11 Maret 2014

MindWeb Papua: Mikir Papua Tanpa Mikir

Oleh: Heimas

Pada awal Februari lalu melalui Facebook, seorang teman (Brigjen T. Irwan Amrun) merekomendasikan sebuah buku tulisan Bpk. Eka Wartana berjudul: “MindWeb A New Way of Thinking, Konsep Berpikir Tanpa Mikir” kepada saya. Pada saat itu saya diminta untuk melihat slide presentasinya dan setelahnya langsung saya simpulkan bahwa ini adalah sebuah berlian tidak hanya bagi saya tetapi juga bagi siapa saja. Melalui Facebook juga saya berkenalan dengan sang penulis, dan saya sampaikan apresiasi atas buku tersebut, sekaligus akan saya uji pemahaman saya atas konsep berpikir tersebut.

Langkah 1: Menentukan Topik. Topik yang saya pilih adalah Papua.

Langkah 2: Membuat kerangka utama MindWeb dengan mencari hal-hal utama yang berhubungan dengan topiknya (langkah ini tidak saya gunakan).

Langkah 3: Mencari perincian yang lebih detail dari kerangka utama. Dalam contoh ini saya menggunakan 8 informasi, yaitu: Otsus, kekayaan alam, rakyat marjinal, Papua Merdeka, isu HAM, New York Agreement, MRP dan Tungku Tiga Kaki. Ini merupakan informasi yang seketika terbersit dibenak ketika saya membayangkan masalah Papua.

Langkah 4: Membuat rangkaian keterkaitan antar informasi. Menurut Pak Eka Wartana, langkah pembuatan MindWeb itu sederhana, namun yang sedikit memerlukan “keringat” adalah mencari informasi yang terkait dan mencari hubungan logis antar informasi-informasi tersebut. Berikut ini adalah desain MindWeb yang saya coba buat dan dilengkapi oleh Pak Eka Wartana (tambahan garis koneksi warna biru).

MindWeb Revisi Pak EkaSelanjutnya saya coba gambarkan hubungan logis antar informasi-informasi dalam bentuk chart sebagai berikut:

Chart 1 Chart 2Pada chart pertama, hubungan logis antara informasi Tungku Tiga Kaki dan Otsus saya uraikan sebagai berikut:

  • Tungku Tiga Kaki: Adat-Gereja/Agama-Pemerintah merupakan filosofi luhur sejak dahulu kala berkaitan pembangunan di Tanah Papua.
  • Otsus hanya ditopang oleh 1 kaki saja yaitu: “Pemerintah”, Adat dan Gereja/Agama tidak difungsikan sebagaimana seharusnya.
  • Apapun yang diolah dalam “Tungku Pembangunan” tidak akan berjalan baik dan menghasilkan manfaat karena Tungku Pembangunan hanya bertumpu pada 1 kaki saja.

Mengingat topik ini berkaitan dengan permasalahan di Papua, saya coba memberikan prospek untuk solusi, antara lain:

  • Memfungsikan Adat dengan membentuk Badan Peradilan Adat untuk menangani Perang Suku, Konflik Tanah, maupun perkara-perkara yang bisa diselesaikan menggunakan hukum Adat.
  • Membentuk Badan Pertanahan Adat untuk menjembatani hak ulayat yang dimiliki masyarakat Adat dengan Hak Tanah yang diatur oleh Undang-undang Pertanahan, agar fungsi sosial tanah masih tetap bisa dirasakan oleh Rakyat Papua sekalipun telah dimanfaatkan untuk fungsi ekonomi.
    • Keberadaan badan-badan Adat sekaligus juga dapat memberdayakan MRP yang sering membuat Jakarta sakit kepala, karena yang seharusnya MRP mengurusi masalah kultural menjadi mengurusi politik.
    • Masih cukup banyak solusi-solusi kreatif lainnya berkaitan dengan pemberdayaan Adat jika kita sungguh-sungguh ingin membangun Papua melalui Otsus.

Pada chart kedua, hubungan logis antara informasi MRP dan Otsus uraiannya adalah sebagai berikut:

  • MRP merupakan hal sangat spesifik dari Otsus yang merupakan kompromi politik atas tuntutan Papua Merdeka dan hanya ada di Papua (dan Papua Barat yang keberadaannya tidak dikehendaki).
  • MRP merupakan lembaga kultural tertinggi, artinya pemerintah mengakui kultur rakyat Papua (Adat-Gereja/Agama-Perempuan), namun tidak diberdayakan sebagaimana seharusnya dalam ruang Otsus sehingga akhirnya MRP malah terjebak mengurusi politik.
  • Banyak persoalan-persoalan Papua yang dapat diselesaikan secara kultural, seperti perdamaian Perang Suku, perzinaan, pencurian diantara masyarakat asli Papua.
  • MRP masih hanya sebatas memberikan pertimbangan, belum pada level action, padahal Adat sesungguhnya merupakan embrio pemerintahan modern yang memiliki fungsi eksekutif, legislatif bahkan yudikatif.

Prospek solusi yang bisa dikembangkan:

  • MRP diberikan ruang untuk melakukan action secara kultural, misalnya dengan dilengkapi Badan-badan seperti: Badan Pertanahan Adat, Badan Pengadilan Adat, Polisi Adat, dsb. Dari aspek pemerintahan, rakyat Papua telah mengimplementasikan self-determination, karena hampir semua bidang pemerintahan diatur langsung oleh rakyat asli Papua. Alangkah baiknya bila dari aspek Adat, Gereja/Agama dan Perempuan diberikan ruang melakukan self-determination (dalam bingkai NKRI), sehingga tidak ada lagi kehendak rakyat Papua untuk melakukan self-determination sebagaimana yang selama ini dituntut (diluar bingkai NKRI).
  • Sebaiknya Adat-Gereja/Agama-Perempuan memperoleh alokasi anggaran Otsus secara tetap untuk memberikan ruang mengatur anggaran sendiri. Selama ini salah satu yang menjadi kecemburuan MRP terhadap Pemda Papua dan DPRP adalah masalah anggaran ini. Jika MRP telah berdaya, sebenarnya cukup banyak sumber-sumber anggaran yang bisa langsung dikelola MRP, seperti sharing dana dari investor berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah ulayat, pengaturan dan penerimaan retribusi berkaitan dengan pemanfaatan tanah ulayat, dsb.

Demikian sekilas penerapan konsep MindWeb berkaitan permasalahan Papua. Konsep MindWeb ini tentunya dapat digunakan untuk beragam hal. yang berkaitan dengan berpikir. Dan yang saya rasakan, konsep MindWeb dapat menyederhanakan tidak hanya cara berpikir namun rekam pikiran dalam bentuk tulisan.

Selamat mencoba.

                   Buku MindWebTanda Tangan Pak Eka

Baca selengkapnya . . .

07 Maret 2014

Teknologi Informasi Dalam Perang Hibrida

Oleh: Budiman S.Pratomo [Kasubdis Binfung Disinfolahtad]

Pendahuluan

Perang hibrida merupakan istilah yang masih asing di telinga kita sebagai anggota TNI. Namun sebenarnya hal ini sudah akrab bagi TNI karena konsep ini sebenarnya merupakan konsep “perang rakyat” yang menggunakan segala daya upaya dan sumber daya agar tidak dapat dikalahkan oleh lawan, perbedaannya hanyalah penggunaan senjatanya yang meliputi nuklir dan teknologi cyber. Konsep perang inilah yang masih diyakini kehebatannya oleh banyak kalangan terutama oleh para pendahulu kita. Istilah ini sebenarnya apabila dirunut berawal dari metafora untuk menggambarkan tuntutan medan perang modern oleh Jenderal (Mar) Charles C. Krulak tentang tantangan yang dihadapi oleh marinir Amerika Serikat (AS) ketika bertugas di "negara gagal" seperti Somalia dan bekas Yugoslavia. Krulak menyadari bahwa medan perang masa depan adalah: terjadi di perkotaan, sifatnya asimetris, situasinya sulit membedakan antara pejuang dan non kombatan, dan persenjataan canggih sudah tersedia dengan mudah untuk semua pihak. Krulak menyebutnya dalam istilah perang tiga blok (Three Block War), “Anda berjuang seperti iblis pada satu blok, Anda berbuat baik menyerahkan bantuan kemanusiaan di blok berikutnya, dan Anda harus berjuang untuk tetap menjaga supaya kedua faksi tidak bertikai di blok yang berikutnya”. (Marine Corps Gazette, edisi 1999).

Apapun bentuk perangnya, yang harus selalu diingat adalah bahwa yang menjadi musuh adalah manusia, karena manusia maka selalu mempunyai kemampuan kreatif untuk tidak dapat ditaklukkan. Akibatnya, walaupun secara militer konvensional mudah ditaklukkan namun selalu saja musuh tersebut siap untuk berperang walaupun tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan secara internasional. Keunggulan konvensional satu negara akan menciptakan ide baru bagi negara-negara dan aktor non-negara untuk bergerak keluar dari modus perang konvensional dan mencari kemampuan lain yang merupakan kombinasi dari teknologi dan taktik untuk mendapatkan keuntungan. Oleh AS, kelompok ini dikenal sebagai penantang tidak teratur (irregular challengers) yang meliputi aktor-aktor yang bermain dalam terorisme, pemberontakan, perang terbatas, perang gerilya, dan perang narkoba. Kelompok-kelompok ini akan mengeksploitasi keuntungan taktis pada waktu dan tempat yang mereka pilih sendiri, dan memperbesar keuntungan mereka melalui media dan perang informasi, untuk melemahkan AS. Ini lah yang disebut oleh mereka dengan perang hibrida. Perang jenis ini tidak bisa dimenangkan dengan hanya berfokus pada kekuatan teknologi, namun juga dengan memerhatikan aspek sosial budaya dan aspek lain dalam masyarakat. (Proceedings Magazine, Issue: November 2005 Vol. 132/11/1,233 Future Warfare: The Rise of Hybrid Wars oleh Letnan Jenderal James N. Mattis, USMC, dan Letkol (Purn) Frank Hoffman, USMCR ). Aspek sosial budaya dan aspek lain dalam masyarakat mulai mendapatkan perhatian di kalangan militer Amerika, oleh karenanya untuk menghadapi perang hibrida ini mereka mengembangkan konsep yang disebut sebagai Human Terrain Systems (HTS). Konsep HTS ini pertama kali dikembangkan oleh anthropolog Montgomery McFate pada tahun 2005, sebagai respons terhadap kesenjangan antara komandan dan staf tentang pemahaman terhadap penduduk dan budaya setempat, terutama ketika melakukan invasi ke Irak dan Afghanistan. HTS ternyata bukan hal yang asing bagi TNI AD karena apabila dipadankan tidak lain dan tidak bukan adalah konsep pembinaan teritorial.

Walaupun perang jenis ini tidak bisa dimenangkan dengan hanya berfokus pada teknologi saja, namun peran teknologi / alutsista dalam satu perang masih tetap dominan seperti misalnya penggunaan Teknologi Informasi dalam memperbesar kemampuan perang informasi dan cyber war. Oleh karena itu, menghadapi kemungkinan ancaman perang hibrida tersebut, TNI AD harus mampu merespon dan segera beradaptasi dengan situasi yang berkembang khususnya di bidang teknologi informasi agar dapat mengantisipasi serta mengatasinya secara lebih cepat dan tepat.

Tulisan ini akan membahas mengenai pengertian perang hibrida, apa implikasinya terhadap TNI AD, pelajaran apa yang bisa dipetik, apa yang harus dilakukan oleh TNI AD, dan bagaimana teknologi informasi akan sangat berperan dalam menentukan kemenangan perang hibrida ini khususnya melalui konsep cyber warfare sebagai salah satu payung dalam perang informasi dengan memanfaatkan semua channel/saluran/ media massa untuk secara sistematis dan terus menerus mempengaruhi pikiran dan perasaan masyarakatnya melalui pembinaan teritorial.

Apa itu Perang Hibrida

Sejauh ini, apabila kita mendengar kata hibrida, maka bayangan kita langsung teringat dengan masalah pertanian, karena istilah ini yang paling sering terkenal dulu-dulunya selalu terkait dengan kelapa hibrida. Namun ternyata istilah hibrida juga berlaku dalam dunia perang, kita mendengar hal ini dari rangkuman amanat Panglima TNI yang mengingatkan para prajuritnya agar siap-siap menghadapi perang baru yang bernama perang hibrida, seperti yang beliau sampaikan dalam upacara hari Senin, tanggal 18 Februari 2013 (http://www.tni.mil.id/view-45760-amanat-panglima-tni-pada-upacara-bendera-17-an-tanggal-18-februari-2013.html).

Untuk lebih memahami tentang istilah hibrida ini, mari kita lihat beberapa definisi mengenai kata hibrida tersebut. Dalam istilah biologi, hibrida identik dengan heterozigot: setiap anak yang dihasilkan dari perkawinan dua individu secara genetik berbeda, artinya kombinasi antara gen yang berbeda. Dalam bidang elektronika, hibrida menggambarkan kombinasi dari produsen listrik dan sarana untuk menyimpan tenaga dalam media penyimpanan energi. Sistem hibrida, seperti namanya, menggabungkan dua atau lebih mode pembangkit listrik bersama-sama. Di bidang otomotif, mobil hibrida adalah mobil yang menggunakan energi dari listrik dan juga bisa dari bahan bakar fosil. Sedangkan di bidang komputer adalah merupakan gabungan antara kemampuan komputer analog dan komputer digital. Dengan demikian istilah hibrida intinya adalah merupakan gabungan dari beberapa hal yang berbeda, sehingga dengan demikian perang hibrida secara logika adalah penggabungan beberapa jenis perang yang meliputi perang konvensional dan inkonvensional.

Apabila kita ingin lebih tahu tentang definisi Perang Hibrida dan bertanya kepada Google dengan mengetikkan “define:hybrid war”, karena belum ada dalam kamus umum maka jawabannya adalah definisi versi Wikipedia yaitu “strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang tidak teratur dan cyber warfare”. Selain itu, perang hibrida digunakan untuk menggambarkan serangan senjata nuklir, biologi dan kimia, alat peledak improvisasi dan perang informasi.

Lebih lanjut apabila kita mengacu pada pendapat dari para ahli yang mendalami teori mengenai perang hibrida maka kita akan mendapatkan hal-hal yang kurang lebih sama. Salah satunya adalah Frank Hoffman yang mendefinisikan perang hibrida sebagai setiap musuh yang menggunakan secara bersama dan mengkombinasikan senjata konvensional, perang tidak teratur, terorisme dan cara kriminal dalam pertempuran untuk mencapai tujuan politis (Conflict in 21st Century: The Rise of Hybrid Wars)

Sedangkan pengertian yang tertulis dalam amanat Panglima TNI yang kemungkinan besar mengadopsi definisi dari Wikipedia dinyatakan bahwa “perang hibrida ~ hybrid war, yaitu sebuah strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang yang tidak teratur dan ancaman cyber warfare, baik berupa serangan nuklir, senjata biologi dan kimia, alat peledak improvisasi dan perang informasi”.

Lalu bagaimana kita mengartikan perang hibrida ini dalam konteks yang mudah dimengerti? Untuk memudahkan pemahaman kita barangkali ada contoh yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat yaitu perang di medan Kurusetra dalam ceritera pewayangan yang melibatkan pihak Pendawa dan Kurawa. Perang Kurusetra merupakan perang 18 hari yang berakhir dengan kemenangan pihak Pendawa, merupakan gambaran perang hibrida yang rasanya lebih mudah dimengerti. Perang tersebut meliputi perang konvensional karena mempunyai aturan perang dan dilakukan dalam formasi-formasi tertentu, senjata yang digunakan pun deskripsinya sudah mengarah kepada senjata nuklir saat ini (hanya saja saat itu hanya berupa panah, gada, pedang, cakra dan sejenisnya namun deskripsi ketika senjata itu digunakan efeknya sama dengan efek senjata nuklir saat ini), perang irreguler (menjadikan Srikandi tameng padahal bukan regular forces), asimetrik (Gatutkaca sendirian melawan pasukan yang besar) serta perang informasi (lebih tepatnya disinformasi dan rekayasa informasi dengan menyebarkan informasi terbunuhnya gajah bernama Aswatama yang merupakan faktor penentu kemenangan perang). Secara umum dapat disimpulkan bahwa perang hibrida intinya adalah gabungan berbagai jenis perang yang biasanya dilakukan oleh pihak yang lebih lemah untuk melawan pihak yang lebih kuat secara konvensional. Inilah barangkali gambaran sederhana yang lebih mudah dimengerti tentang apa itu perang hibrida.

Apabila dicermati ternyata para penulis Amerika ketika membicarakan perang hibrida secara khusus adalah membahas tentang kasus-kasus perang di Irak, Afganistan dan Libanon yang bisa dipastikan ini adalah konsep perlawanan atau perjuangan yang mengusung konsep gerilya, perang kota, asimetris, menggunakan persenjataan canggih, dan perang informasi dengan memanfaatkan segala upaya untuk dapat bertahan melawan agresor dan mengusirnya keluar dari negaranya. Apabila mengacu pada hal ini maka situasinya kira-kira kembali sama ketika Indonesia mengalami perjuangan fisik yang tidak lain adalah people’s war yang merupakan perang inkonvensional dan tidak teratur (irregular) namun sesuai kondisi saat ini dengan kesulitan yang lebih tinggi karena sudah memanfaatkan teknologi informasi seperti yang digunakan dalam cyber war. Hal ini selaras dengan apa yang digambarkan oleh Seth G. Jones melalui The Future of Irregular Warfare yang menyatakan bahwa kelompok insurjen dan teroris memanfaatkan internet untuk berkomunikasi, mendistribusikan propaganda, merekrut anggotanya dan tugas-tugas lainnya yang menambah kompleksitas perang tersebut (RAND Corporation, 2012)

Bagaimana Implikasinya terhadap TNI AD

Martin van Creveld, profesor emeritus, seorang ahli militer dari Israel penulis buku The Transformation of War, meramalkan bahwa konflik militer konvensional antar angkatan bersenjata reguler akan menurun frekuensinya, namun konflik intensitas rendah (low intensity conflict) yang dilakukan oleh milisi, penguasa lokal, kelompok kriminal, dan pasukan paramiliter akan meningkat secara eksponensial. Bahkan diramalkan secara jelas bahwa konflik itu lebih cenderung antara kelompok etnis dan kelompok religius (conflicts will be between ethnic and religious groups). Dalam ramalannya disebutkan juga bahwa negara berkembang kemungkinan sulit memenangkan konflik ini. "In numerous incidents during the last two decades, the inability of developed countries to protect their interests and even their citizens’ lives in the face of low-level threats has been demonstrated time and time again". Prediksinya apabila dikaitkan dengan kondisi Indonesia ternyata memang terbukti saat ini, dan konflik semacam ini lah yang oleh para penulis Amerika dirumuskan sebagai perang hibrida.

Khusus mengenai kondisi di Indonesia dikaitkan dengan perdiksi Martin van Creveld ada beberapa ancaman aktual terkait dengan perang hibrida ini yaitu masalah konflik horizontal antara kelompok etnis dan kelompok religius, jaringan narkoba, kelompok insurjen dan terorisme. Dengan demikian ancaman perang hibrida itu memang benar-benar ada sesuai yang dinyatakan dalam amanat Panglima TNI, oleh karenanya TNI AD harus sedia payung sebelum hujan, jangan sampai ketika perang itu terjadi, TNI AD tidak punya alat perang yang memadahi, artinya TNI AD harus melakukan respon cepat dan beradaptasi dengan perang gaya baru ini. Oleh karenanya alutsista yang sedang dibeli oleh TNI AD dan program yang sedang dikembangkan saat ini hendaknya juga dalam konteks menghadapi perang hibrida tersebut. Apabila langkah TNI AD tidak menyesuaikan dengan ancaman nyata tersebut maka kita akan terdadak dan apabila tidak siap maka harus menerima konsekuensinya.

Pelajaran Apa yang Bisa Dipetik

Dengan menebarkan konsep perang hibrida ini maka sebenarnya negara Amerika secara tidak langsung menyatakan bahwa itu adalah perang yang sulit dimenangkan karena semakin ditekan maka kreativitas manusia yang menjadi musuhnya selalu dapat mengembangkan kemampuan daya tahannya. Apabila sebelumnya satu negara yang mempunyai keunggulan kekuatan militer dan ekonomi dengan mudah mengalahkan negara lain yang lebih kecil kemampuannya, namun saat ini dapat dikatakan tidak berlaku lagi. Ada beberapa bukti sejarah bahwa negara yang relatif terbatas kemampuannya dapat bertahan dan bahkan kemudian unggul ketika diserang oleh negara besar. Sebagai contoh, Vietnam mampu bertahan terhadap serangan AS dan bahkan mengusir mereka keluar dari negaranya. Demikian pula ketika bangsa Afghanistan bertahan dari gempuran Uni Soviet.

Dari contoh-contoh tersebut ternyata keunggulan dan kemenangan militer konvensional negara besar tidak otomatis meniadakan kemampuan perlawanan negara kecil. Artinya, negara besar sudah sangat menyadari bahwa ukuran sukses perang dewasa ini haruslah dapat mencapai kemenangan damai. Artinya, suatu bangsa penyerang harus dapat menundukkan sepenuhnya kehendak bangsa yang diserang sehingga terwujud kondisi damai agar pihak penyerang dapat menguasai sepenuhnya negara yang diserang. Dengan demikian akan lebih efektif apabila negara kecil tersebut dapat dibawa terlebih dahulu dalam cara berpikir dan persepsinya sesuai dengan kepentingan negara besar tersebut. Oleh karenanya, maka yang pertama diberi perhatian serius adalah pikiran dan persepsi masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun kebudayaan. Caranya adalah memanfaatkan semua channel/saluran/media massa di negara itu dan memanfaatkannya untuk secara sistematis dan terus menerus mempengaruhi pikiran dan perasaan masyarakat. Disamping itu, negara besar tersebut juga akan menginfiltrasi kelompok Lembaga Swadaya (LSM) dan partai politik dengan memberikan bantuan dana atau dukungan. Bahkan yang lebih canggih adalah menguasai tokoh-tokoh masyarakat, militer atau partai untuk berfikir yang sama dengan kehendak negara besar itu, sehingga tujuan akhirnya adalah perubahan rezim atau turunnya pihak yang sedang berkuasa. Jadi, penaklukan secara militer konvensional saja tidak cukup, karena apabila setelah ditaklukkan dan muncullah gerilya yang militan maka akan gagal lah negara itu menguasainya secara damai dan terpaksa akan masuk dan mengalami perang hibrida yang lebih sulit.

Apabila Indonesia ingin dapat bertahan sebagai bangsa pejuang yang besar maka yang pertama dibangun dalam menghadapi era perang hibrida ini adalah menguatkan jati diri bangsa Indonesia agar tidak mudah terbawa oleh paham-paham yang tidak sesuai dengan filosofi yang ada dalam Pancasila. Pancasila sudah terbukti sebagai benteng kekuatan untuk melindungi dari ancaman, gangguan, tantangan serta hambatan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya maka TNI AD haruslah menjadi pengawal yang setia terhadap Pancasila untuk menjamin tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Apa yang Harus Dilakukan TNI AD

Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok tersebut dilakukan dengan melalui operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia)

Untuk dapat melaksanakan tugas pokok tersebut TNI AD mengemban dua fungsi utama yaitu fungsi Pertempuran dan fungsi Pembinaan Teritorial. Fungsi Pertempuran menyelenggarakan pertempuran di darat, yang meliputi: manuver, intelijen, tembakan, dukungan, perlindungan, kodal dan informasi dalam rangka pertahanan negara di darat. Sedangkan fungsi Pembinaan Teritorial menyelenggarakan perencanaan, pengembangan, pengerahan, dan pengendalian potensi wilayah pertahanan dengan segenap aspeknya untuk menjadi kekuatan sebagai ruang, alat dan kondisi juang yang tangguh untuk kepentingan pertahanan negara di darat.

Kombinasi dua fungsi utama ini sangat cocok untuk menghadapi perang hibrida. Kemampuan tempur yang dikembangkan sesuai dengan ancaman yang timbul baik yang sifatnya konvensional maupun inkonvensional, reguler maupun irreguler; sedangkan kemampuan pembinaan teritorial akan sangat berguna untuk mengembangkan ketahanan wilayah agar memiliki daya tangkal yang efektif, baik terhadap kemungkinan serangan militer terbuka maupun serangan Perang Informasi yang tertutup. Untuk mewujudkan daya tangkal dan ketahanan dibidang militer konvensional saat ini masih sulit karena TNI AD belum diberikan anggaran yang memadahi untuk membangun satu kekuatan militer yang andal. Salah satu cara yang lebih realistis yang bisa dikembangkan adalah daya tangkal di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Walaupun untuk mewujudkan kemampuan militer secara konvensional masih sulit dan untuk mengembangkan daya tangkal di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya masih mengalami banyak hambatan, namun dalam rangka menghadapi perang hibrida tersebut maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu:

a. Kemampuan Tempur. Kondisi di Indonesia yang terkait dengan ancaman hibrida yaitu masalah konflik horizontal antara kelompok etnis dan kelompok religius, jaringan narkoba, kelompok insurjen dan terorisme. Empat hal inilah yang merupakan ancaman serius bagi Indonesia. Disamping itu ada masalah yang cukup serius dan akan menjadi ancaman yang harus dihadapi yaitu kebiasaan warga negara Indonesia yang suka “sweeping” warga negara asing apabila terjadi hubungan yang kurang harmonis antara Indonesia dan negara asing tersebut. Apabila dalam sweeping tersebut terjadi korban, maka akan ada kemungkinan negara asing masuk untuk melindungi warga negaranya dengan mengirimkan pasukan mereka, sehingga kemampuan tempur pun harus disesuaikan dengan kemungkinan ini. Oleh karenanya latihan-latihan yang berkait dengan penanggulangan konflik horizontal, jaringan narkoba, insurjen, dan terorisme selalu harus dilakukan sebagai langkah antisipasi apabila kejadian ini benar terjadi. Pasukan inti TNI AD seperti Kopassus dan Kostrad harus selalu memprogramkan dan melaksanakan latihan berkait dengan hal-hal tersebut. TNI AD juga harus melaksanakan latihan dengan matra yang lain untuk membiasakan diri melaksanakan koordinasi dan sinkronisasi dengan pasukan sejenis yang mempunyai kemampuan tempur yang setara.

b. Kemampuan Teritorial. Ketahanan wilayah merupakan satu prasyarat mutlak untuk menuju pada ketahanan nasional, fungsi inilah yang seharusnya dilaksanakan oleh komando teritorial TNI AD melalui program yang berkaitan dengan pembinaan ketahanan wilayah (bintahwil). Kegiatan Pembinaan Ketahanan Wilayah pada dasarnya merupakan perwujudan dari Kesadaran Bela Negara, dengan faktor yang paling dominan adalah seberapa besar tingkat kesadaran masyarakat dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam perlawanan rakyat guna menangkal setiap ancaman.

Sampai saat ini rasanya belum ada untuk pembinaan kemampuan teritorial dalam bentuk latihan yang menajamkan kemampuan anggota TNI AD dalam bidang ini karena belum ada tolok ukur seperti pada penajaman kemampuan tempur yang dapat dikuantifikasikan, seperti misalnya dilakukan dengan pemberian brevet keahlian. Oleh karenanya perlu standarisasi kemampuan personel seperti yang dilakukan oleh tentara teritorial seperti yang dilakukan oleh Inggris, Amerika dan beberapa negara lain yang memang terdiri dari ahli yang berkaitan dengan antropologi, teknik sipil, pertanian, ahli bahasa dan bidang-bidang sejenis yang cocok untuk penugasan dalam operasi teritorial.

Dalam konteks perang hibrida seperti disampaikan dalam amanat Panglima TNI yang membedakan dengan perang konvensional adalah adanya pemanfaatan teknologi informasi untuk cyber war, dengan demikian maka kemampuan menguasai teknologi ini juga menjadi faktor yang penting. Apabila selama ini pembinaan teritorial diarahkan untuk pelatihan wanra yang sifatnya fisik, maka perlu dipikirkan akan adanya pelatihan wanra dalam bidang cyber agar mampu mengikuti perkembangan informasi di dunia maya khususnya yang berkaitan dengan media sosial sekaligus dapat melaksanakan perlawanan rakyat di bidang perang informasi.

Dalam menghadapi ancaman perang hibrida ini, personel yang bekerja di bidang teritorial konsekuensinya harus mempunyai kemampuan cukup baik dalam penguasaan bidang ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya termasuk penguasaan teknologi informasi. Yang tidak kalah pentingnya adalah personel tersebut harus mampu memberikan penjelasan mengenai teritorial ini kepada masyarakat secara ilmiah agar semakin banyak orang yang meyakini bahwa dengan teritorial ini bangsa Indonesia akan dapat mencapai kemajuan yang signifikan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

c. Rumuskan Teritorial sebagai Ilmu. Pembinaan Teritorial yang selama ini diklaim sebagai roh TNI AD haruslah diilmiahkan sehingga menjadi ilmu yang bisa dipelajari dan diterapkan untuk membantu kesuksesan setiap operasi yang digelar oleh TNI AD baik di dalam maupun di luar negeri. Sampai saat ini apabila ada pihak yang ingin mempelajari teritorial akan sulit mencari dimana tempatnya. Hal ini disebabkan oleh kerancuan mengenai apa yang disebut sebagai teritorial. Penulis mengusulkan untuk cenderung memandang teritorial ini sebagai salah satu staf dalam militer dan dikembangkan mengikuti pola negara-negara lain namun dengan mengusung nilai-nilai asli Indonesia. Apabila kita mengambil padanan dengan militer negara lain maka kita dapat petakan sebagai berikut:

Staffing

Ketika berbicara Teritorial sebagai staf militer maka padanan yang ada adalah sebagai Civil Affair atau Civil Military Cooperation (CIMIC) di negara-negara lain. Oleh karenanya, tidak ada salahnya apabila kita meniru Korea yang mengusung konsep CIMIC namun dengan nilai-nilai Korea yang mengemas konsep Saemaul Undong yang berisi tiga nilai utama yaitu: rajin (dilligence), berdikari (self-help) dan gotong royong (cooperation) (http://www.saemaul.or.kr/english/). Untuk mengilmiahkan Teritorial sebagai CIMIC yang mengusung nilai-nilai asli Indonesia, maka yang pertama kali dirumuskan adalah nilai apa yang akan dimasukkan (pilih dua atau tiga nilai saja, misalnya ramah, berdikari, gotong royong, ringan tangan dan sebagainya). Setelah dipilih nilai luhurnya maka hal itu perlu dibakukan dan dibentuk pusat-pusat pelatihan teritorial di seluruh Indonesia. Berikutnya adakan evaluasi ketika dilaksanakan pada operasi di medan pertempuran yang berbeda-beda dan diadakan penyesuaian-penyesuaian, baru berikutnya dirumuskan konsep bakunya dengan berdasarkan pengalaman-pengalaman operasi tersebut (lesson learned). Setelah konsep baku ini jadi maka dapat digunakan sebagai pedoman bagi TNI AD untuk menjadikan teritorial sebagai roh dari TNI AD. Dengan demikian apabila memang sudah terbukti bahwa teritorial ini memang menjadi roh TNI AD maka siapapun dan dimanapun orang bertanya tentang teritorial rakyat pun akan mengetahui tentang hal tersebut. Hal ini bisa dianalogikan dengan sistem Subak di Bali, dimanapun petani atau orang ingin tahu tentang Subak maka ketika pergi ke Bali kemanapun perginya asal bertanya kepada petani maka mereka akan bisa menjelaskannya karena Subak sudah menjadi bagian dari hidup atau roh petani di Bali. Demikian pula, nantinya apabila orang bertanya tentang teritorial maka setiap prajurit dan rakyat akan tahu karena hal itu sudah menjadi bagian dari kehidupan prajurit. Dengan demikian maka dalam menghadapi ancaman perang hibrida ini, setiap prajurit akan siap dan tahu karena teritorial ini sudah menjadi roh dari setiap prajurit.

d. Bangun Logistik Wilayah

Perang apapun bentuknya pasti memerlukan dukungan logistik. Dengan demikian apabila kita menghadapi perang hibrida ini maka kita perlu secara terencana harus membangun logistik wilayah. Sampai saat ini rasanya belum tersedia logistik wilayah yang tersusun dalam kesisteman logistik untuk mendukung perang semesta, sesuai dengan potensi daerah. Rasanya yang dilakukan oleh satuan teritorial adalah baru sekadar melaksanakan pendataan terhadap potensi wilayah. Secara umum ada tiga elemen logistik yang penting yaitu materiil, fasilitas dan jasa. Saat ini kegiatan penyiapan sarana depo logistik di daerah yang berjalan baru depo-depo logistik dari Bulog (urusan beras) dan Pertamina (urusan bahan bakar minyak), inipun baru terbatas pada daerah yang padat penduduknya. Depo atau pusat penimbunan logistik yang lain yang lebih spesifik dalam rangka menghadapi perang hibrida pun sampai saat ini belum ada konsep yang jelas. Oleh karenanya para ahli logistik TNI AD diharapkan segera menyusun konsep sistem logistik wilayah untuk mendukung konsep hibrida ini.

Seperti disampaikan diatas bahwa walaupun dengan pembinaan teritorial aspek sosial budaya dan aspek lain dalam masyarakat dapat dikuasai, namun kita juga tidak boleh melupakan faktor teknologi untuk dapat membantu memenangkan perang hibrida ini. Salah satu teknologi yang saat ini berperan penting adalah Teknologi Informasi khususnya untuk mendukung konsep perang informasi dan perang cyber. Oleh karenanya penguasaan dan kepemilikan teknologi ini secara aman dan secara mandiri merupakan satu hal yang penting untuk mendukung konsep perang hibrida ini.

Peran TI sebagai sarana Pembinaan Teritorial dalam Perang Hibrida

Pandangan umum menyatakan bahwa militer profesional adalah militer yang berperang secara konvensional, didukung oleh alutsista yang modern dengan daya tempur yang tinggi, bertempur dalam jenis perang tertentu, dinilai sudah kurang relevan lagi. Hal ini disampaikan oleh mantan Sekretaris Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates “The old paradigm of looking at potential conflicts as either regular or irregular war, conventional or unconventional, high-end or low is no longer relevant." Saat ini mereka menghadapi perang hibrida yang untuk memenangkannya memerlukan militer dengan kemampuan yang sangat fleksibel untuk mengatasi berbagai spektrum konflik. (Defense Information Technology Acquisition Summit, 12 November 2009)

Dalam perang hibrida, TI memainkan peran yang penting. Teknologi ini mampu memberikan informasi kepada prajurit secara real time tentang ancaman yang mereka hadapi dan memberi solusi bagi para prajurit tentang apa yang harus dilakukan. Bahkan saat ini mereka secara individual juga dapat langsung mengakses informasi itu melalui perangkat genggam (handheld) yang mereka bawa. Disamping keunggulannya, karena kemudahan pengoperasiannya dalam mendukung proses pengambilan keputusan, Teknologi informasi juga dapat digunakan dalam mendukung konsep penaklukan tanpa melaksanakan perang secara fisik yaitu menggunakan konsep perang informasi melalui sarana media massa, mailing list, dan bahkan sekarang ini menggunakan apa yang disebut sebagai media sosial (social media). Media sosial, seperti Twitter, Facebook, BB Messenger dan sebagainya, merupakan satu sarana yang cukup ampuh dalam rangka mendukung perang hibrida, bahkan dari pengalaman akhir-akhir ini di Timur Tengah dengan Arab Spring nya yaitu media sosial mampu membuat revolusi di Tunisia, Mesir, Libya dan sekitarnya. Gambar berikut ini menunjukkan bahwa media sosial mempunyai kecepatan yang tinggi dalam menyampaikan informasi dengan sangat efektif.

Internet

Sesuai ilustrasi di atas maka masyarakat yang mengakses ke media sosial akan mengetahui terlebih dahulu akan adanya satu kejadian sebelum media umum seperti radio, TV, internet umum, koran menyebarkan berita tersebut. Dengan konsep ini maka untuk dapat mengetahui informasi secara dini adalah mau tidak mau masuk kedalam media sosial. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa Presiden SBY membuat akun di Twitter https://twitter.com/sbyudhoyono yang ternyata baru beberapa hari dibuka langsung pengikutnya sudah mencapai jutaan dan ini merupakan media sosial yang dimiliki pemimpin negara dengan pengikut tertinggi di Asia Tenggara. Inilah pentingnya teknologi informasi dalam rangka mendukung konsep perang hibrida.

Khusus untuk pemanfaatan teknologi informasi di bidang teritorial dalam meningkatkan ketahanan wilayah diperlukan satu langkah terobosan melalui pelaksanaan pembinaan ketahanan wilayah (bintahwil). Bintahwil selama ini dilakukan dengan cara manual melalui tatap muka untuk menyampaikan pesan kesadaran bela negara dengan tujuan akhir adalah perlawanan rakyat guna menangkal setiap ancaman yang datang. Seiring dengan kemajuan teknologi maka penyampaian pesan saat ini dapat dilakukan secara efektif melalui media sosial, internet dan media lokal lainnya. Untuk dapat melakukan ini maka personel teritorial dituntut untuk paling tidak melek komputer (computer literate), mempunyai kemampuan komunikasi yang baik dan mempunyai kemampuan untuk menyampaikan pesan kepada komunitas disekitarnya melalui media digital yang dianggap paling efektif di wilayah tersebut.

Untuk mencapai hal tersebut maka konsep rumah pintar yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah dapat diadopsi dalam rangka pembinaan ketahanan wilayah. Secara singkat sarana ini terdiri dari satu rumah sederhana / gubug ditambah dengan fasilitas komputer dan akses internet. Rumah sederhana ini idealnya dibangun di lokasi yang strategis dimana banyak orang dapat berkumpul. Ketika banyak orang berkumpul disatu tempat, maka hal itu dapat dimanfaatkan untuk tempat menyebarkan informasi kepada masyarakat. Apabila komputer yang dilengkapi internet ini sudah diprogram oleh pihak teritorial untuk memberikan informasi-informasi yang sangat berguna bagi masyarakat maka masyarakat akan memperoleh manfaat yang sangat besar. Rumah sederhana ini ketika sudah mampu menjadi tempat berkumpul dan bertukar berbagi informasi maka otomatis sudah menjadi CIP (community intelligence point). Apabila sudah menjadi community intelligence point maka sarana ini sudah menjadi sarana untuk melawan perang informasi. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana para babinsa atau aparat teritorial ini mampu memanfaatkan teknologi ini dengan baik, karena hal ini menjadi prasyarat awal untuk menjalankan konsep bintahwil melalui media digital.

Sarana berikutnya adalah satu perangkat lunak sederhana yang mengadopsi konsep “kentongan”. Kentongan sebagai sarana komunikasi pada masa lalu mempunyai efektifitas yang sangat tinggi. Namun di jaman yang sudah digital ini, konsep tersebut perlu dikembangkan menjadi “kentongan digital”. Konsep ini sebenarnya sudah dilakukan oleh POLRI dengan konsep Community Policing, dengan membagikan perangkat handy talkie kepada pengurus RT/RW dan tokoh masyarakat, namun kegiatan ini berbiaya mahal karena harga handy talkie cukup mahal dan pemeliharaannya relatif lebih sulit. Namun apabila menggunakan konsep kentongan digital, biaya dan pemeliharaannya relatif lebih mudah dan murah. Sarana ini terdiri dari perangkat sederhana berupa komputer sederhana dan SMS gateway yang dipasang di komando teritorial seperti Koramil, sedangkan fasilitas penerimanya menggunakan handphone yang saat ini harganya sudah sangat terjangkau dan sudah hampir dimiliki oleh seluruh warga. (Berdasarkan data yang ada saat ini sudah lebih dari 250 juta handphone beredar di Indonesia). Sarana ini, perangkat komputer dan SMS gateway yang dilengkapi perangkat lunak yang dengan mudah dibuat dapat digunakan sebagai sarana menyebarkan informasi kepada baik seluruh masyarakat, tokoh masyarakat maupun daftar kontak yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Dengan sarana ini maka Koramil dapat memberikan peringatan dini sebagai bagian dari konsep lapor cepat dan temu cepat yang harus dilaksanakan oleh setiap aparat teritorial. Apabila sistem ini dihubungkan dengan rumah pintar di atas maka akan menjadi sarana menyebarkan informasi yang baik tentang teritorial dan hal-hal baik yang dilakukan oleh TNI AD dari sumber yang dapat dipercaya. Apalagi saat ini Pemerintah melalui Kemkominfo sedang menggiatkan penyebaran PLIK (Pusat Layanan Internet Kecamatan) atau Internet Service Center Kabupaten dan MPLIK (Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan). Program ini merupakan kelanjutan dari program USO (Universal Service Obligation) yang dilakukan oleh para penyedia jasa telekomunikasi Indonesia. Pihak teritorial apabila jeli dan dapat memanfaatkan fasilitas ini maka akan menjadi sarana yang sangat hebat dalam rangka membina ketahanan wilayah melalui program Bintahwil menggunakan sarana digital.

Dari kombinasi rumah pintar dan kentongan digital ini yang apabila diintegrasikan dengan PLIK serta media lokal yang ada maka akan menjadi sarana perang informasi yang sangat efektif dengan biaya yang sangat murah, dengan catatan semua aparat teritorial sudah melek komputer sekalipun dalam tingkatan yang paling rendah.

Sebagai langkah untuk mengantisipasi perang hibrida tersebut, Disinfolahtad juga sedang membangun infrastruktur mandiri sesuai dengan arahan pimpinan TNI AD dan menyiapkan sumber daya manusia yang memahami cyber defence. Apabila konsep ini dapat terwujud maka TNI AD akan memiliki infrastruktur mandiri walaupun baru terbatas di Jakarta dan Bandung. Dengan konsep ini maka pengamanan informasi dan data akan lebih baik karena semua akan berada dibawah kontrol Mabesad sehingga penyediaan layanan pun menjadi lebih baik. Diharapkan beberapa kombinasi upaya yang dilakukan oleh pihak teritorial dan penmbangunan infrastruktur ini akan dapat mendukung konsep perang hibrida.

Penutup

Perang hibrida merupakan perang campuran. Perang jenis ini tidak bisa dimenangkan dengan hanya berfokus pada teknologi, namun juga dengan aspek sosial budaya dan aspek lain dalam masyarakat. Oleh karenanya maka teritorial memegang peran penting terutama melalui program ketahanan wilayah dapat dilakukan dengan melaksanakan bintahwil menggunakan konsep baru dengan memanfaatkan teknologi informasi sebagai sarana penyebaran pengetahuan dan informasi kepada seluruh lapisan masyarakat melalui konsep Community Intelligent Point. Konsep rumah pintar yang dikombinasikan dengan kentongan digital dapat menjadi sarana peningkatan ketahanan wilayah dalam rangka mendukung perang informasi sebagai antisipasi menangani perang hibrida.

Untuk lebih meluaskan konsep pembinaan ketahanan wilayah maka disarankan Pusterad membuat MoU dengan Kemkominfo untuk menempatkan PLIK / MPLIK pada tempat strategis sesuai hasil pemetaan Babinsa agar tempat itu menjadi tempat berkumpul masyarakat dalam community intelligent point. Saat ini Kemkominfo akan menggelar kurang lebih 5600 Pusat Layanan Internet Kecamatan di seluruh Indonesia, yang sudah digelar baru sekitar 1800 buah sehingga masih tersisa lebih dari 3000 yang belum terpasang. Apabila aparat teritorial mampu menempatkan sarana ini di tempat yang tepat dan dapat menggabungkannya dengan konsep rumah pintar serta kentongan digital maka dengan otomatis sudah melaksanakan kegiatan untuk memperkuat ketahanan wilayah dalam rangka menghadapi perang informasi. Disarankan pula untuk Pusterad membuat konten yang berisi pesan teritorial akan kesadaran bela negara atau bintahwil di website, teknisnya adalah ketika pertama kali orang membuka website maka pesan teritorial itu yang akan selalu muncul terlebih dahulu sehingga masyarakat yang mengakses web akan menerima pesan yang diinginkan oleh pihak teritorial sehingga konsep bintahwil secara digital akan menjadi sangat efektif.

Semoga bermanfaat.

Baca selengkapnya . . .

04 Februari 2014

Benahi Negeri Gunakan Pancasila

D alam berbagai pembicaraan baik dengan sesama Perwira maupun dengan kalangan sipil sudah sangat jarang saya mendengar pembicaraan tentang Pancasila. Pancasila seolah terlupakan, hanya diingat tatkala memperingati hari-hari bersejarah tertentu, ataupun saat melaksanakan upacara mingguan dan bulanan. Bagi sebagian kita berbicara tentang Pancasila seolah membicarakan sesuatu yang angker atau mungkin tabu. Sebagian lagi ada yang memandang bahwa membicarakan Pancasila sepertinya membicarakan sesuatu yang tidak ada gunanya (just wasting time).

Pada suatu kesempatan mengobrol empat mata di kediaman seorang senior (beliau mantan Kasad) mengatakan kepada saya, bahwa Pancasila ibarat “ koreksi nolbagi Bangsa dan Negeri ini. Ibarat peluru meriam yang bergeser perkenaannya beberapa puluh meter, maka untuk dapat memperbaiki agar perkenaan sedekat mungkin dengan sasaran dilaksanakan koreksi nol menggunakan perangkat bidik. Demikian juga ketika banyak yang menyimpang ditengah-tengah Bangsa ini dan dinegeri ini, maka hanya Pancasila yang dapat mengembalikannya. Karena Pancasila dengan Bangsa dan Negeri ini ibarat sebuah Meriam dengan Perangkat Bidiknya. Bayangkan sebuah meriam ditembakkan tanpa menggunakan perangkat bidik, bisa jadi peluru kena pada sasaran atau juga peluru nyasar menghujam pasukan sendiri. Kira-kira seperti itulah yang terjadi di negeri ini, ada arah yang sudah sesuai dengan haluan yang diinginkan namun lebih banyak lagi arah yang menuju entah kemana. Mengapa demikian?, karena Pancasila hanya dipandang sebagai simbol keramat semata dan tidak (pernah) digunakan sebagai haluan untuk mengarahkan negeri ini.

Realita faktual yang kita lihat di negeri ini, antara lain: Negeri ini masih berkutat tentang KETUHANAN, karena walaupun sebagian besar rakyat negeri ini mempunyai agama, apakah itu Hindu, Budha, Kong Fu Tsu, Kristen ataupun Islam tetapi sesungguhnya sebagian besar diantara mereka dapat dikatakan tidak beragama. Mempunyai agama tidak serta-merta beragama, ibarat kita punya baju, tetapi belum tentu kita berbaju (contoh: saat mandi). Seandainya seluruh rakyat negeri ini beragama maka tidak akan terjadi korupsi, tidak akan terjadi pembalakan hutan, tidak akan terjadi tindakan semena-mena apakah terhadap sesama manusia maupun makhluk ciptaan TUHAN lainnya; Bangsa ini juga masih bermasalah dengan KEMANUSIAAN, karena banyak rakyat negeri ini yang tidak menyadari bahwa dia adalah manusia. Karena tidak menyadari keberadaannya sebagai manusia, dia tidak dapat berinteraksi secara manusia dengan sesama manusia maupun kepada makhluk hidup lain, dan lebih parah lagi sadar atau tidak disadari banyak yang telah membuat manusia menjadi bukan manusia. Padahal sebagai seorang manusia, justru harus bisa memanusiakan manusia; Dalam hal PERSATUAN negeri ini pun masih bermasalah. Keutuhan wilayah negeri sedang terancam, baik yang selalu terperhatikan seperti kemungkinan lepasnya Aceh ataupun Papua termasuk yang kurang terperhatikan seperti klaim hingga lepasnya teritori negeri ini oleh negeri tetangga. Selain itu juga konflik-konflik antar perorangan – kelompok–institusi merupakan indikasi nyata bahwa negeri ini masih bermasalah dengan PERSATUAN; Masalah selanjutnya, bahwa konon di negeri ini kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat (melalui perwakilan yang duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang kemudian memberikan mandat kekuasaan rakyat tersebut kepada Presiden. Namun apakah rakyat negeri ini sudah merasakan kekuasaan yang dimandatkan tersebut ? Yang terasa adalah wakil-wakil yang lupa siapa yang telah mendudukkan dia, wakil-wakil yang sering menyakiti perasaan rakyat yang memilih mereka, wakil-wakil yang sering adu jotos dengan sesama wakil-wakil, dlsb. Wakil-wakil itu jangankan memiliki hikmat/kebijaksanaan, hal kedewasaan saja ibarat jauh panggang dari api; Dan puncak dari semua itu, negeri ini masih bermasalah dengan KEADILAN. Manusia makhluk sosial adalah takdir Tuhan dan dalam pembukaan UUD 45 telah diamanatkan dalam tujuan nasional yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya. Itulah keberadaan tertinggi manusia Indonesia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial.

Berkenaan dengan realita faktual yang terjadi di negeri ini dan di bangsa ini dan bagaimana kita mengambil sikap, saya ingin menyampaikan satu tesis sederhana tentang Pancasila, sebagai berikut: “Bahwa kelima sila dalam Pancasila terdiri dari tiga sila prasyarat, satu sila kondisi merangkap sila prasyarat dan satu sila kondisi. Sila pertama dan sila kedua adalah sila prasyarat untuk mewujudkan sila ketiga (sila kondisi 1). Setelah sila ketiga terwujud dia akan menjadi sila prasyarat bersama sila keempat untuk mewujudkan sila kelima (sila kondisi 2. Dari tesis sederhana tersebut (menurut pandangan saya), apabila negeri ini ingin mewujudkan PERSATUAN INDONESIA, maka syaratnya sila pertama dan kedua harus terwujud lebih dahulu. Bila sila pertama dan sila kedua sudah terwujud maka PERSATUAN INDONESIA secara otomatis akan terwujud dengan sendirinya. Selanjutnya bila negeri ini ingin paripurna sesuai tujuan nasionalnya yaitu dengan mewujudkan KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA, maka setelah PERSATUAN INDONESIA dapat diwujudkan, masih ada satu prasyarat lagi yang harus terpenuhi yaitu terwujudnya sila keempat. Berkaitan dengan tesis sederhana yang saya sampaikan ini, ijinkan saya untuk mengulas ataupun mengupas sila demi sila, bukan secara teoritis namun lebih secara filosofis sesuai dengan kelahiran Pancasila itu sendiri yang sarat dengan spirit para founding fathers bangsa ini  …

Baca selengkapnya . . .

03 Februari 2014

Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Rangka Reformasi Pendidikan TNI AD

Oleh: Budiman S.P.*

Pada suatu waktu, para perwira siswa (pasis) memasuki ruangan kuliah umum yang sudah dilengkapi dengan sarana audio visual yang cukup baik. Dosen mengajar mata pelajaran dengan persiapan yang matang. Para pasis mengikuti pelajaran dengan antusias, para pasis bertanya dan dosen menjawab pertanyaan dengan memuaskan. Di akhir pelajaran dosen memberikan penugasan kepada pasis. Untuk membuat kelas menjadi efektif, maka pasis dibagi-bagi dalam sindikat untuk mendiskusikan persoalan yang diberikan. Masing-masing sindikat dibimbing oleh seorang perwira yang ditunjuk. Dalam kesempatan berikutnya dilaksanakan diskusi kelas yang suasananya hidup. Masing-masing pasis secara aktif berperan dalam diskusi tersebut. Hasil diskusi disimpulkan dalam makalah yang harus dikumpulkan dalam waktu tertentu. Hasil diskusi sesuai dengan apa yang diinginkan lembaga seperti yang tertuang dalam “jawaban sekolah”. Para pasis dan lembaga merasa puas.

Dua tahun kemudian, selesai mengikuti upacara pembukaan para pasis dibagi Compact Disk (CD) yang secara otomatis akan menampilkan informasi begitu dimasukkan kedalam CD drive komputer. Para pasis tidak harus “melek komputer” untuk dapat mengoperasikannya. CD tersebut berisi informasi lengkap tentang Seskoad, kumpulan semua hanjar, Lembar Penugasan dan Kuis serta referensi yang berkaitan dengan pelajaran yang diberikan. CD tersebut juga berisi link (hubungan) ke sumber-sumber internet. Para pasis dengan membawa CD masing-masing duduk di depan komputer di laboratorium untuk mempelajari tugas yang diberikan oleh lembaga, mencari referensi untuk penugasannya. Sebagian perwira siswa yang sudah terbiasa menggunakan internet pergi ke warnet atau memanfaatkan laptopnya disambungkan pada jaringan hotspot/wireless untuk mencari tambahan informasi seperti yang ditunjukkan dalam link-link tersebut. Sebagian pasis lainnya mencari tambahan informasi dengan memanfaatkan ensiklopedia elektronik. Dalam waktu yang telah ditentukan mereka berkumpul di ruang diskusi dalam bentuk sindikat/kelompok untuk mendiskusikan penugasannya disupervisi oleh perwira yang ditunjuk. Suasana diskusi sangat hidup dan berkembang dengan sudut pandang berbeda-beda. Diskusi menghasilkan keputusan atau makalah yang komprehensif dan ternyata berbeda dengan jawaban sekolah. Laporan dikumpulkan dalam waktu yang lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Demikianlah gambaran situasi kelas yang berbeda antara sistem dengan dan tanpa memanfaatkan peranan teknologi informasi. Tulisan ini akan membahas peran teknologi informasi dalam bidang pendidikan dan bagaimana teknologi informasi dapat diimplementasikan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas serdik dalam proses belajar. Sebagai bahan pembahasan penulis mengambil contoh Seskoad karena sekolah ini merupakan barometer pendidikan di TNI AD dan diasumsikan merupakan pendidikan yang terbaik. Diharapkan dengan memanfaatkan teknologi informasi Seskoad akan menjadi pelopor pembaharuan dalam bidang pendidikan di lingkungan TNI AD.

Sistem Pendidikan

Inti dari sistem pendidikan adalah hubungan manusiawi yang terbentuk antara tenaga pendidik (gadik) dan peserta-didik (serdik). Hubungan ini oleh para praktisi biasanya direduksi hanya menjadi “proses belajar-mengajar”, yang tidak mencerminkan keseluruhan sistem pendidikan. Terkadang bahkan, pendidikan direduksi menjadi sekedar suatu proses transfer pengetahuan, ketrampilan, dan penyebaran informasi saja. Memang proses belajar mengajar, transfer pengetahuan dan ketrampilan serta proses penyebaran informasi adalah merupakan elemen-elemen kunci dalam sistem pendidikan. Secara khusus, sistem pendidikan TNI AD bukan hanya sekedar “proses belajar-mengajar” ditambah dengan “pewarisan nilai-nilai”, melainkan lebih dari itu secara universal ditujukan untuk menjadikan manusia seutuhnya, khususnya dalam rangka menjadi patriot untuk mempertahankan eksistensi negara Indonesia. Hal ini tertuang dalam sesanti “dwi warna purwa cendekia wusana” yang berarti pertama-tama adalah pejuang merah putih dan baru kemudian kecendekiaan atau keahlian.

Kualitas pendidikan secara umum sangat ditentukan oleh adanya interaksi yang baik antara gadik dan serdik. Gadik sebagai pembimbing atau pendamping sekaligus menjadi teladan bagi serdik dalam rangka proses belajar mengajar dan proses pewarisan nilai-nilai. Tanpa adanya interaksi yang baik ini maka pendidikan akan jauh dari hakekatnya dan akan tinggal menjadi hal-hal teknis belaka yang akan menghasilkan manusia-manusia yang pandai saja tetapi miskin sentuhan manusiawi. Sehingga tidak mengherankan kalau kualitas manusia yang terbaik saat ini justru diperoleh melalui pendidikan dengan pola tradisional dengan metoda "talk and chalk" , model perguruan silat, ataupun model pesantren. Menurut ukuran yang sampai saat ini masih berlaku, bagus tidaknya suatu institusi pendidikan adalah tergantung nisbah (ratio) siswa dengan gurunya. Semakin besar nisbahnya diharapkan semakin baik kualitas hasil didiknya. Ini mengandung arti bahwa semakin banyak hubungan manusiawinya diharapkan semakin baik kualitas hasil didiknya. Namun demikian hal ini tidak berarti bahwa penggunaan teknologi untuk menjalankan proses-proses dalam sistem pendidikan akan menurunkan kualitas pendidikan.

Penggunaan teknologi secara nyata meningkatkan kuantitas serdik yang dapat memperoleh pendidikan serta memperluas cakupan materi pelajaran, yang berarti penggunaan teknologi modern khususnya teknologi informasi dapat membantu meningkatkan pendidikan tanpa harus menurunkan kualitasnya apabila hubungan manusiawi antara gadik dan serdik tetap dijaga.

Peran Teknologi Dalam Pendidikan.

Ramalan mengenai peran atau manfaat teknologi biasanya dihubungkan dengan masalah yang berkaitan dengan konteks sosial politik yang akan terjadi dalam masyarakat. Namun kadang-kadang ramalan itu tidak terjadi atau meleset. Sebagai contoh, pada awal abad 20 di Amerika pada saat kendaraan sudah mulai banyak, dinyatakan bahwa akan terjadi perbaikan kondisi lingkungan bila mobil menggantikan kereta kuda. Jalanan menjadi bersih, tidak berdebu, tidak berbau, dan tidak berisik sejak ditemukannya ban dalam, hal ini akan mengurangi ketegangan dan gangguan di kota-kota besar. Saat ini barangkali ramalan semacam itu akan ditertawakan karena ternyata dengan digunakannya mobil, kondisi yang diramalkan meleset. Yang terjadi justru adalah kemacetan lalu lintas, polusi suara, polusi udara yang semakin menimbulkan ketegangan dan gangguan di kota-kota besar. Tanpa mempersoalkan apa akibatnya dari sisi sosial politik, pengaruh teknologi terhadap pendidikan terutama dari sisi transfer pengetahuan dan penambahan cakupan pengetahuan terlihat sangat jelas.

Berikut gambaran mengenai bagaimana teknologi dengan jelas mampu mengubah cara pendidikan dilaksanakan. Yang dimaksud teknologi dalam hal ini mulai dari mimik atau isyarat ke bahasa lisan (spoken language), menuju bahasa tulisan (written language) di batu/tulang, tulisan di kertas, mesin cetak sampai dengan buku dan TV sampai saat ini menggunakan e-learning. Marilah kita menengok kebelakang dan melihat bagaimana perkembangan teknologi tersebut mengubah pendidikan.

Teknologi yang sangat primitif yang digunakan untuk berkomunikasi adalah menggunakan mimik, isyarat, maupun coretan-coretan di pasir. Dengan teknologi ini walaupun tanpa kata-kata manusia sudah mampu melakukan pendidikan kepada anak-anaknya. Dengan cara ini pula para orang tua sudah mampu mengajari anaknya untuk berburu binatang dan mencari makanan dan sebagainya. Begitu ada teknologi baru yang berupa bahasa lisan (spoken language) maka ada kemajuan yang pesat dalam upaya penyampaian pengetahuan kepada anak-anaknya. Dalam era ini kadar pengetahuan masih sangat tergantung pada ingatan saja. Teknologi yang selanjutnya adalah bahasa tulis (written language), dengan teknologi ini mulailah pengalaman-pengalaman tersebut dituliskan di tulang, batu dan dinding-dinding gua. Mulai saat inilah pengetahuan tidak hanya tergantung yang di ingatan saja melainkan juga yang tertulis entah di batu ataupun dinding gua. Setelah ditemukannya teknologi kertas yang jauh lebih ringan dari lempeng batu maka semakin banyak pengetahuan yang didapatkan dan relatif bisa dibawa kemana-mana. Berikutnya setelah ditemukannya teknologi mesin cetak maka terjadi lompatan yang sangat luar biasa karena informasi dapat disimpan dengan cepat dalam bentuk buku. Dalam tahap ini pengetahuan sangat cepat didapatkan. Dengan adanya teknologi komunikasi / radio maka pengetahuan makin mudah untuk didapatkan. Menyusul ditemukannya televisi kita bisa mengikuti pendidikan secara visual melalui televisi. Ketika komputer ditemukan dan teknologi informasi berkembang dengan cepat maka saat ini kita dapat belajar menggunakan metode yang disebut sebagai e-learning. Inilah gambaran betapa teknologi itu akan dengan jelas mengubah bagaimana kita belajar dan mengikuti pendidikan.

Secara singkat kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi membuat pergeseran yang cukup nyata dalam pendidikan. Pergeseran tersebut adalah kalau dahulu gadik sebagai sumber utama pengetahuan (teachers as gatekeepers to knowledge) maka saat ini gadik berfungsi menjadi lebih sebagai fasilitator maupun mediator. Hal ini terjadi karena adanya media interaktif (interactivity media), perpustakaan elektronis (online library), ataupun belajar jarak jauh (distance learning). Saat ini seiring dengan kemajuan teknologi informasi, terjadi pergeseran paradigma pendidikan dari yang tadinya pendidikan berpusat kepada gadik (lecturer centered) menjadi berpusat pada serdik (student centered education); belajar dengan mengutamakan ilmu (knowledge based learning) menjadi belajar yang mengarah pada kompetensi (competence based learning); dan metodologi yang menekankan penguasaan materi (content driven methodology) menjadi metodologi yang mengedepankan proses belajar (process driven methodology).

Mengingat demikian besar pengaruh teknologi terhadap pendidikan maka TNI AD mau tidak mau harus menggunakan teknologi khususnya teknologi informasi untuk membantu meningkatkan cakupan jumlah serdik dan kualitas pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Kondisi Pendidikan TNI AD.

Selama ini masih diyakini bahwa Seskoad sebagai pendidikan tertinggi di lingkungan TNI AD merupakan “center of excellence”. Namun demikian ternyata sistem pendidikannya masih dijalankan dengan menggunakan pendekatan konvensional yaitu gadik sebagai sumber utama pengetahuan (teachers as gatekeepers to knowledge). Sistem pendidikan yang demikian akan menghasilkan serdik yang kemampuannya tidak maksimal dan menimbulkan ketergantungan kepada guru. Metode ini mempersyaratkan kehadiran gadik, tanpa gadik tidak ada proses belajar. Sistem ini juga menuntut ketersediaan gadik yang cukup. Jumlah gadik yang tidak mencukupi membuat satu orang gadik mengajar beberapa mata pelajaran sehingga tingkat kompetensinya pun diragukan. Dengan demikian paradigma pendidikan yang berpusat pada gadik ini perlu dirubah menjadi berpusat pada serdik untuk lebih menumbuhkan inisiatif para serdik.

Saat ini metode belajar di Seskoad juga masih menekankan bagaimana serdik diharapkan menguasai materi pelajaran sebanyak-banyaknya (knowledge based learning) dan belum mengarah pada kompetensi (competence based learning). Saat ini pelajaran yang diberikan di Seskoad meliputi Subyek Bin Kejuangan dan Kepribadian; Subyek Bin Pengetahuan dan Ketrampilan; Subyek Bin Jasmani; dan Lain-lain dengan jumlah mata pelajaran teori sebanyak 114 buah yang diberikan dalam 43 minggu. Ini merupakan contoh tipikal pendidikan dengan titik berat mata pelajaran. Dalam waktu yang relatif singkat serdik diwajibkan menguasai sebanyak-banyaknya pelajaran. Sistem yang demikian tidak menjamin kompetensi. Rasanya sangat sulit untuk mengharapkan lulusan Seskoad dengan paradigma ini mempunyai kompetensi yang tinggi. Sebagai perbandingan Sesko Malaysia, Singapura, atau Filipina tidak mengajarkan banyak pelajaran. Pada umumnya pelajaran dikelompokkan dalam empat modul dasar yaitu General Studies; Command, Leadership and Management; Strategy Warfare and Conflict Strategies; dan Military Operations. Masing-masing modul hanya terdiri dari beberapa pelajaran namun cukup mendalam dengan didukung sarana yang memadahi. Bahkan seperti di Malaysia dan Australia alumni pendidikan Sesko langsung dapat melanjutkan untuk S2 di bidang strategi di universitas. Untuk Malaysia dapat melanjutkan di Universitas Malaya dan di Inggris sedangkan untuk Australia dapat melanjutkan S2 di ADFA. Dengan demikian pendidikan Sesko diharapkan menggunakan sistem belajar yang menekankan kompetensi, sehingga alumninya cukup kompeten dalam bidang yang ditekuninya.

Pendidikan di Seskoad juga masih menganut metodologi yang menekankan pada isi pendidikan (content driven methodology). Sistem ini akan memacu siswa belajar atau membuat penugasan hanya untuk memenuhi tugas sesuai jadwal sementara penguasaan materi kurang ditonjolkan. Menurut salah satu bidang manajemen yaitu Total Quality Management (TQM) hasil akan baik apabila prosesnya benar (process driven methodology). Dengan demikian hasil pendidikan yang baik akan secara otomatis dapat dicapai apabila proses belajarnya benar, tanpa harus setiap kali mengevaluasi hasilnya.

Kondisi pendidikan sesuai dengan paradigma dan metodologi yang diharapkan tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan cara melakukan penataan kembali sistem pendidikan dengan memanfaatkan peran teknologi informasi.

Konsepsi Penataan Pendidikan TNI AD

Pada prinsipnya reformasi Sistem Pendidikan TNI AD yang ideal dilaksanakan dengan melakukan penataan kembali seluruh komponen pendidikan yang meliputi kurikulum, paket instruksi, gadik, gapendik, serdik, alins/alongins, metoda pengajaran, evaluasi, fasdik, dan anggaran. Penataan ini dapat dilakukan dengan melibatkan dan mengintegrasikan personel-personel yang kompeten di bidang masing-masing. Untuk beberapa komponen seperti paket instruksi, alins/alongins dan evaluasi dapat ditata dengan menggunakan teknologi informasi untuk mempercepat proses penguasaan pengetahuan.

Perkembangan teknologi dewasa ini ditandai dengan adanya perkembangan komputer yang sangat pesat baik dari aspek peranti keras maupun peranti lunak seperti database, pengolah kata (word processor), lembar kerja (spreadsheet). Keunggulan dari teknologi ini adalah mampu menyimpan pengetahuan yang sangat besar dan mudah diakses dalam waktu yang sangat cepat. Akibat perkembangan komputer yang pesat ini berkembanglah teknologi internet. Internet merupakan jutaan komputer yang terhubung satu sama lain di seluruh penjuru dunia dengan kapasitas informasi yang tak terbatas yang sewaktu-waktu dapat diakses secara on-line. Saat ini banyak universitas (baik militer maupun sipil), kursus-kursus, sudah membuka pelajaran secara on-line, berkat jaringan global ini. Berkaitan dengan kemajuan teknologi ini maka komponen pendidikan seperti paket instruksi dapat dibuat menggunakan perangkat lunak pengolah kata, alins ataupun alongins dapat menggunakan paket tutorial yang berbasiskan komputer / Computer Based Tutorial (CBT), evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk soal yang diketik menggunakan perangkat lunak pengolah kata (word processor) ataupun menggunakan metode evaluasi yang otomatis dikerjakan secara interaktif langsung di komputer.

Dalam pendidikan yang dijalankan dengan metode tradisional hambatan yang utama adalah adanya keterbatasan ruang dan waktu. Tenaga pendidik yang sesuai/ profesional tidak selalu berada dalam satu dimensi ruang dan waktu dengan peserta-didik yang memerlukan kehadirannya. Dengan demikian, kesempatan peserta-didik untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas seperti di Seskoad secara langsung melalui proses-proses pendidikan bertatap muka sangat terbatas dan sulit karena alokasi yang terbatas. Namun dengan inovasi teknologi informasi (baik internet maupun sistem pemberkasan hanjar yang baik) dapat mengatasi kendala ruang dan waktu. Bahan ajaran dikelompokkan menjadi paket-paket elektronik yang dapat disimpan dan ditansfer melintasi ruang melalui sistem komunikasi data tanpa hambatan. Dengan sistem pemberkasan hanjar elektronik, materi-materi pendidikan dapat disimpan dan diakses setiap saat melintasi dimensi waktu. Secara teoritis berarti kendala ruang dan waktu dapat teratasi, kapasitas pendidikan menjadi tak terbatas. Dengan penggunaan teknologi ini maka diharapkan akan meningkatkan kapasitas jumlah siswa yang dapat memperoleh pengetahuan, dengan demikian tidak lagi terbatas pada jumlah alokasi yang tersedia, sehingga bisa saja setiap perwira diwajibkan mengikuti pendidikan Seskoad. (Konsekuensinya harus menggunakan sistem yang berbeda dengan yang sekarang. Seperti misalnya dengan sistem belajar jarak jauh atau Sesko secara terdistribusi dengan pengawasan kualitas yang ketat). Implikasinya jangka panjang otomatis akan terjadi peningkatan kemampuan perwira dalam mendukung pelaksanaan tugas pokoknya. Adapun secara singkat langkah-langkah bagaimana memajukan Seskoad berkaitan dengan penggunaan teknologi informasi adalah sebagai berikut:

Tahap pertama, menyusun informasi yang berkaitan dengan Seskoad, bahan ajaran, kuis dan Lembar Penugasan, referensi yang berkaitan dengan pelajaran, dan link-link ke internet yang berkaitan dengan materi pendidikan kedalam satu CD yang secara otomatis dapat dijalankan tanpa memerlukan kemampuan menggunakan komputer (computer literacy). Yang dilakukan serdik adalah tinggal mengikuti petunjuk yang ditampilkan di komputer. Hal ini sangat memungkinkan karena komputer bukan merupakan barang yang asing bagi serdik di Seskoad. Dengan adanya CD ini maka diharapkan serdik akan dapat belajar secara lebih mandiri dengan penuh inisiatif. Diharapkan pula dengan adanya CD ini serdik tidak lagi berkutat dengan banyak kertas dan buku-buku yang biayanya relatif mahal. Setelah lulus dari Seskoad pun serdik masih dengan mudah untuk mengakses pengetahuan yang ada dalam CD tersebut.

Tahap kedua, Seskoad perlu mengembangkan laboratorium komputer dengan sistem menggunakan sistem jaringan (networking) dengan sistem server dan diskless workstation. Dengan sistem ini maka biaya pengadaannya akan menjadi lebih murah karena masing-masing workstation tidak memerlukan harddisk. Biaya untuk harddisk ini dapat dialihkan untuk pembelian unit komputer yang baru. Dengan adanya jaringan komputer ini diharapkan Seskoad akan memberikan pelajaran dengan cara yang berbeda dengan yang telah dilakukan selama ini. Dengan adanya laboratorium ini maka serdik dapat belajar secara mandiri.

Tahap ketiga, menghubungkan jaringan komputer tersebut ke internet agar serdik dapat mencari informasi atau referensi yang berkaitan dengan materi pelajarannya. Dengan internet ini maka akan terbukalah cakrawala para perwira akan perkembangan terbaru dari pelajaran atau pengetahuan yang dapat diperoleh dari internet.

Tahap keempat (ini optional), membangun jaringan internet di mes serdik. Sehingga serdik mampu mengakses internet tanpa harus ke laboratorium. Dengan demikian maka serdik dapat belajar setiap saat dari kamar dengan suasana yang jauh lebih enak dari pada belajar di kelas.

Memang penataan pendidikan yang demikian mempersyaratkan guru dengan kualitas yang baik (walaupun kalau masalahnya hanya transfer pengetahuan tidak memerlukan guru). Diperlukan kualitas guru yang baik karena untuk mencapai kualitas manusia yang baik diperlukan hubungan manusiawi yang erat antara gadik dengan serdik. Ini merupakan tantangan yang berat bagi Seskoad untuk meningkatkan kualitas gadiknya. Karena dengan sesanti “dwiwarna purwa cendekia wusana” diharapkan para gadik dituntut untuk benar-benar bersikap dan berperilaku yang mencerminkan sesanti tersebut disamping tingkat kompetensi yang tinggi. Konsekuensinya Seskoad perlu melakukan kontrol yang lebih ketat untuk menentukan kriteria para gadiknya kalau perlu melalui fit and proper test.

Penutup

Demikianlah gambaran singkat mengenai penataan pendidikan TNI AD khususnya di Seskoad dengan mempertimbangkan beberapa komponen dalam sistem pendidikan yaitu paket instruksi, alins/alongins dan evaluasi dangan memanfaatkan teknologi informasi. Untuk tahap pertama, baik untuk lembaga pendidikan (lemdik) Seskoad dan lemdik pendidikan perwira lainnya, dengan disusunnya bahan ajaran dalam bentuk CD diharapkan kualitas bahan ajaran menjadi jauh lebih baik. Hal ini merupakan langkah awal untuk menuju pada modernisasi pendidikan di lingkungan TNI AD.

Untuk kelompok bintara dan tamtama yang biasanya dididik di Rindam belum memerlukan hanjar dalam bentuk yang sudah dikomputerisasi. Bentuk yang cocok diberikan kepada bintara tamtama adalah bahan ajaran yang dirumuskan dalam buku saku yang berisi pengetahuan-pengetahuan praktis tentang tugasnya. Buku saku ini dapat dicetak dalam media yang berlapis plastik yang kedap air sehingga dapat dibawa kemana-mana dan diharapkan mampu menjadi referensi dalam membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam penugasan mereka. Teknologi informasi dapat dimanfaatkan dalam pengadaan buku saku ini dengan membuat master cetakan yang bagus menggunakan format portable document format (PDF). Dengan format ini kualitas hasil cetakannya lebih bagus dibandingkan perangkat lunak pengolah kata biasa.

Didalam pelaksanaannya konsep ini pasti akan mengalami hambatan seperti masalah ketersediaan anggaran, sumber daya manusia, dan energi khususnya listrik untuk mendukung komputer. Namun demikian hal-hal tersebut relatif mudah diatasi dengan melaksanakan pentahapan kegiatan. Akan tetapi hambatan yang paling besar dalam konteks ini adalah adanya perilaku yang selalu menolak terhadap perubahan (resistance to change). Untuk mempermudah pengendalian dan bahan evaluasi sebaiknya penataan ini dilakukan dengan melaksanakan percontohan di salah satu lemdik (pilot project), dan setelah hasilnya tampak maka baru diterapkan ke semua lemdik di lingkungan TNI AD.

Diharapkan dengan melakukan penataan pendidikan menggunakan teknologi informasi ini akan meningkatkan baik jumlah perserta didik maupun kualitasnya. Dengan demikian akan terjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia TNI AD.

* Budiman S. Pratomo

Analis Sistem Informasi

Disinfolahtad

Baca selengkapnya . . .

Senjata Perang Informasi

Oleh: Budiman S.P.

Militer sangat menyadari bahwa informasi dan teknologi informasi dapat digunakan sebagai senjata untuk memperoleh keunggulan. Memang cukup sulit untuk menggambarkan senjata yang digunakan untuk perang informasi di masa depan. Tetapi yang jelas pasti berbeda dari senjata yang saat ini digunakan oleh tentara pada umumnya di lapangan.

Kemungkinan perang dalam era gelombang ketiga adalah sejenis perang intelijen yang melibatkan para hackers. Seperti diketahui komputer ataupun jaringan telepon dirancang sebagai sarana untuk menyebarkan informasi. Informasi melalui jaringan ini dapat dimonitor. Para perwira dengan keahlian otomasi sistem (FA 53-menurut klasifikasi US Army) pasti mengetahui apa yang disebut program TEMPEST yang dirancang untuk memonitor emisi peralatan elektronik dari jarak jauh. Ini memberikan peringatan bahwa kita harus berhati-hati dengan monitoring peralatan elektronik yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak berhak. Bahkan kandungan informasinya pun dapat dimonitor tanpa sepengetahuan yang punya. Bila jaringan dapat dimonitor dari jarak jauh, maka dapat pula diakses dari jarak jauh. Monitoring ini dapat dilakukan oleh komputer yang dirancang khusus sebagai sistem senjata. Secara umum senjata tersebut dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu : peranti lunak (software), peranti keras (hardware), sistem elektromagnet, dan sarana yang lain.

Peranti Lunak (Software)

Peranti lunak ini meliputi program yang khusus dirancang untuk mengumpulkan informasi, menghambat, mengubah, ataupun merusak sistem informasi lawan. Peranti lunak ini dapat menjadi senjata yang cukup bagus dalam perang informasi. Sebagai contoh, KNOWBOT yang dapat bertindak sebagai mata-mata. Yang lain adalah Virus, Worm, Trojan Horse, Logic Bomb, Trap Door, Demon, dan Sniffer.

KNOWBOT merupakan singkatan dari knowledge robot, yang merupakan program komputer yang dapat berpindah dari mesin satu ke mesin yang lain dan dapat menggandakan diri sendiri. KNOWBOT tersebut dapat berkomunikasi dengan program yang lain, dengan berbagai jaringan dan pengguna. KNOWBOT tersebut dapat diperintahkan untuk mencari komputer dan sumber informasi selaku perangkat lunak mata-mata. KNOWBOT dapat ditanam dalam komputer musuh, menggandakan dirinya sendiri dan ketika mendapatkan informasi yang sesuai dengan yang diinginkan, kemudian mengumpulkan informasi dan suatu waktu dapat diinterogasi untuk memperoleh informasi yang sesuai dengan keinginan. KNOWBOT bahkan dapat diprogram untuk menghapus dirinya sendiri untuk mencegah terbongkarnya aktifitas mata-mata yang dilakukannya. KNOWBOT juga dapat merubah dan menghancurkan data yang sangat penting bagi jaringan komando dan kendali.

Virus merupakan kumpulan kode yang dapat menggandakan dirinya sendiri dan merubah program. Virus ini bekerja bila komputer induknya menjalankan program, kemudian dapat merubah program tersebut. Virus ini setelah menginfeksi, menggandakan diri, menginfeksi program yang lain dan berkembang biak. Kita dapat menemukan virus hampir di semua lingkungan pekerjaan yang menggunakan komputer, sehingga tidak mengherankan bila program kecil ini digunakan dalam Perang Informasi. Akibat yang ditimbulkan oleh virus ini sangat luas mulai dari menimbulkan kerusakan data, mematikan komputer, sampai menghapus data atau bahkan menghapus file allocation table (FAT).

Worm merupakan program kecil yang mirip virus. Worm dapat menggandakan dirinya sendiri dan dapat berpindah dari satu komputer ke komputer lain lewat jaringan. Tidak seperti virus, worm biasanya tidak mengubah data atau program. Meskipun worm tidak merusak data, tetapi dapat menyebabkan macetnya komputer karena dapat memakan seluruh sumber daya (disk) dan menyebar ke seluruh jaringan. Contoh yang bagus dari worm adalah “Internet Worm” atau “Morris Worm” yang sempat melumpuhkan internet pada bulan November 1988. Worm tersebut adalah berupa 99 baris program yang ditulis oleh Robert Tappan Morris yang pada saat itu berusia 23 tahun dan sebagai siswa doktoral di Cornell University.

Trojan horse merupakan potongan kode yang disembunyikan dalam program dan mengerjakan fungsi yang merusak. Trojan horse yang pintar tidak akan meninggalkan jejak dan menimbulkan kerusakan yang tidak terdeteksi sehingga sulit untuk dilacak.

Logic Bomb merupakan jenis trojan horse yang dapat digunakan untuk melepaskan virus, worm ataupun yang lain. Logic bomb ini merupakan program bebas ataupun kode yang sengaja ditanam oleh para pemrogram ataupun pengembang sistem. Logic bomb biasanya tidak terlacak sebelum program tersebut diaktifkan. Ketika kondisi yang dipersyaratkan terpenuhi maka program akan diaktifkan. Logic bomb dapat mengubah, merusak ataupun menghambat fungsi sistem. Kondisi yang dipersyaratkan tersebut dapat berupa waktu tertentu, perintah tertentu, atau perintah yang dikirimkan dari jalur komando kendali. Logic bomb ini bisa dipasang pada saat konflik sedang terjadi dan diaktifkan bila kondisi perang telah dimulai.

Trap door, atau back door, adalah suatu mekanisme untuk mengerjakan fungsi tertentu yang dibangun pada suatu sistem oleh perancangnya. Fungsinya adalah untuk memberikan akses kepada perancangnya untuk masuk ke dalam sistem dengan memotong proteksi sistem. Trap door memungkinkan pengguna masuk dengan cepat ke dalam suatu sistem untuk membuat perubahan dalam waktu yang cepat di kemudian hari. Ini menjadi berresiko ketika orang yang salah menemukannya, sehingga akses yang tidak sah menjadi mudah dan sistem keamanan dapat dipotong. Bila ini terjadi maka dengan mudah informasi akan dapat diambil oleh pihak yang tidak berhak.

Demon merupakan suatu program yang ditanam dalam suatu sistem yang dapat merekam semua perintah yang dimasukkan kedalam sistem. Demon ini dapat diintrogasi dan akan melaporkan semua perintah yang telah dicatatnya. Dengan demikian demon dapat memberikan kode akses, kunci dan informasi yang mirip dalam sistem informasi.

Sniffer mirip dengan demon, tugasnya mencatat 128 bit pertama dari data ataupun program. Informasi logon dan password untuk masuk ke dalam sistem biasanya masuk dalam porsi ini. Karena sniffer hanya membaca informasi maka sangat sulit untuk dideteksi.

Peranti Keras (Hardware)

Seperti halnya menggunakan peranti lunak fungsi-fungsi yang diinginkan dapat pula dikerjakan melalui peranti keras. Perangkat keras ini dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu menggunakan Chip dan Nano Machines.

Chip yang terdiri dari jutaan sirkuit dapat dengan mudah dibuat oleh pabrik untuk mengerjakan sesuatu yang sama dengan peranti lunak. Fungsi chip ini adalah membawa peranti lunak yang dapat disambungkan kepada sistem komputer musuh. Peranti keras terdiri atas komputer dan komponen pelengkapnya (peripheral). Peranti keras merupakan sarana yang potensial untuk mengakses sistem informasi lawan. Seperti pernah dilaporkan oleh majalah US News & World Report, selama Operasi Badai Gurun, ada upaya untuk mengitroduksi virus kedalam sistem informasi Irak dengan menyelipkan chip kedalam printer buatan Perancis yang diselundupkan ke Irak. Chip tersebut mengandung virus yang dapat melumpuhkan sistem komputer yang menyebabkan pengguna sulit untuk membuka windows. Karena peralatan seperti printer sangat jarang untuk menjadi sarang virus, maka ini merupakan sarana yang bagus untuk memasukkan virus ke dalam sistem informasi lawan. Ini merupakan contoh yang bagus untuk menjelaskan bahwa peranti keras dapat dipakai untuk menyerang musuh sebagai penyebar peranti lunak dalam suatu sistem informasi .

Nano machines dapat menyebabkan bahaya yang serius terhadap sistem informasi. Tidak seperti virus, kita dapat menggunakan ini untuk menyerang sistem informasi lawan terutama perangkat kerasnya. Nano machines merupakan robot kecil berukuran lebih kecil dari semut yang dapat menyebar ke semua sistem komputer lawan. Mesin ini sangat kecil sehingga dapat merambat lewat dinding dan masuk lewat lubang angin untuk menemukan komputer. Karena kecilnya ini ia dapat masuk melalui slot dan dapat mematikan atau merusak komputer.

Sistem Elektromagnet.

Ssitem elektromagnet dapat digunakan untuk mengganggu ataupun merusak jalur komando dan kendali musuh. Yang termasuk dalam upaya ini adalah Meaconing, Intrusion, Jamming and Interference (MIJI). Meaconing merupakan upaya untuk mengacaukan sarana navigasi. Intrusion yang merupakan upaya untuk menembus sistem komunikasi lawan sehingga membingungkan komunikasi dan dapat memancarkan perintah balik (counter-commands). Jamming dan interference merupakan upaya untuk mencegah musuh dapat menggunakan sistem elektomagnetik.

HERF singkatan dari High Energy Radio Frequency. Senapan HERF memancarkan sinyal radio pada sasaran peralatan elektronik dan membuatnya tidak berfungsi / rusak. Kerusakannya dapat ringan, sedang atau bahkan berat. Mekanisme penggunaan senapan HERF cukup berhasil. Sebenarnya senapan HERF adalah pemancar radio yang dapat mengirimkan sinyal yang sangat kuat kepada sasarannya. Sasarannya adalah sasaran diam seperti komputer mainframe dan jaringan komputer atau bahkan sasaran bergerak seperti pesawat atau mobil yang dilengkapi dengan peralatan elektronik.

EMP singkatan dari electromagnetic pulse. Sumbernya dapat berasal dari nuklir ataupun non nuklir. Peralatan ini dapat digunakan oleh pasukan khusus yang dapat menyusup daerah musuh dan dapat meledakkan peralatan komputer. EMP bomb dilaporkan digunakan melawan Irak pada Perang Teluk.

Sarana Lain.

Perang informasi tidak terbatas pada sistem elektronik saja. Kombinasi antara senjata biologi dengan elektonik dapat digunakan untuk keperluan tersebut. Sebagai contoh, petugas Pentagon pernah menyatakan bahwa ada mikroba tertentu yang dapat dibiakkan untuk menghancurkan bahan elektronik dan material lain dalam komputer.

Bom yang dibimbing oleh sinar laser dapat dijatuhkan pada kotak kabel komunikasi akan memberikan efek yang sangat nyata. Sehingga dapat melemahkan komando dan kendali lawan. Pasukan khusus dapat merusak titik titik kritis atau dapat mengangkap personel yang berkaitan dengan fungsi perang informasi. Bahkan divisi infantri bermotor dapat merusak titik kritis dalam jaringan komunikasi.

Dalam tangan yang terlatih sarana sarana tersebut dapat digunakan secara bersama sama atau sendiri untuk mencapai tujuan. Secara teoritis dengan memanfaatkan sarana-sarana tersebut dapat mengakhiri perang sebelum tembakan pertama ditembakkan.

BUDIMAN S.P.

Analis Sistem Informasi

Alumnus University of Western Sydney, Australia

Baca selengkapnya . . .

Perang Informasi dan Peran TNI

Oleh: Budiman S.P.

Keterampilan terhebat dalam perang adalah menaklukkan musuh tanpa harus bertempur [ Sun Tzu]

Perang dalam era demokrasi dan pengutamaan hak asasi manusia dewasa ini dirasakan sangat kejam. Dilatar-belakangi oleh hal tersebut maka ada suatu konsep perang tanpa korban (victimless war) yang secara etis lebih bisa diterima. Perang tanpa korban ini bisa dilakukan dengan menggunakan senjata yang khusus dikembangkan untuk keperluan tersebut seperti zat yang menyebabkan orang tidur (calmative agent), zat yang membuat licin permukaan (anti traction) seperti Teflon dan pelumas, zat peretak logam (liquid metal embrittlement), atau perekat yang sangat kuat yang dapat menghambat pergerakan pasukan [Toffler, 1993], disamping itu dapat pula dilakukan melalui sarana lain yang berupa informasi. Dalam suatu perang, semakin banyak informasi potensial yang diperoleh akan mengurangi "kabut perang" sehingga barang siapa menguasai informasi potensial akan memenangkan pertempuran.

Ruang lingkup perang informasi sangat luas mulai dari penguasaan komando dan kendali sampai dengan apa yang disebut cyberwar, termasuk menggunakan sarana-sarana teknologi informasi seperti virus, worm, gelombang elektromagnet, mengacak-acak sistem informasi lawan, memberikan informasi palsu, dan merusak instalasi sistem informasi lawan. Dalam perang konvensional, bila kita mempunyai seratus tank sedangkan musuh hanya mempunyai sepuluh tank maka kita dapat mengatakan kita mempunyai keunggulan sepuluh berbanding satu, tetapi tidak demikian dalam perang informasi. Suatu prinsip dalam perang informasi adalah walaupun kita mempunyai keunggulan informasi tetapi tidak secara otomatis memenangkan perang. Hal ini disebabkan karena informasi yang benar dan strategis tidak akan pernah usang, sehingga walaupun ini dianggap kecil tetapi akan memberikan efek yang menghancurkan. Sebagai contoh adalah masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dan TNI khususnya pada saat ini. TNI dan pemerintah selama masa Orde Baru sebenarnya mempunyai banyak sekali kesempatan untuk memberikan informasi yang strategis dengan jujur, ilmiah, dan terbuka dalam kaitannya dengan situasi yang sedang terjadi dalam masyarakat. Tetapi sayangnya hal ini tidak banyak dilakukan, dan yang sering dilakukan justru memonopoli informasi dengan membatasi informasi dan mengintervensi media massa untuk tidak memberitakan fakta kepada masyarakat. Bila dibandingkan dengan informasi yang diberikan pada era reformasi ini, ternyata informasi yang diberikan selama lebih dari tiga puluh tahun dapat dikalahkan oleh informasi yang diberikan secara relatif jujur, ilmiah, dan terbuka dalam waktu beberapa bulan.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perang informasi dalam tulisan di bawah ini akan diberikan gambaran secara umum tentang perang informasi, sejarah perang informasi dan bagaimana sebaiknya TNI menyikapi tentang perang informasi sebagai salah satu bidang yang menjadi tugas pokoknya.

Perang Informasi.

 Perang dalam konteks ini berasal dari kata Warfare. "Warfare is the set of all lethal and nonlethal activities undertaken to subdue the hostile will of an adversary or enemy." Perang dalam pengertian ini tidak sama artinya dengan perang yang biasa kita dengar, karena perang ini tidak memerlukan pernyataan keadaan perang terlebih dahulu. Sehingga tujuan dari perang ini tidaklah harus membunuh musuh. Dengan demikian tujuan utamanya adalah membuat musuh menyerah, sesuai dengan ajaran Sun Tzu yang menyatakan bahwa ketrampilan tertinggi dalam perang yaitu dapat menaklukkan musuh tanpa harus bertempur.

Informasi diartikan sebagai pesan yang mempunyai arti atau isi. Informasi berkaitan dengan pengambilan keputusan sehingga tidak terlepas dari sistem informasi dalam suatu organisasi.

Setelah digabung menjadi Perang Informasi maka terminologi ini mempunyai pengertian yang sangat luas karena dapat diterapkan dalam bidang militer ataupun sipil. Pada dasarnya perang informasi merupakan semua upaya dan kegiatan yang ditujukan untuk melawan semua bagian dari sistem pengetahuan dan sistem informasi lawan. Untuk lebih memperoleh kejelasan dari pengertian perang informasi berikut ini pendapat dari beberapa pihak yang menekuni bidang ini.

US Army mendefinisikan perang informasi sebagai tindakan-tindakan yang diambil untuk mencapai superioritas informasi dengan mempengaruhi sistem informasi lawan dan melindungi sistem informasi sendiri. Sementara Dr. Martin Libicki dari National Defense University tidak mendefinisikan secara tegas apa itu perang informasi, tetapi dia menyatakan ada tujuh bentuk perang informasi.Tujuh bentuk perang informasi tersebut adalah:

Pertama, perang untuk menguasai komando dan kendali, yang melibatkan kegiatan untuk mengganggu rantai komando dan pengendalian. Dalam prakteknya di lapangan melibatkan tindakan perusakan secara fisik terhadap saluran komunikasi.

Kedua, perang berbasiskan intelijen, yang merupakan bentuk tradisional dari perang informasi. Hal ini melibatkan kegiatan pengumpulan dan penyadapan informasi dari fihak musuh. Ini sangat berguna bila informasi yang diperoleh dapat digunakan secara langsung dalam operasi.

Ketiga, perang elektronika, yang menggunakan peralatan berteknologi tinggi untuk operasi militer yang berkaitan dengan keunggulan elektromagnetik. Ini meliputi kegiatan radioelektronik dan kriptografi.

Keempat, perang psikologi / urat syaraf, yang melibatkan aspek psikologi dalam pelaksanaannya. Perang ini menggunakan informasi untuk mempengaruhi perasaan manusia baik para komandan pasukan ataupun rakyat biasa. Sebagai contoh, penayangan adegan pengarakan mayat serdadu Amerika di Somalia terbukti telah sukses mempengaruhi publik Amerika untuk menghentikan keterlibatan US Army secara lebih jauh dalam operasi di Somalia.

Kelima, perang hacker, yang berkaitan dengan penyerangan pada jaringan komputer. Perang ini bertujuan menyerang kelemahan pada pengamanan sistem informasi. Tujuan dari perang ini adalah mengacau sistem informasi musuh dengan menyebarkan informasi palsu ataupun mengambil data yang bersifat rahasia.

Keenam, perang informasi ekonomi, yang dapat mengambil dua bentuk utama yaitu penguasaan informasi dan blokade informasi. Dalam perang ini termasuk mengacaukan bursa saham, penyerangan terhadap nomor rekening di bank, dan mengacaukan nilai mata uang

Ketujuh, operasi yang disebut cyberwar, yang merupakan bentuk perang yang sekarang ini masih menjadi pertanyaan apakah itu realistis atau tidak. Ini merupakan bagian fiksi dari kemajuan teknologi informasi. Seperti digambarkan oleh Douglas Waller Washington dalam majalah Time 21 Agustus 1995 dibawah judul Onward Cyber Soldier, yang menggambarkan topik menarik mengenai bagaimana tentara di masa depan berperang.

Sedangkan Schwartau dalam Information Warfare, Chaos on the Electronic Superhighway, membagi tiga kelas perang informasi yaitu.

Pertama, Perang Informasi Personal, yang mencakup serangan terhadap privasi, termasuk membocorkan rahasia perorangan dari suatu database. Hal ini tidak merupakan bahaya yang potensial, tetapi bila menyangkut orang tertentu dapat juga berkaitan dengan kelas kedua atau ketiga.

Kedua, Perang Informasi Korporat, yang lebih mencerminkan kompetisi antara perusahaan di seluruh dunia meliputi kegiatan pencarian dan penyebaran informasi untuk kepentingan suatu fihak.

Ketiga, Perang Informasi Global, yang mencakup bidang industri ataupun negara. Tujuan dari perang ini tidak hanya mencari informasi rahasia dari data penelitian untuk keperluan sendiri, tetapi untuk mencapai kemenangan dengan menghancurkan lawannya.

Sejarah Perang Informasi

Alvin Toffler dalam bukunya yang berjudul Third Wave, menggunakan perspektif sejarah untuk mendefinisikan masyarakat. Dia menyatakan bahwa masyarakat berkembang dari masyarakat agraris (gelombang pertama), masyarakat industri (gelombang kedua), dan kemudian ke masyarakat gelombang ketiga. Dalam bukunya War and Anti War yang diterbitkan tahun 1993 Alvin dan Heidi Toffler menjelaskan mengenai sejarah perang menggunakan pendekatan yang sama dengan pendekatan yang digunakan dalam the Third Wave.

Gelombang Pertama, Revolusi pertanian mendorong terjadinya perubahan yang sangat pesat dalam kebudayaan manusia yang mendorong pada terbentuknya masyarakat yang kita kenal dewasa ini. Tanah pertanian menghasilkan produk bernilai ekonomi yang menjadi salah satu faktor penyebab perang. Dengan demikian perang pada saat itu bertujuan untuk menguasai tanah dan memperluas hegemoni. Sebagai akibat dari ciri perang dalam gelombang ini maka tentara selalu berada di lapangan. Pada saat ini pula tentara kurang terorganisasi dan tidak menggunakan senjata yang memadahi. Keahlian mereka dinilai dari keberanian mereka bertempur sebagai kesatria.

Gelombang Kedua, Revolusi Industri merubah cara bagaimana tentara bertempur. Dengan ditemukannya amunisi dan senjata pemusnah massal maka berkembang perang dengan tujuan menghancurkan sasaran untuk tujuan memenangkan pertempuran. Dalam gelombang ini mulailah ditetapkan standarisasi peralatan, latihan, organisasi dan doktrin dalam tubuh angkatan perang.

Gelombang Ketiga, Pada akhir tahun 70-an, dengan berkembang pesatnya teknologi informasi, masyarakat berkembang dari masyarakat industri ke masyarakat komunikasi. Dengan demikian tujuan perang tidak lagi menghancurkan sasaran yang sangat luas tetapi hanya ditujukan pada obyek strategis yang berupa jaringan komunikasi atau informasi. Sebagai contoh, pada saat Perang Teluk tentara Amerika tidak lagi menghancurkan target secara membabi buta tetapi lebih ditekankan pada jaringan komunikasi dan pengendalian untuk mencegah informasi mengalir dalam rantai komando. Dalam tahap ini penggunaan teknologi informasi yang berupa komputer semakin banyak, terbukti dalam perang Teluk digunakan lebih dari 3000 buah komputer yang dihubungkan dengan pusat komputer di Amerika Serikat. Dengan demikian dalam tahap ini informasi menjadi faktor yang sangat penting dalam memenangkan pertempuran.

Ditinjau dari sudut pandang militer, prinsip perang yang diajarkan oleh Clausewitz dengan teori center of gravity adalah barang siapa menguasai medan yang strategis dialah yang memenangkan perang. Berdasarkan teori inilah maka perang berkembang dari waktu ke waktu. Pada saat permulaan dalam lingkup yang sempit, barang siapa menguasai medan strategis maka dialah yang dapat menguasai suatu wilayah. Dalam tahap yang selanjutnya dalam skala luas, barang siapa menguasai daerah Eropa dan Balkan dialah yang dapat menguasai dunia, inilah yang sampai sekarang menyebabkan orang selalu menaruh perhatian besar terhadap apa yang terjadi di daerah itu. Dengan kemajuan teknologi kelautan maka barang siapa menguasai lautan dialah yang menguasai dunia. Hal ini dibuktikan oleh Inggris dengan armada Angkatan Lautnya yang kuat dengan negara persemakmurannya. Teknologi kedirgantaraan berkembang, maka barang siapa menguasai udara dialah yang menguasai dunia. Ini terbukti dengan perlombaan yang seru diantara negara adi daya untuk memajukan Angkatan Udaranya, sehingga doktrin perangnya pun menjadi berbeda yaitu dengan mengedepankan serangan udara strategis. Teknologi kedirgantaraan berkembang semakin pesat, maka barang siapa menguasai udara dengan ketinggian 50.000 mil atau lebih maka dialah yang akan menguasai dunia, terlebih lagi bila dapat menguasai lunar libration points atau yang lebih dikenal dengan L4 dan L5 yang merupakan tempat-tempat dimana gaya gravitasi bulan dan bumi sama besarnya. Inilah yang mendorong Amerika untuk memperkenalkan konsep Perang Bintang pada jaman presiden Ronald Reagan. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat maka barang siapa menguasai informasi dialah yang menguasai dunia. Inilah yang mendorong negara adi daya untuk berlomba-lomba memasuki medan peperangan yang baru yaitu perang informasi terutama dengan memanfaatkan media masa dan jaringan informasi global. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejatuhan pemerintahan seperti Haiti, Uni Soviet, dan barangkali Indonesia, yang tidak terlepas dari perang informasi global tersebut.

Peran TNI.

Dalam versi militer tujuan perang termasuk perang informasi adalah membuat lawan menyerah. Lawan terpaksa menyerah apabila lawan sudah tidak lagi mempunyai kendali, mengalami demoralisasi, tidak punya daya juang lagi, atau meyakini dengan menyerah akan dapat kemenangan di lain waktu. Dengan demikian yang harus dilakukan adalah membuat lawan dalam salah satu dari kondisi-kondisi tersebut.

Dengan asumsi bahwa tidak akan ada perang / serangan secara fisik ke Indonesia, maka medan perang yang akan dihadapi oleh TNI adalah perang informasi yang tidak hanya mencakup wilayah di dalam negeri tetapi juga harus berhadapan dengan berbagai pihak di luar negeri. Di dalam negeri, dalam konteks ini TNI tidak menganggap bahwa komponen-komponen yang ada dalam masyarakat kita sebagai musuh yang harus ditaklukkan sehingga menyerah, tetapi di dalam masyarakat pasti ada unsur-unsur yang selalu mempunyai maksud yang bertentangan dengan cita-cita luhur masyarakat Indonesia. Sedangkan di luar negeri kita berhadapan dengan fihak-pihak yang sangat ahli dan sangat kuat dalam bidang perang informasi ini. TNI sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia, mau tidak mau harus melibatkan diri secara aktif dalam kancah perang informasi ini. Terlebih lagi setelah terbukti adanya upaya-upaya dari kelompok masyarakat untuk melakukan disorganisasi secara sistematis dengan memanfaatkan konsep perang informasi, seperti yang diisyaratkan oleh Jenderal Wiranto pada peringatan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1999.

Untuk menghadapi perang informasi global, TNI harus masuk lebih serius dalam jaringan informasi global yaitu internet. Dengan demikian ini merupakan tantangan bagi TNI untuk siap menguasai teknologi internet dengan segala resikonya, seperti pengalaman pada suatu waktu jaringan ABRI-net dan Departemen luar negeri dijebol oleh para hacker dan disisipi informasi yang sesuai dengan selera pihak-pihak yang berada di belakang para hacker.

Suatu prinsip dalam perang informasi adalah walaupun kita mempunyai banyak informasi tetapi tidak praktis memenangkan perang. Hal ini disebabkan karena informasi yang benar dan strategis tidak pernah usang, sehingga walaupun ini dianggap kecil tetapi akan memberikan efek yang menghancurkan. Dengan demikian yang sebaiknya dilakukan TNI adalah menyajikan informasi yang benar dan strategis secara jujur, ilmiah, dan terbuka. Perang informasi klasik seperti yang dilakukan oleh militer sebagai bagian dari taktiknya, membenarkan penipuan data dan informasi sebagai upaya penyesatan, sedangkan dunia internet yang telah dimasuki TNI adalah bagian dari dunia akademik yang mengutamakan kejujuran ilmiah tidak membenarkan hal tersebut. Dalam konteks ini, maka bila perlu data dan informasi yang berkaitan dengan kebijakan TNI / kemiliteran bisa disampaikan sesuai dengan batas-batas klasifikasi yang dapat diterima, sehingga masyarakat akan dapat mengerti dengan jelas apa yang menjadi kebijakan TNI. Pemberian informasi tentang apa yang terjadi dalam tubuh TNI, walaupun secara terbatas adalah bagian dari pertanggung-jawaban moral TNI kepada rakyatnya.

Dengan berlandaskan pada pola pikir dunia akademik, TNI bisa menyediakan kontra informasi yang tegas, faktual, dan sekaligus memenuhi rasa haus akan informasi para pembacanya. Termasuk dalam hal ini TNI siap mengakui jika melakukan kesalahan yang telah diperbuat, tentunya harus disertai dengan pertimbangan yang sangat cermat. Bila TNI dapat menyajikan informasi berdasarkan pada prinsip tersebut maka akan membawa implikasi yang lebih baik bagi masa depan jaringan informasi tentang Indonesia, yang pada gilirannya akan memperkokoh ketahanan nasional bangsa Indonesia. Dari kacamata militer, memang informasi yang dicari-cari pembaca yang kritis umumnya dikategorikan konfidensial. Sebagai contoh, mengenai mutasi para perwira tinggi. Para pembaca jurnal di internet sudah bisa membaca informasi mutasi, terutama perwira tingginya, lengkap dengan latar belakangnya, dalam waktu relatif singkat. Informasi semacam ini justru tidak bisa kita dapatkan dari home page TNI, sehingga jangan kaget kalau pembaca akan lebih percaya kepada sumber informasi yang lain yang dianggap memenuhi rasa ingin tahu pembaca, walaupun kebenaran informasinya juga tidak selalu benar. Sumber informasi inilah yang secara dominan membentuk opini publik. Sebagai perbandingan, dalam home page US Army, kita bisa dengan terbuka mengetahui siapa saja perwira yang akan naik pangkat dalam tahun fiskal yang akan datang, juga tentang pendidikan para perwiranya. Informasi semacam ini di tubuh TNI merupakan rahasia bahkan untuk para anggotanya sekalipun. Dengan transparansi semacam ini maka para pembaca akan betul-betul memperoleh informasi yang tepat dari fihak yang tepat.

Dengan demikian bila TNI tidak merubah kriteria dan kategori informasinya di homepagenya maka akan ditinggalkan para pembacanya. Barangkali homepage TNI cukup banyak pengunjungnya, tetapi jumlah pengunjung sebuah homepage bukan merupakan indikator intensitas kunjungan mereka. Pembaca kritis tetap akan lebih memilih homepage seperti Apakabar, dan homepage lainnya yang menyediakan informasi yang lebih baik atau bahkan memilih Newsgroup dan jalur-jalur E-mail yang lebih interaktif. Seperti diketahui para netters (istilah untuk pengguna internet) kebanyakan bukanlah orang awam, sehingga walaupun ini merupakan bagian kecil masyarakat tetapi pengaruhnya sangat besar dalam membentuk opini publik, sehingga untuk media ini haruslah digarap dengan lebih serius dan profesional.

Untuk keberhasilannya sudah saatnya TNI bersikap lebih profesional dalam bidang pembinaan personel, yaitu penempatan personel yang lebih ditekankan pada keahlian dari pada tingkat jabatan atau pangkat. Disamping itu TNI harus kembali pada citranya yaitu sebagai prajurit profesional dan bhayangkari negara yang lahir dari rakyat dan berjuang untuk rakyat dengan selalu membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan sesuai yang diamanatkan dalam Sapta Marga. Dan yang lebih penting lagi adalah dapat memimpin dengan menjadi contoh dan tidak sekedar memberi contoh, sehingga akan terwujud satunya kata dengan perbuatan. Upaya-upaya ini bersama dengan keseriusan terlibat dalam perang informasi akan dapat memulihkan citra TNI yang saat ini sedang terpuruk. Semoga TNI segera berbenah diri untuk mengawal Republik Indonesia yang demokratis.

BUDIMAN S.P.

Analis Sistem Informasi

Alumnus University of Western Sydney, Australia

Baca selengkapnya . . .