03 Februari 2014

Perang Informasi dan Peran TNI

Oleh: Budiman S.P.

Keterampilan terhebat dalam perang adalah menaklukkan musuh tanpa harus bertempur [ Sun Tzu]

Perang dalam era demokrasi dan pengutamaan hak asasi manusia dewasa ini dirasakan sangat kejam. Dilatar-belakangi oleh hal tersebut maka ada suatu konsep perang tanpa korban (victimless war) yang secara etis lebih bisa diterima. Perang tanpa korban ini bisa dilakukan dengan menggunakan senjata yang khusus dikembangkan untuk keperluan tersebut seperti zat yang menyebabkan orang tidur (calmative agent), zat yang membuat licin permukaan (anti traction) seperti Teflon dan pelumas, zat peretak logam (liquid metal embrittlement), atau perekat yang sangat kuat yang dapat menghambat pergerakan pasukan [Toffler, 1993], disamping itu dapat pula dilakukan melalui sarana lain yang berupa informasi. Dalam suatu perang, semakin banyak informasi potensial yang diperoleh akan mengurangi "kabut perang" sehingga barang siapa menguasai informasi potensial akan memenangkan pertempuran.

Ruang lingkup perang informasi sangat luas mulai dari penguasaan komando dan kendali sampai dengan apa yang disebut cyberwar, termasuk menggunakan sarana-sarana teknologi informasi seperti virus, worm, gelombang elektromagnet, mengacak-acak sistem informasi lawan, memberikan informasi palsu, dan merusak instalasi sistem informasi lawan. Dalam perang konvensional, bila kita mempunyai seratus tank sedangkan musuh hanya mempunyai sepuluh tank maka kita dapat mengatakan kita mempunyai keunggulan sepuluh berbanding satu, tetapi tidak demikian dalam perang informasi. Suatu prinsip dalam perang informasi adalah walaupun kita mempunyai keunggulan informasi tetapi tidak secara otomatis memenangkan perang. Hal ini disebabkan karena informasi yang benar dan strategis tidak akan pernah usang, sehingga walaupun ini dianggap kecil tetapi akan memberikan efek yang menghancurkan. Sebagai contoh adalah masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dan TNI khususnya pada saat ini. TNI dan pemerintah selama masa Orde Baru sebenarnya mempunyai banyak sekali kesempatan untuk memberikan informasi yang strategis dengan jujur, ilmiah, dan terbuka dalam kaitannya dengan situasi yang sedang terjadi dalam masyarakat. Tetapi sayangnya hal ini tidak banyak dilakukan, dan yang sering dilakukan justru memonopoli informasi dengan membatasi informasi dan mengintervensi media massa untuk tidak memberitakan fakta kepada masyarakat. Bila dibandingkan dengan informasi yang diberikan pada era reformasi ini, ternyata informasi yang diberikan selama lebih dari tiga puluh tahun dapat dikalahkan oleh informasi yang diberikan secara relatif jujur, ilmiah, dan terbuka dalam waktu beberapa bulan.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perang informasi dalam tulisan di bawah ini akan diberikan gambaran secara umum tentang perang informasi, sejarah perang informasi dan bagaimana sebaiknya TNI menyikapi tentang perang informasi sebagai salah satu bidang yang menjadi tugas pokoknya.

Perang Informasi.

 Perang dalam konteks ini berasal dari kata Warfare. "Warfare is the set of all lethal and nonlethal activities undertaken to subdue the hostile will of an adversary or enemy." Perang dalam pengertian ini tidak sama artinya dengan perang yang biasa kita dengar, karena perang ini tidak memerlukan pernyataan keadaan perang terlebih dahulu. Sehingga tujuan dari perang ini tidaklah harus membunuh musuh. Dengan demikian tujuan utamanya adalah membuat musuh menyerah, sesuai dengan ajaran Sun Tzu yang menyatakan bahwa ketrampilan tertinggi dalam perang yaitu dapat menaklukkan musuh tanpa harus bertempur.

Informasi diartikan sebagai pesan yang mempunyai arti atau isi. Informasi berkaitan dengan pengambilan keputusan sehingga tidak terlepas dari sistem informasi dalam suatu organisasi.

Setelah digabung menjadi Perang Informasi maka terminologi ini mempunyai pengertian yang sangat luas karena dapat diterapkan dalam bidang militer ataupun sipil. Pada dasarnya perang informasi merupakan semua upaya dan kegiatan yang ditujukan untuk melawan semua bagian dari sistem pengetahuan dan sistem informasi lawan. Untuk lebih memperoleh kejelasan dari pengertian perang informasi berikut ini pendapat dari beberapa pihak yang menekuni bidang ini.

US Army mendefinisikan perang informasi sebagai tindakan-tindakan yang diambil untuk mencapai superioritas informasi dengan mempengaruhi sistem informasi lawan dan melindungi sistem informasi sendiri. Sementara Dr. Martin Libicki dari National Defense University tidak mendefinisikan secara tegas apa itu perang informasi, tetapi dia menyatakan ada tujuh bentuk perang informasi.Tujuh bentuk perang informasi tersebut adalah:

Pertama, perang untuk menguasai komando dan kendali, yang melibatkan kegiatan untuk mengganggu rantai komando dan pengendalian. Dalam prakteknya di lapangan melibatkan tindakan perusakan secara fisik terhadap saluran komunikasi.

Kedua, perang berbasiskan intelijen, yang merupakan bentuk tradisional dari perang informasi. Hal ini melibatkan kegiatan pengumpulan dan penyadapan informasi dari fihak musuh. Ini sangat berguna bila informasi yang diperoleh dapat digunakan secara langsung dalam operasi.

Ketiga, perang elektronika, yang menggunakan peralatan berteknologi tinggi untuk operasi militer yang berkaitan dengan keunggulan elektromagnetik. Ini meliputi kegiatan radioelektronik dan kriptografi.

Keempat, perang psikologi / urat syaraf, yang melibatkan aspek psikologi dalam pelaksanaannya. Perang ini menggunakan informasi untuk mempengaruhi perasaan manusia baik para komandan pasukan ataupun rakyat biasa. Sebagai contoh, penayangan adegan pengarakan mayat serdadu Amerika di Somalia terbukti telah sukses mempengaruhi publik Amerika untuk menghentikan keterlibatan US Army secara lebih jauh dalam operasi di Somalia.

Kelima, perang hacker, yang berkaitan dengan penyerangan pada jaringan komputer. Perang ini bertujuan menyerang kelemahan pada pengamanan sistem informasi. Tujuan dari perang ini adalah mengacau sistem informasi musuh dengan menyebarkan informasi palsu ataupun mengambil data yang bersifat rahasia.

Keenam, perang informasi ekonomi, yang dapat mengambil dua bentuk utama yaitu penguasaan informasi dan blokade informasi. Dalam perang ini termasuk mengacaukan bursa saham, penyerangan terhadap nomor rekening di bank, dan mengacaukan nilai mata uang

Ketujuh, operasi yang disebut cyberwar, yang merupakan bentuk perang yang sekarang ini masih menjadi pertanyaan apakah itu realistis atau tidak. Ini merupakan bagian fiksi dari kemajuan teknologi informasi. Seperti digambarkan oleh Douglas Waller Washington dalam majalah Time 21 Agustus 1995 dibawah judul Onward Cyber Soldier, yang menggambarkan topik menarik mengenai bagaimana tentara di masa depan berperang.

Sedangkan Schwartau dalam Information Warfare, Chaos on the Electronic Superhighway, membagi tiga kelas perang informasi yaitu.

Pertama, Perang Informasi Personal, yang mencakup serangan terhadap privasi, termasuk membocorkan rahasia perorangan dari suatu database. Hal ini tidak merupakan bahaya yang potensial, tetapi bila menyangkut orang tertentu dapat juga berkaitan dengan kelas kedua atau ketiga.

Kedua, Perang Informasi Korporat, yang lebih mencerminkan kompetisi antara perusahaan di seluruh dunia meliputi kegiatan pencarian dan penyebaran informasi untuk kepentingan suatu fihak.

Ketiga, Perang Informasi Global, yang mencakup bidang industri ataupun negara. Tujuan dari perang ini tidak hanya mencari informasi rahasia dari data penelitian untuk keperluan sendiri, tetapi untuk mencapai kemenangan dengan menghancurkan lawannya.

Sejarah Perang Informasi

Alvin Toffler dalam bukunya yang berjudul Third Wave, menggunakan perspektif sejarah untuk mendefinisikan masyarakat. Dia menyatakan bahwa masyarakat berkembang dari masyarakat agraris (gelombang pertama), masyarakat industri (gelombang kedua), dan kemudian ke masyarakat gelombang ketiga. Dalam bukunya War and Anti War yang diterbitkan tahun 1993 Alvin dan Heidi Toffler menjelaskan mengenai sejarah perang menggunakan pendekatan yang sama dengan pendekatan yang digunakan dalam the Third Wave.

Gelombang Pertama, Revolusi pertanian mendorong terjadinya perubahan yang sangat pesat dalam kebudayaan manusia yang mendorong pada terbentuknya masyarakat yang kita kenal dewasa ini. Tanah pertanian menghasilkan produk bernilai ekonomi yang menjadi salah satu faktor penyebab perang. Dengan demikian perang pada saat itu bertujuan untuk menguasai tanah dan memperluas hegemoni. Sebagai akibat dari ciri perang dalam gelombang ini maka tentara selalu berada di lapangan. Pada saat ini pula tentara kurang terorganisasi dan tidak menggunakan senjata yang memadahi. Keahlian mereka dinilai dari keberanian mereka bertempur sebagai kesatria.

Gelombang Kedua, Revolusi Industri merubah cara bagaimana tentara bertempur. Dengan ditemukannya amunisi dan senjata pemusnah massal maka berkembang perang dengan tujuan menghancurkan sasaran untuk tujuan memenangkan pertempuran. Dalam gelombang ini mulailah ditetapkan standarisasi peralatan, latihan, organisasi dan doktrin dalam tubuh angkatan perang.

Gelombang Ketiga, Pada akhir tahun 70-an, dengan berkembang pesatnya teknologi informasi, masyarakat berkembang dari masyarakat industri ke masyarakat komunikasi. Dengan demikian tujuan perang tidak lagi menghancurkan sasaran yang sangat luas tetapi hanya ditujukan pada obyek strategis yang berupa jaringan komunikasi atau informasi. Sebagai contoh, pada saat Perang Teluk tentara Amerika tidak lagi menghancurkan target secara membabi buta tetapi lebih ditekankan pada jaringan komunikasi dan pengendalian untuk mencegah informasi mengalir dalam rantai komando. Dalam tahap ini penggunaan teknologi informasi yang berupa komputer semakin banyak, terbukti dalam perang Teluk digunakan lebih dari 3000 buah komputer yang dihubungkan dengan pusat komputer di Amerika Serikat. Dengan demikian dalam tahap ini informasi menjadi faktor yang sangat penting dalam memenangkan pertempuran.

Ditinjau dari sudut pandang militer, prinsip perang yang diajarkan oleh Clausewitz dengan teori center of gravity adalah barang siapa menguasai medan yang strategis dialah yang memenangkan perang. Berdasarkan teori inilah maka perang berkembang dari waktu ke waktu. Pada saat permulaan dalam lingkup yang sempit, barang siapa menguasai medan strategis maka dialah yang dapat menguasai suatu wilayah. Dalam tahap yang selanjutnya dalam skala luas, barang siapa menguasai daerah Eropa dan Balkan dialah yang dapat menguasai dunia, inilah yang sampai sekarang menyebabkan orang selalu menaruh perhatian besar terhadap apa yang terjadi di daerah itu. Dengan kemajuan teknologi kelautan maka barang siapa menguasai lautan dialah yang menguasai dunia. Hal ini dibuktikan oleh Inggris dengan armada Angkatan Lautnya yang kuat dengan negara persemakmurannya. Teknologi kedirgantaraan berkembang, maka barang siapa menguasai udara dialah yang menguasai dunia. Ini terbukti dengan perlombaan yang seru diantara negara adi daya untuk memajukan Angkatan Udaranya, sehingga doktrin perangnya pun menjadi berbeda yaitu dengan mengedepankan serangan udara strategis. Teknologi kedirgantaraan berkembang semakin pesat, maka barang siapa menguasai udara dengan ketinggian 50.000 mil atau lebih maka dialah yang akan menguasai dunia, terlebih lagi bila dapat menguasai lunar libration points atau yang lebih dikenal dengan L4 dan L5 yang merupakan tempat-tempat dimana gaya gravitasi bulan dan bumi sama besarnya. Inilah yang mendorong Amerika untuk memperkenalkan konsep Perang Bintang pada jaman presiden Ronald Reagan. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat maka barang siapa menguasai informasi dialah yang menguasai dunia. Inilah yang mendorong negara adi daya untuk berlomba-lomba memasuki medan peperangan yang baru yaitu perang informasi terutama dengan memanfaatkan media masa dan jaringan informasi global. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejatuhan pemerintahan seperti Haiti, Uni Soviet, dan barangkali Indonesia, yang tidak terlepas dari perang informasi global tersebut.

Peran TNI.

Dalam versi militer tujuan perang termasuk perang informasi adalah membuat lawan menyerah. Lawan terpaksa menyerah apabila lawan sudah tidak lagi mempunyai kendali, mengalami demoralisasi, tidak punya daya juang lagi, atau meyakini dengan menyerah akan dapat kemenangan di lain waktu. Dengan demikian yang harus dilakukan adalah membuat lawan dalam salah satu dari kondisi-kondisi tersebut.

Dengan asumsi bahwa tidak akan ada perang / serangan secara fisik ke Indonesia, maka medan perang yang akan dihadapi oleh TNI adalah perang informasi yang tidak hanya mencakup wilayah di dalam negeri tetapi juga harus berhadapan dengan berbagai pihak di luar negeri. Di dalam negeri, dalam konteks ini TNI tidak menganggap bahwa komponen-komponen yang ada dalam masyarakat kita sebagai musuh yang harus ditaklukkan sehingga menyerah, tetapi di dalam masyarakat pasti ada unsur-unsur yang selalu mempunyai maksud yang bertentangan dengan cita-cita luhur masyarakat Indonesia. Sedangkan di luar negeri kita berhadapan dengan fihak-pihak yang sangat ahli dan sangat kuat dalam bidang perang informasi ini. TNI sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia, mau tidak mau harus melibatkan diri secara aktif dalam kancah perang informasi ini. Terlebih lagi setelah terbukti adanya upaya-upaya dari kelompok masyarakat untuk melakukan disorganisasi secara sistematis dengan memanfaatkan konsep perang informasi, seperti yang diisyaratkan oleh Jenderal Wiranto pada peringatan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1999.

Untuk menghadapi perang informasi global, TNI harus masuk lebih serius dalam jaringan informasi global yaitu internet. Dengan demikian ini merupakan tantangan bagi TNI untuk siap menguasai teknologi internet dengan segala resikonya, seperti pengalaman pada suatu waktu jaringan ABRI-net dan Departemen luar negeri dijebol oleh para hacker dan disisipi informasi yang sesuai dengan selera pihak-pihak yang berada di belakang para hacker.

Suatu prinsip dalam perang informasi adalah walaupun kita mempunyai banyak informasi tetapi tidak praktis memenangkan perang. Hal ini disebabkan karena informasi yang benar dan strategis tidak pernah usang, sehingga walaupun ini dianggap kecil tetapi akan memberikan efek yang menghancurkan. Dengan demikian yang sebaiknya dilakukan TNI adalah menyajikan informasi yang benar dan strategis secara jujur, ilmiah, dan terbuka. Perang informasi klasik seperti yang dilakukan oleh militer sebagai bagian dari taktiknya, membenarkan penipuan data dan informasi sebagai upaya penyesatan, sedangkan dunia internet yang telah dimasuki TNI adalah bagian dari dunia akademik yang mengutamakan kejujuran ilmiah tidak membenarkan hal tersebut. Dalam konteks ini, maka bila perlu data dan informasi yang berkaitan dengan kebijakan TNI / kemiliteran bisa disampaikan sesuai dengan batas-batas klasifikasi yang dapat diterima, sehingga masyarakat akan dapat mengerti dengan jelas apa yang menjadi kebijakan TNI. Pemberian informasi tentang apa yang terjadi dalam tubuh TNI, walaupun secara terbatas adalah bagian dari pertanggung-jawaban moral TNI kepada rakyatnya.

Dengan berlandaskan pada pola pikir dunia akademik, TNI bisa menyediakan kontra informasi yang tegas, faktual, dan sekaligus memenuhi rasa haus akan informasi para pembacanya. Termasuk dalam hal ini TNI siap mengakui jika melakukan kesalahan yang telah diperbuat, tentunya harus disertai dengan pertimbangan yang sangat cermat. Bila TNI dapat menyajikan informasi berdasarkan pada prinsip tersebut maka akan membawa implikasi yang lebih baik bagi masa depan jaringan informasi tentang Indonesia, yang pada gilirannya akan memperkokoh ketahanan nasional bangsa Indonesia. Dari kacamata militer, memang informasi yang dicari-cari pembaca yang kritis umumnya dikategorikan konfidensial. Sebagai contoh, mengenai mutasi para perwira tinggi. Para pembaca jurnal di internet sudah bisa membaca informasi mutasi, terutama perwira tingginya, lengkap dengan latar belakangnya, dalam waktu relatif singkat. Informasi semacam ini justru tidak bisa kita dapatkan dari home page TNI, sehingga jangan kaget kalau pembaca akan lebih percaya kepada sumber informasi yang lain yang dianggap memenuhi rasa ingin tahu pembaca, walaupun kebenaran informasinya juga tidak selalu benar. Sumber informasi inilah yang secara dominan membentuk opini publik. Sebagai perbandingan, dalam home page US Army, kita bisa dengan terbuka mengetahui siapa saja perwira yang akan naik pangkat dalam tahun fiskal yang akan datang, juga tentang pendidikan para perwiranya. Informasi semacam ini di tubuh TNI merupakan rahasia bahkan untuk para anggotanya sekalipun. Dengan transparansi semacam ini maka para pembaca akan betul-betul memperoleh informasi yang tepat dari fihak yang tepat.

Dengan demikian bila TNI tidak merubah kriteria dan kategori informasinya di homepagenya maka akan ditinggalkan para pembacanya. Barangkali homepage TNI cukup banyak pengunjungnya, tetapi jumlah pengunjung sebuah homepage bukan merupakan indikator intensitas kunjungan mereka. Pembaca kritis tetap akan lebih memilih homepage seperti Apakabar, dan homepage lainnya yang menyediakan informasi yang lebih baik atau bahkan memilih Newsgroup dan jalur-jalur E-mail yang lebih interaktif. Seperti diketahui para netters (istilah untuk pengguna internet) kebanyakan bukanlah orang awam, sehingga walaupun ini merupakan bagian kecil masyarakat tetapi pengaruhnya sangat besar dalam membentuk opini publik, sehingga untuk media ini haruslah digarap dengan lebih serius dan profesional.

Untuk keberhasilannya sudah saatnya TNI bersikap lebih profesional dalam bidang pembinaan personel, yaitu penempatan personel yang lebih ditekankan pada keahlian dari pada tingkat jabatan atau pangkat. Disamping itu TNI harus kembali pada citranya yaitu sebagai prajurit profesional dan bhayangkari negara yang lahir dari rakyat dan berjuang untuk rakyat dengan selalu membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan sesuai yang diamanatkan dalam Sapta Marga. Dan yang lebih penting lagi adalah dapat memimpin dengan menjadi contoh dan tidak sekedar memberi contoh, sehingga akan terwujud satunya kata dengan perbuatan. Upaya-upaya ini bersama dengan keseriusan terlibat dalam perang informasi akan dapat memulihkan citra TNI yang saat ini sedang terpuruk. Semoga TNI segera berbenah diri untuk mengawal Republik Indonesia yang demokratis.

BUDIMAN S.P.

Analis Sistem Informasi

Alumnus University of Western Sydney, Australia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan pertanyaan anda disini.