleh Letnan Jenderal James N. Mattis, USMC, dan Letkol (Purn) Frank Hoffman, USMCR ). Aspek sosial budaya dan aspek lain dalam masyarakat mulai mendapatkan perhatian di kalangan militer Amerika, oleh karenanya untuk menghadapi perang hibrida ini mereka mengembangkan konsep yang disebut sebagai Human Terrain Systems (HTS). Konsep HTS ini pertama kali dikembangkan oleh anthropolog Montgomery McFate pada tahun 2005, sebagai respons terhadap kesenjangan antara komandan dan staf tentang pemahaman terhadap penduduk dan budaya setempat, terutama ketika melakukan invasi ke Irak dan Afghanistan. HTS ternyata bukan hal yang asing bagi TNI AD karena apabila dipadankan tidak lain dan tidak bukan adalah konsep pembinaan teritorial.

Walaupun perang jenis ini tidak bisa dimenangkan dengan hanya berfokus pada teknologi saja, namun peran teknologi / alutsista dalam satu perang masih tetap dominan seperti misalnya penggunaan Teknologi Informasi dalam memperbesar kemampuan perang informasi dan cyber war. Oleh karena itu, menghadapi kemungkinan ancaman perang hibrida tersebut, TNI AD harus mampu merespon dan segera beradaptasi dengan situasi yang berkembang khususnya di bidang teknologi informasi agar dapat mengantisipasi serta mengatasinya secara lebih cepat dan tepat.

Tulisan ini akan membahas mengenai pengertian perang hibrida, apa implikasinya terhadap TNI AD, pelajaran apa yang bisa dipetik, apa yang harus dilakukan oleh TNI AD, dan bagaimana teknologi informasi akan sangat berperan dalam menentukan kemenangan perang hibrida ini khususnya melalui konsep cyber warfare sebagai salah satu payung dalam perang informasi dengan memanfaatkan semua channel/saluran/ media massa untuk secara sistematis dan terus menerus mempengaruhi pikiran dan perasaan masyarakatnya melalui pembinaan teritorial.

Apa itu Perang Hibrida

Sejauh ini, apabila kita mendengar kata hibrida, maka bayangan kita langsung teringat dengan masalah pertanian, karena istilah ini yang paling sering terkenal dulu-dulunya selalu terkait dengan kelapa hibrida. Namun ternyata istilah hibrida juga berlaku dalam dunia perang, kita mendengar hal ini dari rangkuman amanat Panglima TNI yang mengingatkan para prajuritnya agar siap-siap menghadapi perang baru yang bernama perang hibrida, seperti yang beliau sampaikan dalam upacara hari Senin, tanggal 18 Februari 2013 (http://www.tni.mil.id/view-45760-amanat-panglima-tni-pada-upacara-bendera-17-an-tanggal-18-februari-2013.html).

Untuk lebih memahami tentang istilah hibrida ini, mari kita lihat beberapa definisi mengenai kata hibrida tersebut. Dalam istilah biologi, hibrida identik dengan heterozigot: setiap anak yang dihasilkan dari perkawinan dua individu secara genetik berbeda, artinya kombinasi antara gen yang berbeda. Dalam bidang elektronika, hibrida menggambarkan kombinasi dari produsen listrik dan sarana untuk menyimpan tenaga dalam media penyimpanan energi. Sistem hibrida, seperti namanya, menggabungkan dua atau lebih mode pembangkit listrik bersama-sama. Di bidang otomotif, mobil hibrida adalah mobil yang menggunakan energi dari listrik dan juga bisa dari bahan bakar fosil. Sedangkan di bidang komputer adalah merupakan gabungan antara kemampuan komputer analog dan komputer digital. Dengan demikian istilah hibrida intinya adalah merupakan gabungan dari beberapa hal yang berbeda, sehingga dengan demikian perang hibrida secara logika adalah penggabungan beberapa jenis perang yang meliputi perang konvensional dan inkonvensional.

Apabila kita ingin lebih tahu tentang definisi Perang Hibrida dan bertanya kepada Google dengan mengetikkan “define:hybrid war”, karena belum ada dalam kamus umum maka jawabannya adalah definisi versi Wikipedia yaitu “strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang tidak teratur dan cyber warfare”. Selain itu, perang hibrida digunakan untuk menggambarkan serangan senjata nuklir, biologi dan kimia, alat peledak improvisasi dan perang informasi.

Lebih lanjut apabila kita mengacu pada pendapat dari para ahli yang mendalami teori mengenai perang hibrida maka kita akan mendapatkan hal-hal yang kurang lebih sama. Salah satunya adalah Frank Hoffman yang mendefinisikan perang hibrida sebagai setiap musuh yang menggunakan secara bersama dan mengkombinasikan senjata konvensional, perang tidak teratur, terorisme dan cara kriminal dalam pertempuran untuk mencapai tujuan politis (Conflict in 21st Century: The Rise of Hybrid Wars)

Sedangkan pengertian yang tertulis dalam amanat Panglima TNI yang kemungkinan besar mengadopsi definisi dari Wikipedia dinyatakan bahwa “perang hibrida ~ hybrid war, yaitu sebuah strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang yang tidak teratur dan ancaman cyber warfare, baik berupa serangan nuklir, senjata biologi dan kimia, alat peledak improvisasi dan perang informasi”.

Lalu bagaimana kita mengartikan perang hibrida ini dalam konteks yang mudah dimengerti? Untuk memudahkan pemahaman kita barangkali ada contoh yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat yaitu perang di medan Kurusetra dalam ceritera pewayangan yang melibatkan pihak Pendawa dan Kurawa. Perang Kurusetra merupakan perang 18 hari yang berakhir dengan kemenangan pihak Pendawa, merupakan gambaran perang hibrida yang rasanya lebih mudah dimengerti. Perang tersebut meliputi perang konvensional karena mempunyai aturan perang dan dilakukan dalam formasi-formasi tertentu, senjata yang digunakan pun deskripsinya sudah mengarah kepada senjata nuklir saat ini (hanya saja saat itu hanya berupa panah, gada, pedang, cakra dan sejenisnya namun deskripsi ketika senjata itu digunakan efeknya sama dengan efek senjata nuklir saat ini), perang irreguler (menjadikan Srikandi tameng padahal bukan regular forces), asimetrik (Gatutkaca sendirian melawan pasukan yang besar) serta perang informasi (lebih tepatnya disinformasi dan rekayasa informasi dengan menyebarkan informasi terbunuhnya gajah bernama Aswatama yang merupakan faktor penentu kemenangan perang). Secara umum dapat disimpulkan bahwa perang hibrida intinya adalah gabungan berbagai jenis perang yang biasanya dilakukan oleh pihak yang lebih lemah untuk melawan pihak yang lebih kuat secara konvensional. Inilah barangkali gambaran sederhana yang lebih mudah dimengerti tentang apa itu perang hibrida.

Apabila dicermati ternyata para penulis Amerika ketika membicarakan perang hibrida secara khusus adalah membahas tentang kasus-kasus perang di Irak, Afganistan dan Libanon yang bisa dipastikan ini adalah konsep perlawanan atau perjuangan yang mengusung konsep gerilya, perang kota, asimetris, menggunakan persenjataan canggih, dan perang informasi dengan memanfaatkan segala upaya untuk dapat bertahan melawan agresor dan mengusirnya keluar dari negaranya. Apabila mengacu pada hal ini maka situasinya kira-kira kembali sama ketika Indonesia mengalami perjuangan fisik yang tidak lain adalah people’s war yang merupakan perang inkonvensional dan tidak teratur (irregular) namun sesuai kondisi saat ini dengan kesulitan yang lebih tinggi karena sudah memanfaatkan teknologi informasi seperti yang digunakan dalam cyber war. Hal ini selaras dengan apa yang digambarkan oleh Seth G. Jones melalui The Future of Irregular Warfare yang menyatakan bahwa kelompok insurjen dan teroris memanfaatkan internet untuk berkomunikasi, mendistribusikan propaganda, merekrut anggotanya dan tugas-tugas lainnya yang menambah kompleksitas perang tersebut (RAND Corporation, 2012)

Bagaimana Implikasinya terhadap TNI AD

Martin van Creveld, profesor emeritus, seorang ahli militer dari Israel penulis buku The Transformation of War, meramalkan bahwa konflik militer konvensional antar angkatan bersenjata reguler akan menurun frekuensinya, namun konflik intensitas rendah (low intensity conflict) yang dilakukan oleh milisi, penguasa lokal, kelompok kriminal, dan pasukan paramiliter akan meningkat secara eksponensial. Bahkan diramalkan secara jelas bahwa konflik itu lebih cenderung antara kelompok etnis dan kelompok religius (conflicts will be between ethnic and religious groups). Dalam ramalannya disebutkan juga bahwa negara berkembang kemungkinan sulit memenangkan konflik ini. "In numerous incidents during the last two decades, the inability of developed countries to protect their interests and even their citizens’ lives in the face of low-level threats has been demonstrated time and time again". Prediksinya apabila dikaitkan dengan kondisi Indonesia ternyata memang terbukti saat ini, dan konflik semacam ini lah yang oleh para penulis Amerika dirumuskan sebagai perang hibrida.

Khusus mengenai kondisi di Indonesia dikaitkan dengan perdiksi Martin van Creveld ada beberapa ancaman aktual terkait dengan perang hibrida ini yaitu masalah konflik horizontal antara kelompok etnis dan kelompok religius, jaringan narkoba, kelompok insurjen dan terorisme. Dengan demikian ancaman perang hibrida itu memang benar-benar ada sesuai yang dinyatakan dalam amanat Panglima TNI, oleh karenanya TNI AD harus sedia payung sebelum hujan, jangan sampai ketika perang itu terjadi, TNI AD tidak punya alat perang yang memadahi, artinya TNI AD harus melakukan respon cepat dan beradaptasi dengan perang gaya baru ini. Oleh karenanya alutsista yang sedang dibeli oleh TNI AD dan program yang sedang dikembangkan saat ini hendaknya juga dalam konteks menghadapi perang hibrida tersebut. Apabila langkah TNI AD tidak menyesuaikan dengan ancaman nyata tersebut maka kita akan terdadak dan apabila tidak siap maka harus menerima konsekuensinya.

Pelajaran Apa yang Bisa Dipetik

Dengan menebarkan konsep perang hibrida ini maka sebenarnya negara Amerika secara tidak langsung menyatakan bahwa itu adalah perang yang sulit dimenangkan karena semakin ditekan maka kreativitas manusia yang menjadi musuhnya selalu dapat mengembangkan kemampuan daya tahannya. Apabila sebelumnya satu negara yang mempunyai keunggulan kekuatan militer dan ekonomi dengan mudah mengalahkan negara lain yang lebih kecil kemampuannya, namun saat ini dapat dikatakan tidak berlaku lagi. Ada beberapa bukti sejarah bahwa negara yang relatif terbatas kemampuannya dapat bertahan dan bahkan kemudian unggul ketika diserang oleh negara besar. Sebagai contoh, Vietnam mampu bertahan terhadap serangan AS dan bahkan mengusir mereka keluar dari negaranya. Demikian pula ketika bangsa Afghanistan bertahan dari gempuran Uni Soviet.

Dari contoh-contoh tersebut ternyata keunggulan dan kemenangan militer konvensional negara besar tidak otomatis meniadakan kemampuan perlawanan negara kecil. Artinya, negara besar sudah sangat menyadari bahwa ukuran sukses perang dewasa ini haruslah dapat mencapai kemenangan damai. Artinya, suatu bangsa penyerang harus dapat menundukkan sepenuhnya kehendak bangsa yang diserang sehingga terwujud kondisi damai agar pihak penyerang dapat menguasai sepenuhnya negara yang diserang. Dengan demikian akan lebih efektif apabila negara kecil tersebut dapat dibawa terlebih dahulu dalam cara berpikir dan persepsinya sesuai dengan kepentingan negara besar tersebut. Oleh karenanya, maka yang pertama diberi perhatian serius adalah pikiran dan persepsi masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun kebudayaan. Caranya adalah memanfaatkan semua channel/saluran/media massa di negara itu dan memanfaatkannya untuk secara sistematis dan terus menerus mempengaruhi pikiran dan perasaan masyarakat. Disamping itu, negara besar tersebut juga akan menginfiltrasi kelompok Lembaga Swadaya (LSM) dan partai politik dengan memberikan bantuan dana atau dukungan. Bahkan yang lebih canggih adalah menguasai tokoh-tokoh masyarakat, militer atau partai untuk berfikir yang sama dengan kehendak negara besar itu, sehingga tujuan akhirnya adalah perubahan rezim atau turunnya pihak yang sedang berkuasa. Jadi, penaklukan secara militer konvensional saja tidak cukup, karena apabila setelah ditaklukkan dan muncullah gerilya yang militan maka akan gagal lah negara itu menguasainya secara damai dan terpaksa akan masuk dan mengalami perang hibrida yang lebih sulit.

Apabila Indonesia ingin dapat bertahan sebagai bangsa pejuang yang besar maka yang pertama dibangun dalam menghadapi era perang hibrida ini adalah menguatkan jati diri bangsa Indonesia agar tidak mudah terbawa oleh paham-paham yang tidak sesuai dengan filosofi yang ada dalam Pancasila. Pancasila sudah terbukti sebagai benteng kekuatan untuk melindungi dari ancaman, gangguan, tantangan serta hambatan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya maka TNI AD haruslah menjadi pengawal yang setia terhadap Pancasila untuk menjamin tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Apa yang Harus Dilakukan TNI AD

Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok tersebut dilakukan dengan melalui operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia)

Untuk dapat melaksanakan tugas pokok tersebut TNI AD mengemban dua fungsi utama yaitu fungsi Pertempuran dan fungsi Pembinaan Teritorial. Fungsi Pertempuran menyelenggarakan pertempuran di darat, yang meliputi: manuver, intelijen, tembakan, dukungan, perlindungan, kodal dan informasi dalam rangka pertahanan negara di darat. Sedangkan fungsi Pembinaan Teritorial menyelenggarakan perencanaan, pengembangan, pengerahan, dan pengendalian potensi wilayah pertahanan dengan segenap aspeknya untuk menjadi kekuatan sebagai ruang, alat dan kondisi juang yang tangguh untuk kepentingan pertahanan negara di darat.

Kombinasi dua fungsi utama ini sangat cocok untuk menghadapi perang hibrida. Kemampuan tempur yang dikembangkan sesuai dengan ancaman yang timbul baik yang sifatnya konvensional maupun inkonvensional, reguler maupun irreguler; sedangkan kemampuan pembinaan teritorial akan sangat berguna untuk mengembangkan ketahanan wilayah agar memiliki daya tangkal yang efektif, baik terhadap kemungkinan serangan militer terbuka maupun serangan Perang Informasi yang tertutup. Untuk mewujudkan daya tangkal dan ketahanan dibidang militer konvensional saat ini masih sulit karena TNI AD belum diberikan anggaran yang memadahi untuk membangun satu kekuatan militer yang andal. Salah satu cara yang lebih realistis yang bisa dikembangkan adalah daya tangkal di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Walaupun untuk mewujudkan kemampuan militer secara konvensional masih sulit dan untuk mengembangkan daya tangkal di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya masih mengalami banyak hambatan, namun dalam rangka menghadapi perang hibrida tersebut maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu:

a. Kemampuan Tempur. Kondisi di Indonesia yang terkait dengan ancaman hibrida yaitu masalah konflik horizontal antara kelompok etnis dan kelompok religius, jaringan narkoba, kelompok insurjen dan terorisme. Empat hal inilah yang merupakan ancaman serius bagi Indonesia. Disamping itu ada masalah yang cukup serius dan akan menjadi ancaman yang harus dihadapi yaitu kebiasaan warga negara Indonesia yang suka “sweeping” warga negara asing apabila terjadi hubungan yang kurang harmonis antara Indonesia dan negara asing tersebut. Apabila dalam sweeping tersebut terjadi korban, maka akan ada kemungkinan negara asing masuk untuk melindungi warga negaranya dengan mengirimkan pasukan mereka, sehingga kemampuan tempur pun harus disesuaikan dengan kemungkinan ini. Oleh karenanya latihan-latihan yang berkait dengan penanggulangan konflik horizontal, jaringan narkoba, insurjen, dan terorisme selalu harus dilakukan sebagai langkah antisipasi apabila kejadian ini benar terjadi. Pasukan inti TNI AD seperti Kopassus dan Kostrad harus selalu memprogramkan dan melaksanakan latihan berkait dengan hal-hal tersebut. TNI AD juga harus melaksanakan latihan dengan matra yang lain untuk membiasakan diri melaksanakan koordinasi dan sinkronisasi dengan pasukan sejenis yang mempunyai kemampuan tempur yang setara.

b. Kemampuan Teritorial. Ketahanan wilayah merupakan satu prasyarat mutlak untuk menuju pada ketahanan nasional, fungsi inilah yang seharusnya dilaksanakan oleh komando teritorial TNI AD melalui program yang berkaitan dengan pembinaan ketahanan wilayah (bintahwil). Kegiatan Pembinaan Ketahanan Wilayah pada dasarnya merupakan perwujudan dari Kesadaran Bela Negara, dengan faktor yang paling dominan adalah seberapa besar tingkat kesadaran masyarakat dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam perlawanan rakyat guna menangkal setiap ancaman.

Sampai saat ini rasanya belum ada untuk pembinaan kemampuan teritorial dalam bentuk latihan yang menajamkan kemampuan anggota TNI AD dalam bidang ini karena belum ada tolok ukur seperti pada penajaman kemampuan tempur yang dapat dikuantifikasikan, seperti misalnya dilakukan dengan pemberian brevet keahlian. Oleh karenanya perlu standarisasi kemampuan personel seperti yang dilakukan oleh tentara teritorial seperti yang dilakukan oleh Inggris, Amerika dan beberapa negara lain yang memang terdiri dari ahli yang berkaitan dengan antropologi, teknik sipil, pertanian, ahli bahasa dan bidang-bidang sejenis yang cocok untuk penugasan dalam operasi teritorial.

Dalam konteks perang hibrida seperti disampaikan dalam amanat Panglima TNI yang membedakan dengan perang konvensional adalah adanya pemanfaatan teknologi informasi untuk cyber war, dengan demikian maka kemampuan menguasai teknologi ini juga menjadi faktor yang penting. Apabila selama ini pembinaan teritorial diarahkan untuk pelatihan wanra yang sifatnya fisik, maka perlu dipikirkan akan adanya pelatihan wanra dalam bidang cyber agar mampu mengikuti perkembangan informasi di dunia maya khususnya yang berkaitan dengan media sosial sekaligus dapat melaksanakan perlawanan rakyat di bidang perang informasi.

Dalam menghadapi ancaman perang hibrida ini, personel yang bekerja di bidang teritorial konsekuensinya harus mempunyai kemampuan cukup baik dalam penguasaan bidang ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya termasuk penguasaan teknologi informasi. Yang tidak kalah pentingnya adalah personel tersebut harus mampu memberikan penjelasan mengenai teritorial ini kepada masyarakat secara ilmiah agar semakin banyak orang yang meyakini bahwa dengan teritorial ini bangsa Indonesia akan dapat mencapai kemajuan yang signifikan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

c. Rumuskan Teritorial sebagai Ilmu. Pembinaan Teritorial yang selama ini diklaim sebagai roh TNI AD haruslah diilmiahkan sehingga menjadi ilmu yang bisa dipelajari dan diterapkan untuk membantu kesuksesan setiap operasi yang digelar oleh TNI AD baik di dalam maupun di luar negeri. Sampai saat ini apabila ada pihak yang ingin mempelajari teritorial akan sulit mencari dimana tempatnya. Hal ini disebabkan oleh kerancuan mengenai apa yang disebut sebagai teritorial. Penulis mengusulkan untuk cenderung memandang teritorial ini sebagai salah satu staf dalam militer dan dikembangkan mengikuti pola negara-negara lain namun dengan mengusung nilai-nilai asli Indonesia. Apabila kita mengambil padanan dengan militer negara lain maka kita dapat petakan sebagai berikut:

Staffing

Ketika berbicara Teritorial sebagai staf militer maka padanan yang ada adalah sebagai Civil Affair atau Civil Military Cooperation (CIMIC) di negara-negara lain. Oleh karenanya, tidak ada salahnya apabila kita meniru Korea yang mengusung konsep CIMIC namun dengan nilai-nilai Korea yang mengemas konsep Saemaul Undong yang berisi tiga nilai utama yaitu: rajin (dilligence), berdikari (self-help) dan gotong royong (cooperation) (http://www.saemaul.or.kr/english/). Untuk mengilmiahkan Teritorial sebagai CIMIC yang mengusung nilai-nilai asli Indonesia, maka yang pertama kali dirumuskan adalah nilai apa yang akan dimasukkan (pilih dua atau tiga nilai saja, misalnya ramah, berdikari, gotong royong, ringan tangan dan sebagainya). Setelah dipilih nilai luhurnya maka hal itu perlu dibakukan dan dibentuk pusat-pusat pelatihan teritorial di seluruh Indonesia. Berikutnya adakan evaluasi ketika dilaksanakan pada operasi di medan pertempuran yang berbeda-beda dan diadakan penyesuaian-penyesuaian, baru berikutnya dirumuskan konsep bakunya dengan berdasarkan pengalaman-pengalaman operasi tersebut (lesson learned). Setelah konsep baku ini jadi maka dapat digunakan sebagai pedoman bagi TNI AD untuk menjadikan teritorial sebagai roh dari TNI AD. Dengan demikian apabila memang sudah terbukti bahwa teritorial ini memang menjadi roh TNI AD maka siapapun dan dimanapun orang bertanya tentang teritorial rakyat pun akan mengetahui tentang hal tersebut. Hal ini bisa dianalogikan dengan sistem Subak di Bali, dimanapun petani atau orang ingin tahu tentang Subak maka ketika pergi ke Bali kemanapun perginya asal bertanya kepada petani maka mereka akan bisa menjelaskannya karena Subak sudah menjadi bagian dari hidup atau roh petani di Bali. Demikian pula, nantinya apabila orang bertanya tentang teritorial maka setiap prajurit dan rakyat akan tahu karena hal itu sudah menjadi bagian dari kehidupan prajurit. Dengan demikian maka dalam menghadapi ancaman perang hibrida ini, setiap prajurit akan siap dan tahu karena teritorial ini sudah menjadi roh dari setiap prajurit.

d. Bangun Logistik Wilayah

Perang apapun bentuknya pasti memerlukan dukungan logistik. Dengan demikian apabila kita menghadapi perang hibrida ini maka kita perlu secara terencana harus membangun logistik wilayah. Sampai saat ini rasanya belum tersedia logistik wilayah yang tersusun dalam kesisteman logistik untuk mendukung perang semesta, sesuai dengan potensi daerah. Rasanya yang dilakukan oleh satuan teritorial adalah baru sekadar melaksanakan pendataan terhadap potensi wilayah. Secara umum ada tiga elemen logistik yang penting yaitu materiil, fasilitas dan jasa. Saat ini kegiatan penyiapan sarana depo logistik di daerah yang berjalan baru depo-depo logistik dari Bulog (urusan beras) dan Pertamina (urusan bahan bakar minyak), inipun baru terbatas pada daerah yang padat penduduknya. Depo atau pusat penimbunan logistik yang lain yang lebih spesifik dalam rangka menghadapi perang hibrida pun sampai saat ini belum ada konsep yang jelas. Oleh karenanya para ahli logistik TNI AD diharapkan segera menyusun konsep sistem logistik wilayah untuk mendukung konsep hibrida ini.

Seperti disampaikan diatas bahwa walaupun dengan pembinaan teritorial aspek sosial budaya dan aspek lain dalam masyarakat dapat dikuasai, namun kita juga tidak boleh melupakan faktor teknologi untuk dapat membantu memenangkan perang hibrida ini. Salah satu teknologi yang saat ini berperan penting adalah Teknologi Informasi khususnya untuk mendukung konsep perang informasi dan perang cyber. Oleh karenanya penguasaan dan kepemilikan teknologi ini secara aman dan secara mandiri merupakan satu hal yang penting untuk mendukung konsep perang hibrida ini.

Peran TI sebagai sarana Pembinaan Teritorial dalam Perang Hibrida

Pandangan umum menyatakan bahwa militer profesional adalah militer yang berperang secara konvensional, didukung oleh alutsista yang modern dengan daya tempur yang tinggi, bertempur dalam jenis perang tertentu, dinilai sudah kurang relevan lagi. Hal ini disampaikan oleh mantan Sekretaris Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates “The old paradigm of looking at potential conflicts as either regular or irregular war, conventional or unconventional, high-end or low is no longer relevant." Saat ini mereka menghadapi perang hibrida yang untuk memenangkannya memerlukan militer dengan kemampuan yang sangat fleksibel untuk mengatasi berbagai spektrum konflik. (Defense Information Technology Acquisition Summit, 12 November 2009)

Dalam perang hibrida, TI memainkan peran yang penting. Teknologi ini mampu memberikan informasi kepada prajurit secara real time tentang ancaman yang mereka hadapi dan memberi solusi bagi para prajurit tentang apa yang harus dilakukan. Bahkan saat ini mereka secara individual juga dapat langsung mengakses informasi itu melalui perangkat genggam (handheld) yang mereka bawa. Disamping keunggulannya, karena kemudahan pengoperasiannya dalam mendukung proses pengambilan keputusan, Teknologi informasi juga dapat digunakan dalam mendukung konsep penaklukan tanpa melaksanakan perang secara fisik yaitu menggunakan konsep perang informasi melalui sarana media massa, mailing list, dan bahkan sekarang ini menggunakan apa yang disebut sebagai media sosial (social media). Media sosial, seperti Twitter, Facebook, BB Messenger dan sebagainya, merupakan satu sarana yang cukup ampuh dalam rangka mendukung perang hibrida, bahkan dari pengalaman akhir-akhir ini di Timur Tengah dengan Arab Spring nya yaitu media sosial mampu membuat revolusi di Tunisia, Mesir, Libya dan sekitarnya. Gambar berikut ini menunjukkan bahwa media sosial mempunyai kecepatan yang tinggi dalam menyampaikan informasi dengan sangat efektif.

Internet

Sesuai ilustrasi di atas maka masyarakat yang mengakses ke media sosial akan mengetahui terlebih dahulu akan adanya satu kejadian sebelum media umum seperti radio, TV, internet umum, koran menyebarkan berita tersebut. Dengan konsep ini maka untuk dapat mengetahui informasi secara dini adalah mau tidak mau masuk kedalam media sosial. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa Presiden SBY membuat akun di Twitter https://twitter.com/sbyudhoyono yang ternyata baru beberapa hari dibuka langsung pengikutnya sudah mencapai jutaan dan ini merupakan media sosial yang dimiliki pemimpin negara dengan pengikut tertinggi di Asia Tenggara. Inilah pentingnya teknologi informasi dalam rangka mendukung konsep perang hibrida.

Khusus untuk pemanfaatan teknologi informasi di bidang teritorial dalam meningkatkan ketahanan wilayah diperlukan satu langkah terobosan melalui pelaksanaan pembinaan ketahanan wilayah (bintahwil). Bintahwil selama ini dilakukan dengan cara manual melalui tatap muka untuk menyampaikan pesan kesadaran bela negara dengan tujuan akhir adalah perlawanan rakyat guna menangkal setiap ancaman yang datang. Seiring dengan kemajuan teknologi maka penyampaian pesan saat ini dapat dilakukan secara efektif melalui media sosial, internet dan media lokal lainnya. Untuk dapat melakukan ini maka personel teritorial dituntut untuk paling tidak melek komputer (computer literate), mempunyai kemampuan komunikasi yang baik dan mempunyai kemampuan untuk menyampaikan pesan kepada komunitas disekitarnya melalui media digital yang dianggap paling efektif di wilayah tersebut.

Untuk mencapai hal tersebut maka konsep rumah pintar yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah dapat diadopsi dalam rangka pembinaan ketahanan wilayah. Secara singkat sarana ini terdiri dari satu rumah sederhana / gubug ditambah dengan fasilitas komputer dan akses internet. Rumah sederhana ini idealnya dibangun di lokasi yang strategis dimana banyak orang dapat berkumpul. Ketika banyak orang berkumpul disatu tempat, maka hal itu dapat dimanfaatkan untuk tempat menyebarkan informasi kepada masyarakat. Apabila komputer yang dilengkapi internet ini sudah diprogram oleh pihak teritorial untuk memberikan informasi-informasi yang sangat berguna bagi masyarakat maka masyarakat akan memperoleh manfaat yang sangat besar. Rumah sederhana ini ketika sudah mampu menjadi tempat berkumpul dan bertukar berbagi informasi maka otomatis sudah menjadi CIP (community intelligence point). Apabila sudah menjadi community intelligence point maka sarana ini sudah menjadi sarana untuk melawan perang informasi. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana para babinsa atau aparat teritorial ini mampu memanfaatkan teknologi ini dengan baik, karena hal ini menjadi prasyarat awal untuk menjalankan konsep bintahwil melalui media digital.

Sarana berikutnya adalah satu perangkat lunak sederhana yang mengadopsi konsep “kentongan”. Kentongan sebagai sarana komunikasi pada masa lalu mempunyai efektifitas yang sangat tinggi. Namun di jaman yang sudah digital ini, konsep tersebut perlu dikembangkan menjadi “kentongan digital”. Konsep ini sebenarnya sudah dilakukan oleh POLRI dengan konsep Community Policing, dengan membagikan perangkat handy talkie kepada pengurus RT/RW dan tokoh masyarakat, namun kegiatan ini berbiaya mahal karena harga handy talkie cukup mahal dan pemeliharaannya relatif lebih sulit. Namun apabila menggunakan konsep kentongan digital, biaya dan pemeliharaannya relatif lebih mudah dan murah. Sarana ini terdiri dari perangkat sederhana berupa komputer sederhana dan SMS gateway yang dipasang di komando teritorial seperti Koramil, sedangkan fasilitas penerimanya menggunakan handphone yang saat ini harganya sudah sangat terjangkau dan sudah hampir dimiliki oleh seluruh warga. (Berdasarkan data yang ada saat ini sudah lebih dari 250 juta handphone beredar di Indonesia). Sarana ini, perangkat komputer dan SMS gateway yang dilengkapi perangkat lunak yang dengan mudah dibuat dapat digunakan sebagai sarana menyebarkan informasi kepada baik seluruh masyarakat, tokoh masyarakat maupun daftar kontak yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Dengan sarana ini maka Koramil dapat memberikan peringatan dini sebagai bagian dari konsep lapor cepat dan temu cepat yang harus dilaksanakan oleh setiap aparat teritorial. Apabila sistem ini dihubungkan dengan rumah pintar di atas maka akan menjadi sarana menyebarkan informasi yang baik tentang teritorial dan hal-hal baik yang dilakukan oleh TNI AD dari sumber yang dapat dipercaya. Apalagi saat ini Pemerintah melalui Kemkominfo sedang menggiatkan penyebaran PLIK (Pusat Layanan Internet Kecamatan) atau Internet Service Center Kabupaten dan MPLIK (Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan). Program ini merupakan kelanjutan dari program USO (Universal Service Obligation) yang dilakukan oleh para penyedia jasa telekomunikasi Indonesia. Pihak teritorial apabila jeli dan dapat memanfaatkan fasilitas ini maka akan menjadi sarana yang sangat hebat dalam rangka membina ketahanan wilayah melalui program Bintahwil menggunakan sarana digital.

Dari kombinasi rumah pintar dan kentongan digital ini yang apabila diintegrasikan dengan PLIK serta media lokal yang ada maka akan menjadi sarana perang informasi yang sangat efektif dengan biaya yang sangat murah, dengan catatan semua aparat teritorial sudah melek komputer sekalipun dalam tingkatan yang paling rendah.

Sebagai langkah untuk mengantisipasi perang hibrida tersebut, Disinfolahtad juga sedang membangun infrastruktur mandiri sesuai dengan arahan pimpinan TNI AD dan menyiapkan sumber daya manusia yang memahami cyber defence. Apabila konsep ini dapat terwujud maka TNI AD akan memiliki infrastruktur mandiri walaupun baru terbatas di Jakarta dan Bandung. Dengan konsep ini maka pengamanan informasi dan data akan lebih baik karena semua akan berada dibawah kontrol Mabesad sehingga penyediaan layanan pun menjadi lebih baik. Diharapkan beberapa kombinasi upaya yang dilakukan oleh pihak teritorial dan penmbangunan infrastruktur ini akan dapat mendukung konsep perang hibrida.

Penutup

Perang hibrida merupakan perang campuran. Perang jenis ini tidak bisa dimenangkan dengan hanya berfokus pada teknologi, namun juga dengan aspek sosial budaya dan aspek lain dalam masyarakat. Oleh karenanya maka teritorial memegang peran penting terutama melalui program ketahanan wilayah dapat dilakukan dengan melaksanakan bintahwil menggunakan konsep baru dengan memanfaatkan teknologi informasi sebagai sarana penyebaran pengetahuan dan informasi kepada seluruh lapisan masyarakat melalui konsep Community Intelligent Point. Konsep rumah pintar yang dikombinasikan dengan kentongan digital dapat menjadi sarana peningkatan ketahanan wilayah dalam rangka mendukung perang informasi sebagai antisipasi menangani perang hibrida.

Untuk lebih meluaskan konsep pembinaan ketahanan wilayah maka disarankan Pusterad membuat MoU dengan Kemkominfo untuk menempatkan PLIK / MPLIK pada tempat strategis sesuai hasil pemetaan Babinsa agar tempat itu menjadi tempat berkumpul masyarakat dalam community intelligent point. Saat ini Kemkominfo akan menggelar kurang lebih 5600 Pusat Layanan Internet Kecamatan di seluruh Indonesia, yang sudah digelar baru sekitar 1800 buah sehingga masih tersisa lebih dari 3000 yang belum terpasang. Apabila aparat teritorial mampu menempatkan sarana ini di tempat yang tepat dan dapat menggabungkannya dengan konsep rumah pintar serta kentongan digital maka dengan otomatis sudah melaksanakan kegiatan untuk memperkuat ketahanan wilayah dalam rangka menghadapi perang informasi. Disarankan pula untuk Pusterad membuat konten yang berisi pesan teritorial akan kesadaran bela negara atau bintahwil di website, teknisnya adalah ketika pertama kali orang membuka website maka pesan teritorial itu yang akan selalu muncul terlebih dahulu sehingga masyarakat yang mengakses web akan menerima pesan yang diinginkan oleh pihak teritorial sehingga konsep bintahwil secara digital akan menjadi sangat efektif.

Semoga bermanfaat.

Baca selengkapnya . . .