04 Februari 2014

Benahi Negeri Gunakan Pancasila

D alam berbagai pembicaraan baik dengan sesama Perwira maupun dengan kalangan sipil sudah sangat jarang saya mendengar pembicaraan tentang Pancasila. Pancasila seolah terlupakan, hanya diingat tatkala memperingati hari-hari bersejarah tertentu, ataupun saat melaksanakan upacara mingguan dan bulanan. Bagi sebagian kita berbicara tentang Pancasila seolah membicarakan sesuatu yang angker atau mungkin tabu. Sebagian lagi ada yang memandang bahwa membicarakan Pancasila sepertinya membicarakan sesuatu yang tidak ada gunanya (just wasting time).

Pada suatu kesempatan mengobrol empat mata di kediaman seorang senior (beliau mantan Kasad) mengatakan kepada saya, bahwa Pancasila ibarat “ koreksi nolbagi Bangsa dan Negeri ini. Ibarat peluru meriam yang bergeser perkenaannya beberapa puluh meter, maka untuk dapat memperbaiki agar perkenaan sedekat mungkin dengan sasaran dilaksanakan koreksi nol menggunakan perangkat bidik. Demikian juga ketika banyak yang menyimpang ditengah-tengah Bangsa ini dan dinegeri ini, maka hanya Pancasila yang dapat mengembalikannya. Karena Pancasila dengan Bangsa dan Negeri ini ibarat sebuah Meriam dengan Perangkat Bidiknya. Bayangkan sebuah meriam ditembakkan tanpa menggunakan perangkat bidik, bisa jadi peluru kena pada sasaran atau juga peluru nyasar menghujam pasukan sendiri. Kira-kira seperti itulah yang terjadi di negeri ini, ada arah yang sudah sesuai dengan haluan yang diinginkan namun lebih banyak lagi arah yang menuju entah kemana. Mengapa demikian?, karena Pancasila hanya dipandang sebagai simbol keramat semata dan tidak (pernah) digunakan sebagai haluan untuk mengarahkan negeri ini.

Realita faktual yang kita lihat di negeri ini, antara lain: Negeri ini masih berkutat tentang KETUHANAN, karena walaupun sebagian besar rakyat negeri ini mempunyai agama, apakah itu Hindu, Budha, Kong Fu Tsu, Kristen ataupun Islam tetapi sesungguhnya sebagian besar diantara mereka dapat dikatakan tidak beragama. Mempunyai agama tidak serta-merta beragama, ibarat kita punya baju, tetapi belum tentu kita berbaju (contoh: saat mandi). Seandainya seluruh rakyat negeri ini beragama maka tidak akan terjadi korupsi, tidak akan terjadi pembalakan hutan, tidak akan terjadi tindakan semena-mena apakah terhadap sesama manusia maupun makhluk ciptaan TUHAN lainnya; Bangsa ini juga masih bermasalah dengan KEMANUSIAAN, karena banyak rakyat negeri ini yang tidak menyadari bahwa dia adalah manusia. Karena tidak menyadari keberadaannya sebagai manusia, dia tidak dapat berinteraksi secara manusia dengan sesama manusia maupun kepada makhluk hidup lain, dan lebih parah lagi sadar atau tidak disadari banyak yang telah membuat manusia menjadi bukan manusia. Padahal sebagai seorang manusia, justru harus bisa memanusiakan manusia; Dalam hal PERSATUAN negeri ini pun masih bermasalah. Keutuhan wilayah negeri sedang terancam, baik yang selalu terperhatikan seperti kemungkinan lepasnya Aceh ataupun Papua termasuk yang kurang terperhatikan seperti klaim hingga lepasnya teritori negeri ini oleh negeri tetangga. Selain itu juga konflik-konflik antar perorangan – kelompok–institusi merupakan indikasi nyata bahwa negeri ini masih bermasalah dengan PERSATUAN; Masalah selanjutnya, bahwa konon di negeri ini kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat (melalui perwakilan yang duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang kemudian memberikan mandat kekuasaan rakyat tersebut kepada Presiden. Namun apakah rakyat negeri ini sudah merasakan kekuasaan yang dimandatkan tersebut ? Yang terasa adalah wakil-wakil yang lupa siapa yang telah mendudukkan dia, wakil-wakil yang sering menyakiti perasaan rakyat yang memilih mereka, wakil-wakil yang sering adu jotos dengan sesama wakil-wakil, dlsb. Wakil-wakil itu jangankan memiliki hikmat/kebijaksanaan, hal kedewasaan saja ibarat jauh panggang dari api; Dan puncak dari semua itu, negeri ini masih bermasalah dengan KEADILAN. Manusia makhluk sosial adalah takdir Tuhan dan dalam pembukaan UUD 45 telah diamanatkan dalam tujuan nasional yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya. Itulah keberadaan tertinggi manusia Indonesia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial.

Berkenaan dengan realita faktual yang terjadi di negeri ini dan di bangsa ini dan bagaimana kita mengambil sikap, saya ingin menyampaikan satu tesis sederhana tentang Pancasila, sebagai berikut: “Bahwa kelima sila dalam Pancasila terdiri dari tiga sila prasyarat, satu sila kondisi merangkap sila prasyarat dan satu sila kondisi. Sila pertama dan sila kedua adalah sila prasyarat untuk mewujudkan sila ketiga (sila kondisi 1). Setelah sila ketiga terwujud dia akan menjadi sila prasyarat bersama sila keempat untuk mewujudkan sila kelima (sila kondisi 2. Dari tesis sederhana tersebut (menurut pandangan saya), apabila negeri ini ingin mewujudkan PERSATUAN INDONESIA, maka syaratnya sila pertama dan kedua harus terwujud lebih dahulu. Bila sila pertama dan sila kedua sudah terwujud maka PERSATUAN INDONESIA secara otomatis akan terwujud dengan sendirinya. Selanjutnya bila negeri ini ingin paripurna sesuai tujuan nasionalnya yaitu dengan mewujudkan KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA, maka setelah PERSATUAN INDONESIA dapat diwujudkan, masih ada satu prasyarat lagi yang harus terpenuhi yaitu terwujudnya sila keempat. Berkaitan dengan tesis sederhana yang saya sampaikan ini, ijinkan saya untuk mengulas ataupun mengupas sila demi sila, bukan secara teoritis namun lebih secara filosofis sesuai dengan kelahiran Pancasila itu sendiri yang sarat dengan spirit para founding fathers bangsa ini  …

Baca selengkapnya . . .

03 Februari 2014

Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Rangka Reformasi Pendidikan TNI AD

Oleh: Budiman S.P.*

Pada suatu waktu, para perwira siswa (pasis) memasuki ruangan kuliah umum yang sudah dilengkapi dengan sarana audio visual yang cukup baik. Dosen mengajar mata pelajaran dengan persiapan yang matang. Para pasis mengikuti pelajaran dengan antusias, para pasis bertanya dan dosen menjawab pertanyaan dengan memuaskan. Di akhir pelajaran dosen memberikan penugasan kepada pasis. Untuk membuat kelas menjadi efektif, maka pasis dibagi-bagi dalam sindikat untuk mendiskusikan persoalan yang diberikan. Masing-masing sindikat dibimbing oleh seorang perwira yang ditunjuk. Dalam kesempatan berikutnya dilaksanakan diskusi kelas yang suasananya hidup. Masing-masing pasis secara aktif berperan dalam diskusi tersebut. Hasil diskusi disimpulkan dalam makalah yang harus dikumpulkan dalam waktu tertentu. Hasil diskusi sesuai dengan apa yang diinginkan lembaga seperti yang tertuang dalam “jawaban sekolah”. Para pasis dan lembaga merasa puas.

Dua tahun kemudian, selesai mengikuti upacara pembukaan para pasis dibagi Compact Disk (CD) yang secara otomatis akan menampilkan informasi begitu dimasukkan kedalam CD drive komputer. Para pasis tidak harus “melek komputer” untuk dapat mengoperasikannya. CD tersebut berisi informasi lengkap tentang Seskoad, kumpulan semua hanjar, Lembar Penugasan dan Kuis serta referensi yang berkaitan dengan pelajaran yang diberikan. CD tersebut juga berisi link (hubungan) ke sumber-sumber internet. Para pasis dengan membawa CD masing-masing duduk di depan komputer di laboratorium untuk mempelajari tugas yang diberikan oleh lembaga, mencari referensi untuk penugasannya. Sebagian perwira siswa yang sudah terbiasa menggunakan internet pergi ke warnet atau memanfaatkan laptopnya disambungkan pada jaringan hotspot/wireless untuk mencari tambahan informasi seperti yang ditunjukkan dalam link-link tersebut. Sebagian pasis lainnya mencari tambahan informasi dengan memanfaatkan ensiklopedia elektronik. Dalam waktu yang telah ditentukan mereka berkumpul di ruang diskusi dalam bentuk sindikat/kelompok untuk mendiskusikan penugasannya disupervisi oleh perwira yang ditunjuk. Suasana diskusi sangat hidup dan berkembang dengan sudut pandang berbeda-beda. Diskusi menghasilkan keputusan atau makalah yang komprehensif dan ternyata berbeda dengan jawaban sekolah. Laporan dikumpulkan dalam waktu yang lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Demikianlah gambaran situasi kelas yang berbeda antara sistem dengan dan tanpa memanfaatkan peranan teknologi informasi. Tulisan ini akan membahas peran teknologi informasi dalam bidang pendidikan dan bagaimana teknologi informasi dapat diimplementasikan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas serdik dalam proses belajar. Sebagai bahan pembahasan penulis mengambil contoh Seskoad karena sekolah ini merupakan barometer pendidikan di TNI AD dan diasumsikan merupakan pendidikan yang terbaik. Diharapkan dengan memanfaatkan teknologi informasi Seskoad akan menjadi pelopor pembaharuan dalam bidang pendidikan di lingkungan TNI AD.

Sistem Pendidikan

Inti dari sistem pendidikan adalah hubungan manusiawi yang terbentuk antara tenaga pendidik (gadik) dan peserta-didik (serdik). Hubungan ini oleh para praktisi biasanya direduksi hanya menjadi “proses belajar-mengajar”, yang tidak mencerminkan keseluruhan sistem pendidikan. Terkadang bahkan, pendidikan direduksi menjadi sekedar suatu proses transfer pengetahuan, ketrampilan, dan penyebaran informasi saja. Memang proses belajar mengajar, transfer pengetahuan dan ketrampilan serta proses penyebaran informasi adalah merupakan elemen-elemen kunci dalam sistem pendidikan. Secara khusus, sistem pendidikan TNI AD bukan hanya sekedar “proses belajar-mengajar” ditambah dengan “pewarisan nilai-nilai”, melainkan lebih dari itu secara universal ditujukan untuk menjadikan manusia seutuhnya, khususnya dalam rangka menjadi patriot untuk mempertahankan eksistensi negara Indonesia. Hal ini tertuang dalam sesanti “dwi warna purwa cendekia wusana” yang berarti pertama-tama adalah pejuang merah putih dan baru kemudian kecendekiaan atau keahlian.

Kualitas pendidikan secara umum sangat ditentukan oleh adanya interaksi yang baik antara gadik dan serdik. Gadik sebagai pembimbing atau pendamping sekaligus menjadi teladan bagi serdik dalam rangka proses belajar mengajar dan proses pewarisan nilai-nilai. Tanpa adanya interaksi yang baik ini maka pendidikan akan jauh dari hakekatnya dan akan tinggal menjadi hal-hal teknis belaka yang akan menghasilkan manusia-manusia yang pandai saja tetapi miskin sentuhan manusiawi. Sehingga tidak mengherankan kalau kualitas manusia yang terbaik saat ini justru diperoleh melalui pendidikan dengan pola tradisional dengan metoda "talk and chalk" , model perguruan silat, ataupun model pesantren. Menurut ukuran yang sampai saat ini masih berlaku, bagus tidaknya suatu institusi pendidikan adalah tergantung nisbah (ratio) siswa dengan gurunya. Semakin besar nisbahnya diharapkan semakin baik kualitas hasil didiknya. Ini mengandung arti bahwa semakin banyak hubungan manusiawinya diharapkan semakin baik kualitas hasil didiknya. Namun demikian hal ini tidak berarti bahwa penggunaan teknologi untuk menjalankan proses-proses dalam sistem pendidikan akan menurunkan kualitas pendidikan.

Penggunaan teknologi secara nyata meningkatkan kuantitas serdik yang dapat memperoleh pendidikan serta memperluas cakupan materi pelajaran, yang berarti penggunaan teknologi modern khususnya teknologi informasi dapat membantu meningkatkan pendidikan tanpa harus menurunkan kualitasnya apabila hubungan manusiawi antara gadik dan serdik tetap dijaga.

Peran Teknologi Dalam Pendidikan.

Ramalan mengenai peran atau manfaat teknologi biasanya dihubungkan dengan masalah yang berkaitan dengan konteks sosial politik yang akan terjadi dalam masyarakat. Namun kadang-kadang ramalan itu tidak terjadi atau meleset. Sebagai contoh, pada awal abad 20 di Amerika pada saat kendaraan sudah mulai banyak, dinyatakan bahwa akan terjadi perbaikan kondisi lingkungan bila mobil menggantikan kereta kuda. Jalanan menjadi bersih, tidak berdebu, tidak berbau, dan tidak berisik sejak ditemukannya ban dalam, hal ini akan mengurangi ketegangan dan gangguan di kota-kota besar. Saat ini barangkali ramalan semacam itu akan ditertawakan karena ternyata dengan digunakannya mobil, kondisi yang diramalkan meleset. Yang terjadi justru adalah kemacetan lalu lintas, polusi suara, polusi udara yang semakin menimbulkan ketegangan dan gangguan di kota-kota besar. Tanpa mempersoalkan apa akibatnya dari sisi sosial politik, pengaruh teknologi terhadap pendidikan terutama dari sisi transfer pengetahuan dan penambahan cakupan pengetahuan terlihat sangat jelas.

Berikut gambaran mengenai bagaimana teknologi dengan jelas mampu mengubah cara pendidikan dilaksanakan. Yang dimaksud teknologi dalam hal ini mulai dari mimik atau isyarat ke bahasa lisan (spoken language), menuju bahasa tulisan (written language) di batu/tulang, tulisan di kertas, mesin cetak sampai dengan buku dan TV sampai saat ini menggunakan e-learning. Marilah kita menengok kebelakang dan melihat bagaimana perkembangan teknologi tersebut mengubah pendidikan.

Teknologi yang sangat primitif yang digunakan untuk berkomunikasi adalah menggunakan mimik, isyarat, maupun coretan-coretan di pasir. Dengan teknologi ini walaupun tanpa kata-kata manusia sudah mampu melakukan pendidikan kepada anak-anaknya. Dengan cara ini pula para orang tua sudah mampu mengajari anaknya untuk berburu binatang dan mencari makanan dan sebagainya. Begitu ada teknologi baru yang berupa bahasa lisan (spoken language) maka ada kemajuan yang pesat dalam upaya penyampaian pengetahuan kepada anak-anaknya. Dalam era ini kadar pengetahuan masih sangat tergantung pada ingatan saja. Teknologi yang selanjutnya adalah bahasa tulis (written language), dengan teknologi ini mulailah pengalaman-pengalaman tersebut dituliskan di tulang, batu dan dinding-dinding gua. Mulai saat inilah pengetahuan tidak hanya tergantung yang di ingatan saja melainkan juga yang tertulis entah di batu ataupun dinding gua. Setelah ditemukannya teknologi kertas yang jauh lebih ringan dari lempeng batu maka semakin banyak pengetahuan yang didapatkan dan relatif bisa dibawa kemana-mana. Berikutnya setelah ditemukannya teknologi mesin cetak maka terjadi lompatan yang sangat luar biasa karena informasi dapat disimpan dengan cepat dalam bentuk buku. Dalam tahap ini pengetahuan sangat cepat didapatkan. Dengan adanya teknologi komunikasi / radio maka pengetahuan makin mudah untuk didapatkan. Menyusul ditemukannya televisi kita bisa mengikuti pendidikan secara visual melalui televisi. Ketika komputer ditemukan dan teknologi informasi berkembang dengan cepat maka saat ini kita dapat belajar menggunakan metode yang disebut sebagai e-learning. Inilah gambaran betapa teknologi itu akan dengan jelas mengubah bagaimana kita belajar dan mengikuti pendidikan.

Secara singkat kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi membuat pergeseran yang cukup nyata dalam pendidikan. Pergeseran tersebut adalah kalau dahulu gadik sebagai sumber utama pengetahuan (teachers as gatekeepers to knowledge) maka saat ini gadik berfungsi menjadi lebih sebagai fasilitator maupun mediator. Hal ini terjadi karena adanya media interaktif (interactivity media), perpustakaan elektronis (online library), ataupun belajar jarak jauh (distance learning). Saat ini seiring dengan kemajuan teknologi informasi, terjadi pergeseran paradigma pendidikan dari yang tadinya pendidikan berpusat kepada gadik (lecturer centered) menjadi berpusat pada serdik (student centered education); belajar dengan mengutamakan ilmu (knowledge based learning) menjadi belajar yang mengarah pada kompetensi (competence based learning); dan metodologi yang menekankan penguasaan materi (content driven methodology) menjadi metodologi yang mengedepankan proses belajar (process driven methodology).

Mengingat demikian besar pengaruh teknologi terhadap pendidikan maka TNI AD mau tidak mau harus menggunakan teknologi khususnya teknologi informasi untuk membantu meningkatkan cakupan jumlah serdik dan kualitas pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Kondisi Pendidikan TNI AD.

Selama ini masih diyakini bahwa Seskoad sebagai pendidikan tertinggi di lingkungan TNI AD merupakan “center of excellence”. Namun demikian ternyata sistem pendidikannya masih dijalankan dengan menggunakan pendekatan konvensional yaitu gadik sebagai sumber utama pengetahuan (teachers as gatekeepers to knowledge). Sistem pendidikan yang demikian akan menghasilkan serdik yang kemampuannya tidak maksimal dan menimbulkan ketergantungan kepada guru. Metode ini mempersyaratkan kehadiran gadik, tanpa gadik tidak ada proses belajar. Sistem ini juga menuntut ketersediaan gadik yang cukup. Jumlah gadik yang tidak mencukupi membuat satu orang gadik mengajar beberapa mata pelajaran sehingga tingkat kompetensinya pun diragukan. Dengan demikian paradigma pendidikan yang berpusat pada gadik ini perlu dirubah menjadi berpusat pada serdik untuk lebih menumbuhkan inisiatif para serdik.

Saat ini metode belajar di Seskoad juga masih menekankan bagaimana serdik diharapkan menguasai materi pelajaran sebanyak-banyaknya (knowledge based learning) dan belum mengarah pada kompetensi (competence based learning). Saat ini pelajaran yang diberikan di Seskoad meliputi Subyek Bin Kejuangan dan Kepribadian; Subyek Bin Pengetahuan dan Ketrampilan; Subyek Bin Jasmani; dan Lain-lain dengan jumlah mata pelajaran teori sebanyak 114 buah yang diberikan dalam 43 minggu. Ini merupakan contoh tipikal pendidikan dengan titik berat mata pelajaran. Dalam waktu yang relatif singkat serdik diwajibkan menguasai sebanyak-banyaknya pelajaran. Sistem yang demikian tidak menjamin kompetensi. Rasanya sangat sulit untuk mengharapkan lulusan Seskoad dengan paradigma ini mempunyai kompetensi yang tinggi. Sebagai perbandingan Sesko Malaysia, Singapura, atau Filipina tidak mengajarkan banyak pelajaran. Pada umumnya pelajaran dikelompokkan dalam empat modul dasar yaitu General Studies; Command, Leadership and Management; Strategy Warfare and Conflict Strategies; dan Military Operations. Masing-masing modul hanya terdiri dari beberapa pelajaran namun cukup mendalam dengan didukung sarana yang memadahi. Bahkan seperti di Malaysia dan Australia alumni pendidikan Sesko langsung dapat melanjutkan untuk S2 di bidang strategi di universitas. Untuk Malaysia dapat melanjutkan di Universitas Malaya dan di Inggris sedangkan untuk Australia dapat melanjutkan S2 di ADFA. Dengan demikian pendidikan Sesko diharapkan menggunakan sistem belajar yang menekankan kompetensi, sehingga alumninya cukup kompeten dalam bidang yang ditekuninya.

Pendidikan di Seskoad juga masih menganut metodologi yang menekankan pada isi pendidikan (content driven methodology). Sistem ini akan memacu siswa belajar atau membuat penugasan hanya untuk memenuhi tugas sesuai jadwal sementara penguasaan materi kurang ditonjolkan. Menurut salah satu bidang manajemen yaitu Total Quality Management (TQM) hasil akan baik apabila prosesnya benar (process driven methodology). Dengan demikian hasil pendidikan yang baik akan secara otomatis dapat dicapai apabila proses belajarnya benar, tanpa harus setiap kali mengevaluasi hasilnya.

Kondisi pendidikan sesuai dengan paradigma dan metodologi yang diharapkan tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan cara melakukan penataan kembali sistem pendidikan dengan memanfaatkan peran teknologi informasi.

Konsepsi Penataan Pendidikan TNI AD

Pada prinsipnya reformasi Sistem Pendidikan TNI AD yang ideal dilaksanakan dengan melakukan penataan kembali seluruh komponen pendidikan yang meliputi kurikulum, paket instruksi, gadik, gapendik, serdik, alins/alongins, metoda pengajaran, evaluasi, fasdik, dan anggaran. Penataan ini dapat dilakukan dengan melibatkan dan mengintegrasikan personel-personel yang kompeten di bidang masing-masing. Untuk beberapa komponen seperti paket instruksi, alins/alongins dan evaluasi dapat ditata dengan menggunakan teknologi informasi untuk mempercepat proses penguasaan pengetahuan.

Perkembangan teknologi dewasa ini ditandai dengan adanya perkembangan komputer yang sangat pesat baik dari aspek peranti keras maupun peranti lunak seperti database, pengolah kata (word processor), lembar kerja (spreadsheet). Keunggulan dari teknologi ini adalah mampu menyimpan pengetahuan yang sangat besar dan mudah diakses dalam waktu yang sangat cepat. Akibat perkembangan komputer yang pesat ini berkembanglah teknologi internet. Internet merupakan jutaan komputer yang terhubung satu sama lain di seluruh penjuru dunia dengan kapasitas informasi yang tak terbatas yang sewaktu-waktu dapat diakses secara on-line. Saat ini banyak universitas (baik militer maupun sipil), kursus-kursus, sudah membuka pelajaran secara on-line, berkat jaringan global ini. Berkaitan dengan kemajuan teknologi ini maka komponen pendidikan seperti paket instruksi dapat dibuat menggunakan perangkat lunak pengolah kata, alins ataupun alongins dapat menggunakan paket tutorial yang berbasiskan komputer / Computer Based Tutorial (CBT), evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk soal yang diketik menggunakan perangkat lunak pengolah kata (word processor) ataupun menggunakan metode evaluasi yang otomatis dikerjakan secara interaktif langsung di komputer.

Dalam pendidikan yang dijalankan dengan metode tradisional hambatan yang utama adalah adanya keterbatasan ruang dan waktu. Tenaga pendidik yang sesuai/ profesional tidak selalu berada dalam satu dimensi ruang dan waktu dengan peserta-didik yang memerlukan kehadirannya. Dengan demikian, kesempatan peserta-didik untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas seperti di Seskoad secara langsung melalui proses-proses pendidikan bertatap muka sangat terbatas dan sulit karena alokasi yang terbatas. Namun dengan inovasi teknologi informasi (baik internet maupun sistem pemberkasan hanjar yang baik) dapat mengatasi kendala ruang dan waktu. Bahan ajaran dikelompokkan menjadi paket-paket elektronik yang dapat disimpan dan ditansfer melintasi ruang melalui sistem komunikasi data tanpa hambatan. Dengan sistem pemberkasan hanjar elektronik, materi-materi pendidikan dapat disimpan dan diakses setiap saat melintasi dimensi waktu. Secara teoritis berarti kendala ruang dan waktu dapat teratasi, kapasitas pendidikan menjadi tak terbatas. Dengan penggunaan teknologi ini maka diharapkan akan meningkatkan kapasitas jumlah siswa yang dapat memperoleh pengetahuan, dengan demikian tidak lagi terbatas pada jumlah alokasi yang tersedia, sehingga bisa saja setiap perwira diwajibkan mengikuti pendidikan Seskoad. (Konsekuensinya harus menggunakan sistem yang berbeda dengan yang sekarang. Seperti misalnya dengan sistem belajar jarak jauh atau Sesko secara terdistribusi dengan pengawasan kualitas yang ketat). Implikasinya jangka panjang otomatis akan terjadi peningkatan kemampuan perwira dalam mendukung pelaksanaan tugas pokoknya. Adapun secara singkat langkah-langkah bagaimana memajukan Seskoad berkaitan dengan penggunaan teknologi informasi adalah sebagai berikut:

Tahap pertama, menyusun informasi yang berkaitan dengan Seskoad, bahan ajaran, kuis dan Lembar Penugasan, referensi yang berkaitan dengan pelajaran, dan link-link ke internet yang berkaitan dengan materi pendidikan kedalam satu CD yang secara otomatis dapat dijalankan tanpa memerlukan kemampuan menggunakan komputer (computer literacy). Yang dilakukan serdik adalah tinggal mengikuti petunjuk yang ditampilkan di komputer. Hal ini sangat memungkinkan karena komputer bukan merupakan barang yang asing bagi serdik di Seskoad. Dengan adanya CD ini maka diharapkan serdik akan dapat belajar secara lebih mandiri dengan penuh inisiatif. Diharapkan pula dengan adanya CD ini serdik tidak lagi berkutat dengan banyak kertas dan buku-buku yang biayanya relatif mahal. Setelah lulus dari Seskoad pun serdik masih dengan mudah untuk mengakses pengetahuan yang ada dalam CD tersebut.

Tahap kedua, Seskoad perlu mengembangkan laboratorium komputer dengan sistem menggunakan sistem jaringan (networking) dengan sistem server dan diskless workstation. Dengan sistem ini maka biaya pengadaannya akan menjadi lebih murah karena masing-masing workstation tidak memerlukan harddisk. Biaya untuk harddisk ini dapat dialihkan untuk pembelian unit komputer yang baru. Dengan adanya jaringan komputer ini diharapkan Seskoad akan memberikan pelajaran dengan cara yang berbeda dengan yang telah dilakukan selama ini. Dengan adanya laboratorium ini maka serdik dapat belajar secara mandiri.

Tahap ketiga, menghubungkan jaringan komputer tersebut ke internet agar serdik dapat mencari informasi atau referensi yang berkaitan dengan materi pelajarannya. Dengan internet ini maka akan terbukalah cakrawala para perwira akan perkembangan terbaru dari pelajaran atau pengetahuan yang dapat diperoleh dari internet.

Tahap keempat (ini optional), membangun jaringan internet di mes serdik. Sehingga serdik mampu mengakses internet tanpa harus ke laboratorium. Dengan demikian maka serdik dapat belajar setiap saat dari kamar dengan suasana yang jauh lebih enak dari pada belajar di kelas.

Memang penataan pendidikan yang demikian mempersyaratkan guru dengan kualitas yang baik (walaupun kalau masalahnya hanya transfer pengetahuan tidak memerlukan guru). Diperlukan kualitas guru yang baik karena untuk mencapai kualitas manusia yang baik diperlukan hubungan manusiawi yang erat antara gadik dengan serdik. Ini merupakan tantangan yang berat bagi Seskoad untuk meningkatkan kualitas gadiknya. Karena dengan sesanti “dwiwarna purwa cendekia wusana” diharapkan para gadik dituntut untuk benar-benar bersikap dan berperilaku yang mencerminkan sesanti tersebut disamping tingkat kompetensi yang tinggi. Konsekuensinya Seskoad perlu melakukan kontrol yang lebih ketat untuk menentukan kriteria para gadiknya kalau perlu melalui fit and proper test.

Penutup

Demikianlah gambaran singkat mengenai penataan pendidikan TNI AD khususnya di Seskoad dengan mempertimbangkan beberapa komponen dalam sistem pendidikan yaitu paket instruksi, alins/alongins dan evaluasi dangan memanfaatkan teknologi informasi. Untuk tahap pertama, baik untuk lembaga pendidikan (lemdik) Seskoad dan lemdik pendidikan perwira lainnya, dengan disusunnya bahan ajaran dalam bentuk CD diharapkan kualitas bahan ajaran menjadi jauh lebih baik. Hal ini merupakan langkah awal untuk menuju pada modernisasi pendidikan di lingkungan TNI AD.

Untuk kelompok bintara dan tamtama yang biasanya dididik di Rindam belum memerlukan hanjar dalam bentuk yang sudah dikomputerisasi. Bentuk yang cocok diberikan kepada bintara tamtama adalah bahan ajaran yang dirumuskan dalam buku saku yang berisi pengetahuan-pengetahuan praktis tentang tugasnya. Buku saku ini dapat dicetak dalam media yang berlapis plastik yang kedap air sehingga dapat dibawa kemana-mana dan diharapkan mampu menjadi referensi dalam membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam penugasan mereka. Teknologi informasi dapat dimanfaatkan dalam pengadaan buku saku ini dengan membuat master cetakan yang bagus menggunakan format portable document format (PDF). Dengan format ini kualitas hasil cetakannya lebih bagus dibandingkan perangkat lunak pengolah kata biasa.

Didalam pelaksanaannya konsep ini pasti akan mengalami hambatan seperti masalah ketersediaan anggaran, sumber daya manusia, dan energi khususnya listrik untuk mendukung komputer. Namun demikian hal-hal tersebut relatif mudah diatasi dengan melaksanakan pentahapan kegiatan. Akan tetapi hambatan yang paling besar dalam konteks ini adalah adanya perilaku yang selalu menolak terhadap perubahan (resistance to change). Untuk mempermudah pengendalian dan bahan evaluasi sebaiknya penataan ini dilakukan dengan melaksanakan percontohan di salah satu lemdik (pilot project), dan setelah hasilnya tampak maka baru diterapkan ke semua lemdik di lingkungan TNI AD.

Diharapkan dengan melakukan penataan pendidikan menggunakan teknologi informasi ini akan meningkatkan baik jumlah perserta didik maupun kualitasnya. Dengan demikian akan terjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia TNI AD.

* Budiman S. Pratomo

Analis Sistem Informasi

Disinfolahtad

Baca selengkapnya . . .

Senjata Perang Informasi

Oleh: Budiman S.P.

Militer sangat menyadari bahwa informasi dan teknologi informasi dapat digunakan sebagai senjata untuk memperoleh keunggulan. Memang cukup sulit untuk menggambarkan senjata yang digunakan untuk perang informasi di masa depan. Tetapi yang jelas pasti berbeda dari senjata yang saat ini digunakan oleh tentara pada umumnya di lapangan.

Kemungkinan perang dalam era gelombang ketiga adalah sejenis perang intelijen yang melibatkan para hackers. Seperti diketahui komputer ataupun jaringan telepon dirancang sebagai sarana untuk menyebarkan informasi. Informasi melalui jaringan ini dapat dimonitor. Para perwira dengan keahlian otomasi sistem (FA 53-menurut klasifikasi US Army) pasti mengetahui apa yang disebut program TEMPEST yang dirancang untuk memonitor emisi peralatan elektronik dari jarak jauh. Ini memberikan peringatan bahwa kita harus berhati-hati dengan monitoring peralatan elektronik yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak berhak. Bahkan kandungan informasinya pun dapat dimonitor tanpa sepengetahuan yang punya. Bila jaringan dapat dimonitor dari jarak jauh, maka dapat pula diakses dari jarak jauh. Monitoring ini dapat dilakukan oleh komputer yang dirancang khusus sebagai sistem senjata. Secara umum senjata tersebut dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu : peranti lunak (software), peranti keras (hardware), sistem elektromagnet, dan sarana yang lain.

Peranti Lunak (Software)

Peranti lunak ini meliputi program yang khusus dirancang untuk mengumpulkan informasi, menghambat, mengubah, ataupun merusak sistem informasi lawan. Peranti lunak ini dapat menjadi senjata yang cukup bagus dalam perang informasi. Sebagai contoh, KNOWBOT yang dapat bertindak sebagai mata-mata. Yang lain adalah Virus, Worm, Trojan Horse, Logic Bomb, Trap Door, Demon, dan Sniffer.

KNOWBOT merupakan singkatan dari knowledge robot, yang merupakan program komputer yang dapat berpindah dari mesin satu ke mesin yang lain dan dapat menggandakan diri sendiri. KNOWBOT tersebut dapat berkomunikasi dengan program yang lain, dengan berbagai jaringan dan pengguna. KNOWBOT tersebut dapat diperintahkan untuk mencari komputer dan sumber informasi selaku perangkat lunak mata-mata. KNOWBOT dapat ditanam dalam komputer musuh, menggandakan dirinya sendiri dan ketika mendapatkan informasi yang sesuai dengan yang diinginkan, kemudian mengumpulkan informasi dan suatu waktu dapat diinterogasi untuk memperoleh informasi yang sesuai dengan keinginan. KNOWBOT bahkan dapat diprogram untuk menghapus dirinya sendiri untuk mencegah terbongkarnya aktifitas mata-mata yang dilakukannya. KNOWBOT juga dapat merubah dan menghancurkan data yang sangat penting bagi jaringan komando dan kendali.

Virus merupakan kumpulan kode yang dapat menggandakan dirinya sendiri dan merubah program. Virus ini bekerja bila komputer induknya menjalankan program, kemudian dapat merubah program tersebut. Virus ini setelah menginfeksi, menggandakan diri, menginfeksi program yang lain dan berkembang biak. Kita dapat menemukan virus hampir di semua lingkungan pekerjaan yang menggunakan komputer, sehingga tidak mengherankan bila program kecil ini digunakan dalam Perang Informasi. Akibat yang ditimbulkan oleh virus ini sangat luas mulai dari menimbulkan kerusakan data, mematikan komputer, sampai menghapus data atau bahkan menghapus file allocation table (FAT).

Worm merupakan program kecil yang mirip virus. Worm dapat menggandakan dirinya sendiri dan dapat berpindah dari satu komputer ke komputer lain lewat jaringan. Tidak seperti virus, worm biasanya tidak mengubah data atau program. Meskipun worm tidak merusak data, tetapi dapat menyebabkan macetnya komputer karena dapat memakan seluruh sumber daya (disk) dan menyebar ke seluruh jaringan. Contoh yang bagus dari worm adalah “Internet Worm” atau “Morris Worm” yang sempat melumpuhkan internet pada bulan November 1988. Worm tersebut adalah berupa 99 baris program yang ditulis oleh Robert Tappan Morris yang pada saat itu berusia 23 tahun dan sebagai siswa doktoral di Cornell University.

Trojan horse merupakan potongan kode yang disembunyikan dalam program dan mengerjakan fungsi yang merusak. Trojan horse yang pintar tidak akan meninggalkan jejak dan menimbulkan kerusakan yang tidak terdeteksi sehingga sulit untuk dilacak.

Logic Bomb merupakan jenis trojan horse yang dapat digunakan untuk melepaskan virus, worm ataupun yang lain. Logic bomb ini merupakan program bebas ataupun kode yang sengaja ditanam oleh para pemrogram ataupun pengembang sistem. Logic bomb biasanya tidak terlacak sebelum program tersebut diaktifkan. Ketika kondisi yang dipersyaratkan terpenuhi maka program akan diaktifkan. Logic bomb dapat mengubah, merusak ataupun menghambat fungsi sistem. Kondisi yang dipersyaratkan tersebut dapat berupa waktu tertentu, perintah tertentu, atau perintah yang dikirimkan dari jalur komando kendali. Logic bomb ini bisa dipasang pada saat konflik sedang terjadi dan diaktifkan bila kondisi perang telah dimulai.

Trap door, atau back door, adalah suatu mekanisme untuk mengerjakan fungsi tertentu yang dibangun pada suatu sistem oleh perancangnya. Fungsinya adalah untuk memberikan akses kepada perancangnya untuk masuk ke dalam sistem dengan memotong proteksi sistem. Trap door memungkinkan pengguna masuk dengan cepat ke dalam suatu sistem untuk membuat perubahan dalam waktu yang cepat di kemudian hari. Ini menjadi berresiko ketika orang yang salah menemukannya, sehingga akses yang tidak sah menjadi mudah dan sistem keamanan dapat dipotong. Bila ini terjadi maka dengan mudah informasi akan dapat diambil oleh pihak yang tidak berhak.

Demon merupakan suatu program yang ditanam dalam suatu sistem yang dapat merekam semua perintah yang dimasukkan kedalam sistem. Demon ini dapat diintrogasi dan akan melaporkan semua perintah yang telah dicatatnya. Dengan demikian demon dapat memberikan kode akses, kunci dan informasi yang mirip dalam sistem informasi.

Sniffer mirip dengan demon, tugasnya mencatat 128 bit pertama dari data ataupun program. Informasi logon dan password untuk masuk ke dalam sistem biasanya masuk dalam porsi ini. Karena sniffer hanya membaca informasi maka sangat sulit untuk dideteksi.

Peranti Keras (Hardware)

Seperti halnya menggunakan peranti lunak fungsi-fungsi yang diinginkan dapat pula dikerjakan melalui peranti keras. Perangkat keras ini dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu menggunakan Chip dan Nano Machines.

Chip yang terdiri dari jutaan sirkuit dapat dengan mudah dibuat oleh pabrik untuk mengerjakan sesuatu yang sama dengan peranti lunak. Fungsi chip ini adalah membawa peranti lunak yang dapat disambungkan kepada sistem komputer musuh. Peranti keras terdiri atas komputer dan komponen pelengkapnya (peripheral). Peranti keras merupakan sarana yang potensial untuk mengakses sistem informasi lawan. Seperti pernah dilaporkan oleh majalah US News & World Report, selama Operasi Badai Gurun, ada upaya untuk mengitroduksi virus kedalam sistem informasi Irak dengan menyelipkan chip kedalam printer buatan Perancis yang diselundupkan ke Irak. Chip tersebut mengandung virus yang dapat melumpuhkan sistem komputer yang menyebabkan pengguna sulit untuk membuka windows. Karena peralatan seperti printer sangat jarang untuk menjadi sarang virus, maka ini merupakan sarana yang bagus untuk memasukkan virus ke dalam sistem informasi lawan. Ini merupakan contoh yang bagus untuk menjelaskan bahwa peranti keras dapat dipakai untuk menyerang musuh sebagai penyebar peranti lunak dalam suatu sistem informasi .

Nano machines dapat menyebabkan bahaya yang serius terhadap sistem informasi. Tidak seperti virus, kita dapat menggunakan ini untuk menyerang sistem informasi lawan terutama perangkat kerasnya. Nano machines merupakan robot kecil berukuran lebih kecil dari semut yang dapat menyebar ke semua sistem komputer lawan. Mesin ini sangat kecil sehingga dapat merambat lewat dinding dan masuk lewat lubang angin untuk menemukan komputer. Karena kecilnya ini ia dapat masuk melalui slot dan dapat mematikan atau merusak komputer.

Sistem Elektromagnet.

Ssitem elektromagnet dapat digunakan untuk mengganggu ataupun merusak jalur komando dan kendali musuh. Yang termasuk dalam upaya ini adalah Meaconing, Intrusion, Jamming and Interference (MIJI). Meaconing merupakan upaya untuk mengacaukan sarana navigasi. Intrusion yang merupakan upaya untuk menembus sistem komunikasi lawan sehingga membingungkan komunikasi dan dapat memancarkan perintah balik (counter-commands). Jamming dan interference merupakan upaya untuk mencegah musuh dapat menggunakan sistem elektomagnetik.

HERF singkatan dari High Energy Radio Frequency. Senapan HERF memancarkan sinyal radio pada sasaran peralatan elektronik dan membuatnya tidak berfungsi / rusak. Kerusakannya dapat ringan, sedang atau bahkan berat. Mekanisme penggunaan senapan HERF cukup berhasil. Sebenarnya senapan HERF adalah pemancar radio yang dapat mengirimkan sinyal yang sangat kuat kepada sasarannya. Sasarannya adalah sasaran diam seperti komputer mainframe dan jaringan komputer atau bahkan sasaran bergerak seperti pesawat atau mobil yang dilengkapi dengan peralatan elektronik.

EMP singkatan dari electromagnetic pulse. Sumbernya dapat berasal dari nuklir ataupun non nuklir. Peralatan ini dapat digunakan oleh pasukan khusus yang dapat menyusup daerah musuh dan dapat meledakkan peralatan komputer. EMP bomb dilaporkan digunakan melawan Irak pada Perang Teluk.

Sarana Lain.

Perang informasi tidak terbatas pada sistem elektronik saja. Kombinasi antara senjata biologi dengan elektonik dapat digunakan untuk keperluan tersebut. Sebagai contoh, petugas Pentagon pernah menyatakan bahwa ada mikroba tertentu yang dapat dibiakkan untuk menghancurkan bahan elektronik dan material lain dalam komputer.

Bom yang dibimbing oleh sinar laser dapat dijatuhkan pada kotak kabel komunikasi akan memberikan efek yang sangat nyata. Sehingga dapat melemahkan komando dan kendali lawan. Pasukan khusus dapat merusak titik titik kritis atau dapat mengangkap personel yang berkaitan dengan fungsi perang informasi. Bahkan divisi infantri bermotor dapat merusak titik kritis dalam jaringan komunikasi.

Dalam tangan yang terlatih sarana sarana tersebut dapat digunakan secara bersama sama atau sendiri untuk mencapai tujuan. Secara teoritis dengan memanfaatkan sarana-sarana tersebut dapat mengakhiri perang sebelum tembakan pertama ditembakkan.

BUDIMAN S.P.

Analis Sistem Informasi

Alumnus University of Western Sydney, Australia

Baca selengkapnya . . .

Perang Informasi dan Peran TNI

Oleh: Budiman S.P.

Keterampilan terhebat dalam perang adalah menaklukkan musuh tanpa harus bertempur [ Sun Tzu]

Perang dalam era demokrasi dan pengutamaan hak asasi manusia dewasa ini dirasakan sangat kejam. Dilatar-belakangi oleh hal tersebut maka ada suatu konsep perang tanpa korban (victimless war) yang secara etis lebih bisa diterima. Perang tanpa korban ini bisa dilakukan dengan menggunakan senjata yang khusus dikembangkan untuk keperluan tersebut seperti zat yang menyebabkan orang tidur (calmative agent), zat yang membuat licin permukaan (anti traction) seperti Teflon dan pelumas, zat peretak logam (liquid metal embrittlement), atau perekat yang sangat kuat yang dapat menghambat pergerakan pasukan [Toffler, 1993], disamping itu dapat pula dilakukan melalui sarana lain yang berupa informasi. Dalam suatu perang, semakin banyak informasi potensial yang diperoleh akan mengurangi "kabut perang" sehingga barang siapa menguasai informasi potensial akan memenangkan pertempuran.

Ruang lingkup perang informasi sangat luas mulai dari penguasaan komando dan kendali sampai dengan apa yang disebut cyberwar, termasuk menggunakan sarana-sarana teknologi informasi seperti virus, worm, gelombang elektromagnet, mengacak-acak sistem informasi lawan, memberikan informasi palsu, dan merusak instalasi sistem informasi lawan. Dalam perang konvensional, bila kita mempunyai seratus tank sedangkan musuh hanya mempunyai sepuluh tank maka kita dapat mengatakan kita mempunyai keunggulan sepuluh berbanding satu, tetapi tidak demikian dalam perang informasi. Suatu prinsip dalam perang informasi adalah walaupun kita mempunyai keunggulan informasi tetapi tidak secara otomatis memenangkan perang. Hal ini disebabkan karena informasi yang benar dan strategis tidak akan pernah usang, sehingga walaupun ini dianggap kecil tetapi akan memberikan efek yang menghancurkan. Sebagai contoh adalah masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dan TNI khususnya pada saat ini. TNI dan pemerintah selama masa Orde Baru sebenarnya mempunyai banyak sekali kesempatan untuk memberikan informasi yang strategis dengan jujur, ilmiah, dan terbuka dalam kaitannya dengan situasi yang sedang terjadi dalam masyarakat. Tetapi sayangnya hal ini tidak banyak dilakukan, dan yang sering dilakukan justru memonopoli informasi dengan membatasi informasi dan mengintervensi media massa untuk tidak memberitakan fakta kepada masyarakat. Bila dibandingkan dengan informasi yang diberikan pada era reformasi ini, ternyata informasi yang diberikan selama lebih dari tiga puluh tahun dapat dikalahkan oleh informasi yang diberikan secara relatif jujur, ilmiah, dan terbuka dalam waktu beberapa bulan.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perang informasi dalam tulisan di bawah ini akan diberikan gambaran secara umum tentang perang informasi, sejarah perang informasi dan bagaimana sebaiknya TNI menyikapi tentang perang informasi sebagai salah satu bidang yang menjadi tugas pokoknya.

Perang Informasi.

 Perang dalam konteks ini berasal dari kata Warfare. "Warfare is the set of all lethal and nonlethal activities undertaken to subdue the hostile will of an adversary or enemy." Perang dalam pengertian ini tidak sama artinya dengan perang yang biasa kita dengar, karena perang ini tidak memerlukan pernyataan keadaan perang terlebih dahulu. Sehingga tujuan dari perang ini tidaklah harus membunuh musuh. Dengan demikian tujuan utamanya adalah membuat musuh menyerah, sesuai dengan ajaran Sun Tzu yang menyatakan bahwa ketrampilan tertinggi dalam perang yaitu dapat menaklukkan musuh tanpa harus bertempur.

Informasi diartikan sebagai pesan yang mempunyai arti atau isi. Informasi berkaitan dengan pengambilan keputusan sehingga tidak terlepas dari sistem informasi dalam suatu organisasi.

Setelah digabung menjadi Perang Informasi maka terminologi ini mempunyai pengertian yang sangat luas karena dapat diterapkan dalam bidang militer ataupun sipil. Pada dasarnya perang informasi merupakan semua upaya dan kegiatan yang ditujukan untuk melawan semua bagian dari sistem pengetahuan dan sistem informasi lawan. Untuk lebih memperoleh kejelasan dari pengertian perang informasi berikut ini pendapat dari beberapa pihak yang menekuni bidang ini.

US Army mendefinisikan perang informasi sebagai tindakan-tindakan yang diambil untuk mencapai superioritas informasi dengan mempengaruhi sistem informasi lawan dan melindungi sistem informasi sendiri. Sementara Dr. Martin Libicki dari National Defense University tidak mendefinisikan secara tegas apa itu perang informasi, tetapi dia menyatakan ada tujuh bentuk perang informasi.Tujuh bentuk perang informasi tersebut adalah:

Pertama, perang untuk menguasai komando dan kendali, yang melibatkan kegiatan untuk mengganggu rantai komando dan pengendalian. Dalam prakteknya di lapangan melibatkan tindakan perusakan secara fisik terhadap saluran komunikasi.

Kedua, perang berbasiskan intelijen, yang merupakan bentuk tradisional dari perang informasi. Hal ini melibatkan kegiatan pengumpulan dan penyadapan informasi dari fihak musuh. Ini sangat berguna bila informasi yang diperoleh dapat digunakan secara langsung dalam operasi.

Ketiga, perang elektronika, yang menggunakan peralatan berteknologi tinggi untuk operasi militer yang berkaitan dengan keunggulan elektromagnetik. Ini meliputi kegiatan radioelektronik dan kriptografi.

Keempat, perang psikologi / urat syaraf, yang melibatkan aspek psikologi dalam pelaksanaannya. Perang ini menggunakan informasi untuk mempengaruhi perasaan manusia baik para komandan pasukan ataupun rakyat biasa. Sebagai contoh, penayangan adegan pengarakan mayat serdadu Amerika di Somalia terbukti telah sukses mempengaruhi publik Amerika untuk menghentikan keterlibatan US Army secara lebih jauh dalam operasi di Somalia.

Kelima, perang hacker, yang berkaitan dengan penyerangan pada jaringan komputer. Perang ini bertujuan menyerang kelemahan pada pengamanan sistem informasi. Tujuan dari perang ini adalah mengacau sistem informasi musuh dengan menyebarkan informasi palsu ataupun mengambil data yang bersifat rahasia.

Keenam, perang informasi ekonomi, yang dapat mengambil dua bentuk utama yaitu penguasaan informasi dan blokade informasi. Dalam perang ini termasuk mengacaukan bursa saham, penyerangan terhadap nomor rekening di bank, dan mengacaukan nilai mata uang

Ketujuh, operasi yang disebut cyberwar, yang merupakan bentuk perang yang sekarang ini masih menjadi pertanyaan apakah itu realistis atau tidak. Ini merupakan bagian fiksi dari kemajuan teknologi informasi. Seperti digambarkan oleh Douglas Waller Washington dalam majalah Time 21 Agustus 1995 dibawah judul Onward Cyber Soldier, yang menggambarkan topik menarik mengenai bagaimana tentara di masa depan berperang.

Sedangkan Schwartau dalam Information Warfare, Chaos on the Electronic Superhighway, membagi tiga kelas perang informasi yaitu.

Pertama, Perang Informasi Personal, yang mencakup serangan terhadap privasi, termasuk membocorkan rahasia perorangan dari suatu database. Hal ini tidak merupakan bahaya yang potensial, tetapi bila menyangkut orang tertentu dapat juga berkaitan dengan kelas kedua atau ketiga.

Kedua, Perang Informasi Korporat, yang lebih mencerminkan kompetisi antara perusahaan di seluruh dunia meliputi kegiatan pencarian dan penyebaran informasi untuk kepentingan suatu fihak.

Ketiga, Perang Informasi Global, yang mencakup bidang industri ataupun negara. Tujuan dari perang ini tidak hanya mencari informasi rahasia dari data penelitian untuk keperluan sendiri, tetapi untuk mencapai kemenangan dengan menghancurkan lawannya.

Sejarah Perang Informasi

Alvin Toffler dalam bukunya yang berjudul Third Wave, menggunakan perspektif sejarah untuk mendefinisikan masyarakat. Dia menyatakan bahwa masyarakat berkembang dari masyarakat agraris (gelombang pertama), masyarakat industri (gelombang kedua), dan kemudian ke masyarakat gelombang ketiga. Dalam bukunya War and Anti War yang diterbitkan tahun 1993 Alvin dan Heidi Toffler menjelaskan mengenai sejarah perang menggunakan pendekatan yang sama dengan pendekatan yang digunakan dalam the Third Wave.

Gelombang Pertama, Revolusi pertanian mendorong terjadinya perubahan yang sangat pesat dalam kebudayaan manusia yang mendorong pada terbentuknya masyarakat yang kita kenal dewasa ini. Tanah pertanian menghasilkan produk bernilai ekonomi yang menjadi salah satu faktor penyebab perang. Dengan demikian perang pada saat itu bertujuan untuk menguasai tanah dan memperluas hegemoni. Sebagai akibat dari ciri perang dalam gelombang ini maka tentara selalu berada di lapangan. Pada saat ini pula tentara kurang terorganisasi dan tidak menggunakan senjata yang memadahi. Keahlian mereka dinilai dari keberanian mereka bertempur sebagai kesatria.

Gelombang Kedua, Revolusi Industri merubah cara bagaimana tentara bertempur. Dengan ditemukannya amunisi dan senjata pemusnah massal maka berkembang perang dengan tujuan menghancurkan sasaran untuk tujuan memenangkan pertempuran. Dalam gelombang ini mulailah ditetapkan standarisasi peralatan, latihan, organisasi dan doktrin dalam tubuh angkatan perang.

Gelombang Ketiga, Pada akhir tahun 70-an, dengan berkembang pesatnya teknologi informasi, masyarakat berkembang dari masyarakat industri ke masyarakat komunikasi. Dengan demikian tujuan perang tidak lagi menghancurkan sasaran yang sangat luas tetapi hanya ditujukan pada obyek strategis yang berupa jaringan komunikasi atau informasi. Sebagai contoh, pada saat Perang Teluk tentara Amerika tidak lagi menghancurkan target secara membabi buta tetapi lebih ditekankan pada jaringan komunikasi dan pengendalian untuk mencegah informasi mengalir dalam rantai komando. Dalam tahap ini penggunaan teknologi informasi yang berupa komputer semakin banyak, terbukti dalam perang Teluk digunakan lebih dari 3000 buah komputer yang dihubungkan dengan pusat komputer di Amerika Serikat. Dengan demikian dalam tahap ini informasi menjadi faktor yang sangat penting dalam memenangkan pertempuran.

Ditinjau dari sudut pandang militer, prinsip perang yang diajarkan oleh Clausewitz dengan teori center of gravity adalah barang siapa menguasai medan yang strategis dialah yang memenangkan perang. Berdasarkan teori inilah maka perang berkembang dari waktu ke waktu. Pada saat permulaan dalam lingkup yang sempit, barang siapa menguasai medan strategis maka dialah yang dapat menguasai suatu wilayah. Dalam tahap yang selanjutnya dalam skala luas, barang siapa menguasai daerah Eropa dan Balkan dialah yang dapat menguasai dunia, inilah yang sampai sekarang menyebabkan orang selalu menaruh perhatian besar terhadap apa yang terjadi di daerah itu. Dengan kemajuan teknologi kelautan maka barang siapa menguasai lautan dialah yang menguasai dunia. Hal ini dibuktikan oleh Inggris dengan armada Angkatan Lautnya yang kuat dengan negara persemakmurannya. Teknologi kedirgantaraan berkembang, maka barang siapa menguasai udara dialah yang menguasai dunia. Ini terbukti dengan perlombaan yang seru diantara negara adi daya untuk memajukan Angkatan Udaranya, sehingga doktrin perangnya pun menjadi berbeda yaitu dengan mengedepankan serangan udara strategis. Teknologi kedirgantaraan berkembang semakin pesat, maka barang siapa menguasai udara dengan ketinggian 50.000 mil atau lebih maka dialah yang akan menguasai dunia, terlebih lagi bila dapat menguasai lunar libration points atau yang lebih dikenal dengan L4 dan L5 yang merupakan tempat-tempat dimana gaya gravitasi bulan dan bumi sama besarnya. Inilah yang mendorong Amerika untuk memperkenalkan konsep Perang Bintang pada jaman presiden Ronald Reagan. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat maka barang siapa menguasai informasi dialah yang menguasai dunia. Inilah yang mendorong negara adi daya untuk berlomba-lomba memasuki medan peperangan yang baru yaitu perang informasi terutama dengan memanfaatkan media masa dan jaringan informasi global. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejatuhan pemerintahan seperti Haiti, Uni Soviet, dan barangkali Indonesia, yang tidak terlepas dari perang informasi global tersebut.

Peran TNI.

Dalam versi militer tujuan perang termasuk perang informasi adalah membuat lawan menyerah. Lawan terpaksa menyerah apabila lawan sudah tidak lagi mempunyai kendali, mengalami demoralisasi, tidak punya daya juang lagi, atau meyakini dengan menyerah akan dapat kemenangan di lain waktu. Dengan demikian yang harus dilakukan adalah membuat lawan dalam salah satu dari kondisi-kondisi tersebut.

Dengan asumsi bahwa tidak akan ada perang / serangan secara fisik ke Indonesia, maka medan perang yang akan dihadapi oleh TNI adalah perang informasi yang tidak hanya mencakup wilayah di dalam negeri tetapi juga harus berhadapan dengan berbagai pihak di luar negeri. Di dalam negeri, dalam konteks ini TNI tidak menganggap bahwa komponen-komponen yang ada dalam masyarakat kita sebagai musuh yang harus ditaklukkan sehingga menyerah, tetapi di dalam masyarakat pasti ada unsur-unsur yang selalu mempunyai maksud yang bertentangan dengan cita-cita luhur masyarakat Indonesia. Sedangkan di luar negeri kita berhadapan dengan fihak-pihak yang sangat ahli dan sangat kuat dalam bidang perang informasi ini. TNI sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia, mau tidak mau harus melibatkan diri secara aktif dalam kancah perang informasi ini. Terlebih lagi setelah terbukti adanya upaya-upaya dari kelompok masyarakat untuk melakukan disorganisasi secara sistematis dengan memanfaatkan konsep perang informasi, seperti yang diisyaratkan oleh Jenderal Wiranto pada peringatan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1999.

Untuk menghadapi perang informasi global, TNI harus masuk lebih serius dalam jaringan informasi global yaitu internet. Dengan demikian ini merupakan tantangan bagi TNI untuk siap menguasai teknologi internet dengan segala resikonya, seperti pengalaman pada suatu waktu jaringan ABRI-net dan Departemen luar negeri dijebol oleh para hacker dan disisipi informasi yang sesuai dengan selera pihak-pihak yang berada di belakang para hacker.

Suatu prinsip dalam perang informasi adalah walaupun kita mempunyai banyak informasi tetapi tidak praktis memenangkan perang. Hal ini disebabkan karena informasi yang benar dan strategis tidak pernah usang, sehingga walaupun ini dianggap kecil tetapi akan memberikan efek yang menghancurkan. Dengan demikian yang sebaiknya dilakukan TNI adalah menyajikan informasi yang benar dan strategis secara jujur, ilmiah, dan terbuka. Perang informasi klasik seperti yang dilakukan oleh militer sebagai bagian dari taktiknya, membenarkan penipuan data dan informasi sebagai upaya penyesatan, sedangkan dunia internet yang telah dimasuki TNI adalah bagian dari dunia akademik yang mengutamakan kejujuran ilmiah tidak membenarkan hal tersebut. Dalam konteks ini, maka bila perlu data dan informasi yang berkaitan dengan kebijakan TNI / kemiliteran bisa disampaikan sesuai dengan batas-batas klasifikasi yang dapat diterima, sehingga masyarakat akan dapat mengerti dengan jelas apa yang menjadi kebijakan TNI. Pemberian informasi tentang apa yang terjadi dalam tubuh TNI, walaupun secara terbatas adalah bagian dari pertanggung-jawaban moral TNI kepada rakyatnya.

Dengan berlandaskan pada pola pikir dunia akademik, TNI bisa menyediakan kontra informasi yang tegas, faktual, dan sekaligus memenuhi rasa haus akan informasi para pembacanya. Termasuk dalam hal ini TNI siap mengakui jika melakukan kesalahan yang telah diperbuat, tentunya harus disertai dengan pertimbangan yang sangat cermat. Bila TNI dapat menyajikan informasi berdasarkan pada prinsip tersebut maka akan membawa implikasi yang lebih baik bagi masa depan jaringan informasi tentang Indonesia, yang pada gilirannya akan memperkokoh ketahanan nasional bangsa Indonesia. Dari kacamata militer, memang informasi yang dicari-cari pembaca yang kritis umumnya dikategorikan konfidensial. Sebagai contoh, mengenai mutasi para perwira tinggi. Para pembaca jurnal di internet sudah bisa membaca informasi mutasi, terutama perwira tingginya, lengkap dengan latar belakangnya, dalam waktu relatif singkat. Informasi semacam ini justru tidak bisa kita dapatkan dari home page TNI, sehingga jangan kaget kalau pembaca akan lebih percaya kepada sumber informasi yang lain yang dianggap memenuhi rasa ingin tahu pembaca, walaupun kebenaran informasinya juga tidak selalu benar. Sumber informasi inilah yang secara dominan membentuk opini publik. Sebagai perbandingan, dalam home page US Army, kita bisa dengan terbuka mengetahui siapa saja perwira yang akan naik pangkat dalam tahun fiskal yang akan datang, juga tentang pendidikan para perwiranya. Informasi semacam ini di tubuh TNI merupakan rahasia bahkan untuk para anggotanya sekalipun. Dengan transparansi semacam ini maka para pembaca akan betul-betul memperoleh informasi yang tepat dari fihak yang tepat.

Dengan demikian bila TNI tidak merubah kriteria dan kategori informasinya di homepagenya maka akan ditinggalkan para pembacanya. Barangkali homepage TNI cukup banyak pengunjungnya, tetapi jumlah pengunjung sebuah homepage bukan merupakan indikator intensitas kunjungan mereka. Pembaca kritis tetap akan lebih memilih homepage seperti Apakabar, dan homepage lainnya yang menyediakan informasi yang lebih baik atau bahkan memilih Newsgroup dan jalur-jalur E-mail yang lebih interaktif. Seperti diketahui para netters (istilah untuk pengguna internet) kebanyakan bukanlah orang awam, sehingga walaupun ini merupakan bagian kecil masyarakat tetapi pengaruhnya sangat besar dalam membentuk opini publik, sehingga untuk media ini haruslah digarap dengan lebih serius dan profesional.

Untuk keberhasilannya sudah saatnya TNI bersikap lebih profesional dalam bidang pembinaan personel, yaitu penempatan personel yang lebih ditekankan pada keahlian dari pada tingkat jabatan atau pangkat. Disamping itu TNI harus kembali pada citranya yaitu sebagai prajurit profesional dan bhayangkari negara yang lahir dari rakyat dan berjuang untuk rakyat dengan selalu membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan sesuai yang diamanatkan dalam Sapta Marga. Dan yang lebih penting lagi adalah dapat memimpin dengan menjadi contoh dan tidak sekedar memberi contoh, sehingga akan terwujud satunya kata dengan perbuatan. Upaya-upaya ini bersama dengan keseriusan terlibat dalam perang informasi akan dapat memulihkan citra TNI yang saat ini sedang terpuruk. Semoga TNI segera berbenah diri untuk mengawal Republik Indonesia yang demokratis.

BUDIMAN S.P.

Analis Sistem Informasi

Alumnus University of Western Sydney, Australia

Baca selengkapnya . . .

02 Februari 2014

Menulis Itu Gampang

Oleh: Irwan Abdullah
Irwan Abdullah



PENDAHULUAN.
Sebuah tulisan yang hadir dalam satu jurnal atau buku dan dibaca berbagai kalangan jarang sekali dilihat sebagai suatu hasil dari proses panjang, sejak pemilihan topik, mencari dukungan data, memaksa diri untuk menuliskannya, hingga menjamin suatu tulisan menjadi menarik. Tidak jarang untuk menyelesaikan tulisan itu seseorang harus pergi ke perpustakaan, atau ke suatu lokasi untuk mengumpulkan data, ke suatu instansi, dan bahkan mendiskusikan dengan orang-orang lain. Pendek kata, suatu tulisan selalu melibatkan banyak pikiran, waktu, dan pengorbanan dalam berbagai bentuk. Sebuah tulisan indah dan menarik serta bermutu hampir selalu dihasilkan oleh suatu proses yang membutuhkan komitmen, perjuangan, kesungguhan, dan kesabaran. Ketika ia hadir di tangan pembaca, tulisan itu telah menjadi milik publik yang otoritas penilaian sudah berpindah tempat, kekuatan dan kelemahannya mulai dinilai oleh orang lain yang seterusnya menentukan perjalanan hidup sebuah tulisan itu.
Ketika suatu tulisan terbit dalam berbagai bentuk (jurnal atau bab dalam suatu buku), tulisan itu bisa cepat atau lambat dilupakan, tulisan itu bisa diacu oleh banyak orang, atau ia bisa mempengaruhi lahirnya tulisan-tulisan lain dari orang lain yang membacanya, bahkan dapat mempengaruhi suatu kebijakan. Suatu tulisan dapat saja memprovokasi lahirnya protes kaum muda (seperti tulisan Marxist atau kelompok kiri) atau melahirkan kemarahan ummat (tulisan Salman Rusdhi, Ayat-ayat Setan), dan berbagai kemungkinan lain yang sangat perlu disadari kemungkinan dan potensi yang dimiliki oleh suatu tulisan. Dengan demikian, suatu tulisan dapat dititipi nilai atau kepentingan moral-kultural atau politik-struktural didalamnya, tergantung siapa penulisnya dan terkait dengan situasi kultural dan struktur yang memayungi atau ”menekan” sang penulis. 
Sebuah tulisan yang baik dapat lahir atas sejumlah persyaratan yang kemudian menentukan daya pengaruh dari tulisan itu. Pemilihan isu didalam menulis sangat penting karena tingkat aktualitas/kebaruan dari suatu isu yang dipilih memperlihatkan betapa pentingnya membaca suatu tulisan dan akan memberikan, paling tidak, suatu informasi baru. Kalau pun isu baru tidak ditemukan, masih ada peluang untuk melakukan perumusan ulang terhadap isu lama yang sudah jenuh dibicarakan. Isu terkait ”ulama”, misalnya, telah menjadi isu yang usang dan sudah banyak sekali ditulis, namun suatu formulasi baru yang kreatif dalam melihat ulama dapat menjadi topik yang menarik untuk ditulis kembali. Sebagai contoh, ulama dalam kaitannya dengan media (bagaimana ulama menggunakan teknologi dan media dalam dakwah) atau ulama dalam kaitannya dengan pemilu (bagaimana legitimasi ulama dalam pilihan partai), atau ulama dalam hubungannya dengan bencana (bagaimana ulama memberi peran penting di dalam trauma healing). Tentu saja banyak isu lain yang dapat dikembangkan secara kreatif dan inovatif yang menunjukkan sifat aktual dan kontekstual dari suatu tulisan. 
Menarik tidaknya suatu tulisan juga ditentukan oleh kemampuan bahasa dan gaya penulisan yang memperlihatkan ciri khas dari suatu tulisan. Tulisan yang ditulis oleh seseorang seyogyanya memiliki karakter yang khusus yang membedakan tulisannya dengan tulisan orang lain. Pola dan karakter semacam ini harus dibangun, baik melalui pilihan kata, susunan kalimat, maupun gaya pengungkapan. Selain hubungan antar kalimat menjadi penting dalam suatu tulisan, juga teknik-teknik mengungkapkan sesuatu dengan cara tertentu perlu dipelajari. Daripada menulis ”... perubahan sosial adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari”, lebih menarik mengatakan ”... perubahan sosial adalah suatu yang niscaya...” atau ”... hanya perubahan yang bersifat kekal....” Tentu saja tingkat kelengkapan dari unsur-unsur atau aspek-aspek pembahasan akan sangat menentukan kekuatan dari suatu tulisan, sebagaimana halnya analisis yang tajam yang menyebabkan suatu tulisan enak dibaca dan mencerdaskan.
Makalah ini merupakan panduan teknis selain untuk memberikan pemahaman tentang seluk beluk menulis karya ilmiah, juga memberikan petunjuk praktis untuk meningkatkan skill (keahlian) teknis di dalam menulis karya ilmiah sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan dan standar yang berlaku. Tulisan ini dititik-beratkan pada tiga kompetensi pokok: pemahaman strategi penulisan, keahlian didalam menyusun tulisan, dan kemampuan didalam meningkatkan kualitas atau standar tulisan. Ketiga pokok pembicaraan itu akan diuraikan satu persatu pada bagian berikut ini.

STRATEGI JITU DALAM MENULIS
Pertanyaan yang perlu diajukan dalam proses penulisan adalah: bagaimana suatu tulisan yang berkualitas dapat dihasilkan, apa ukuran pokoknya, dan bagaimana melakukannya secara tekniks. Seringkali kita tahu suatu tulisan berkualitas atau tidak, tetapi untuk mewujudkan tulisan yang berkualitas itu tidak mudah. Menurut hemat saya, tulisan paling tidak memenuhi syarat atau standar yang saya sebut sebagai JITU (Jelas, Intensif, Tepat, dan Unik). Empat hal ini menjadi ukuran penting tentang suatu tulisan yang baik, baik dalam pengertian substansi maupun sistematika berpikir di dalam menulis. Ukuran-ukuran lain tentu saja dapat digunakan, namun keempat hal inilah yang selama ini telah saya gunakan dan ikuti di dalam praktik menulis yang memberikan banyak kemudahan dalam proses kreatif dan apresiasi yang menggembirakan. Setiap penulis sesungguhnya dapat mengembangkan caranya sendiri-sendiri untuk memungkinnya menghasilkan sesuatu secara produktif dan berkualitas. Keempat indikator tersebut membentuk suatu strategi dalam penulisan karya ilmiah yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut. 
Jelas.
Suatu tulisan haruslah memiliki fokus yang jelas karena suatu tulisan merupakan respons terhadap suatu isu khusus sehingga arah dari tulisan itu semestinya cukup jelas bagi si pembaca. Pada saat seseorang menulis perubahan sosial, misalnya, maka suatu tulisan tentang perubahan sosial haruslah menegaskan fokus yang akan ditulis: apakah menyangkut perubahan dalam hubungan sosial, atau pengelompokan sosial, atau struktur sosial. Istilah perubahan sosial sama sekali tidak jelas menegaskan apa yang sesungguhnya yang mau dibahas dalam suatu tulisan. Perubahan sosial dapat justru dibicarakan dalam judul ”perubahan solidaritas antar orang atau kelompok”. Ketidak-jelasan itu bermula dari judul, rumusan masalah, hingga uraian unsur-unsur yang dipilih dalam suatu tulisan. Kejelasan suatu tulisan dapat pula dilihat pada sistematika tulisan yang urut yang menunjukkan kejelasan arah. Hal ini terefleksi pada rumusan masalah atau isu yang dibicarakan dalam suatu tulisan. Pada saat kita berbicara tentang konflik, tentulah topik itu sangat luas karena tidak jelas arahnya. Namun demikian, kalau konflik itu dilihat dari ”faktor pendorong/penyebab konflik” atau ”dampak dari adanya konflik”, tentu akan menjadi jauh lebih jelas apa yang akan ditulis dalam suatu tulisan. Urutan logika yang jelas dalan suatu tulisan tehtu saja perlu dilengkapi dengan atau tampak dari kalimat-kalimat yang digunakan yang mudah dipahami.

Intensif.
Pada saat suatu tulisan dibaca tidak jarang muncul kesan bahwa tulisan itu ditulis dalam satu malam karena alur berpikir yang sangat runtut dan tidak terputus hubungan antara gagasan satu dengan gagasan lain. Dari halaman pertama hingga terakhir tulisan tersebut tidak menimbulkan kebosanan atau kesulitan untuk dibaca karena ditulis secara intensif. Tingkat intensitas dari suatu tulisan memang ditentukan oleh kemampuan konsentrasi sang penulis yang mampu membangun tulisan secara utuh dari depan hingga belakang secara utuh. Keterpaduan menjadi syarat bagi menariknya suatu tulisan, dalam pengertian bahwa hubungan setiap unsur harus dipelihara dan ditegaskan dalam berbagai kesempatan dan media. Kualitas semacam ini juga dapat dicapai dengan menjamin suatu konsistensi dalam gaya bahasa yang sangat menentukan kelayakan suatu tulisan untuk dikutip sang pembaca. Kekuatan suatu tulisan memang terletak pada tingkat keutuhan dari bagian pendahuluan, seting, bagian-bagian isi atau analisis, hingga penutup atau kesimpulan. Konsentrasi sang penulis selain tampak dari ketepatan komposisi dan hubungan satu bagian dengan yang lain, juga tampak dari tingkat kedisiplinan menjaga hubungan-hubungan antar-bagian dan antar-alinea dalam suatu tulisan. Satu tulisan memberi kesan utuh dan jalin menjalin antara satu aspek pembicaraan dengan aspek pembicaraan yang lain atau satu unsur dengan unsur lain dalam suatu bahasan. 

Tepat.
Ketepatan dalam suatu tulisan terkait dengan bagaimana suatu tulisan disusun atas dasar bahan yang tepat, baik menyangkut referensi yang digunakan dalam menentukan lahirnya suatu tulisan, maupun dalam pengertian kelompok bahasan dan tempat yang dijadikan landasan suatu tulisan. Bahan pustaka yang diterbitkan pada tahun 1980-an tentu menjadi tidak tepat jika sudah ada bahan pustaka yang terbit tahun 2000-an. Bahan-bahan yang sudah out of date itu tentu saja dapat digunakan jika sifatnya yang tua tersebut sebagai objek dari penjelasan. Misalnya, suatu tulisan memang bertujuan untuk menganalisis konstruksi pemikiran tentang agama dan konflik sejak tahun 1950-an. Suatu pustaka juga membawa implikasi aliran yang perlu diperhatikan dalam mengutip dan menggunakannya sebagai rujukan, apakah pustaka tersebut betul-betul relevan. Demikian halnya dengan tempat, ketepatan dalam memilih tempat yang menjadi acuan tulisan sangat dibutuhkan. Apakah studi agama tepat kita bicarakan di Bali atau di Sumatera Barat; untuk studi konflik agama dibicarakan tentang Poso atau Aceh; untuk studi migrasi internasional Pontianak atau Banjarmasin yang dijadikan kasus; demikian pula pada tingkat kabupaten, kecamatan, atau desa dan dusun. Pertanyaan yang lebih rinci adalah: jika membahas masalah relijiusitas, apa tepat suatu perumahan dijadikan kasus acuan atau di suatu perkampungan orang Arab? Banyak pertimbangan dan alasan yang perlu dikomunikasikan untuk menjamin bahwa suatu tulisan memang didasarkan pada pilihan-pilihan yang tepat. Meneliti kemiskinan tentu harus di tempat di mana kemiskinan itu betul-betul terjadi dan pada kelompok yang memang mengalami kemiskinan tersebut. Ketepatan juga perlu dibangun pada setiap pilihan kata dan kalimat yang digunakan karena pengertian yang ingin dibangun melalui suatu tulisan harus dikendalikan sedemikian rumah. Apakah, misalnya, perlu menulis ”banyak anggota masyarakat setempat menghadiri acara pengajian” atau ”kaum perempuan setempat menghadiri acara pengajian”. Anggota masyarakat yang dimaksud ternyata kaum perempuan karena itu memang pengajian untuk kaum perempuan. Analisis dalam suatu tulisan juga harus dilakukan dengan tepat, yakni harus didasarkan pada data yang dikumpulkan dengan metode yang tepat dan analisis dapat dilakukan dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh data. 

Unik.
Suatu tulisan sesungguhnya memperlihatkan kepribadian dari sang penulisnya karena suatu tulisan memang disusun untuk memperlihatkan suatu kecerdasan dalam mengkaji dan mengkomunikasikan sesuatu pada pembaca. Untuk mencapai karakter semacam ini, suatu tulisan harus memperlihatkan suatu keunikan karena itu pula menyebabkan suatu tulisan menjadi perlu dibaca. Harus terpikir dalam benak bahwa isu atau topik yang dipilih belum banyak diperhatikan orang lain atau, paling tidak, berbeda dalam hal fokus dan analisis. Sebaliknya, pastikan bahwa kita tidak sedang menulis suatu isu atau masalah yang telah atau sedang ditulis oleh puluhan orang lain. Menulis tentang peranan ulama pastilah bukan pilihan yang tepat dalam arti keunikan ini, tetapi bagaimana kiprah ulama dalam dunia pengobatan dapat menjadi topik penting. Seringkali dibutuhkan kreativitas didalam memilih isu atau topik untuk dibahas, yakni dengan membahas topik yang sama dengan perspektif yang berbeda, pada kelompok yang berbeda, atau pada masa yang berbeda (kontekstual). Keunikan suatu tulisan memang dapat dibangun dengan sadar dalam berbagai bentuk, seperti menggunakan pilihan kata yang sangat berbeda dengan penulis lain. Kata-kata ”niscaya”, ”piawai”, ”dahsyat”, ”pertikaian”, ”murka”, dll, dapat menjadi karakter dari suatu tulisan. Keunikan suatu tulisan juga menjadi kunci dalam keterlibatan seseorang dalam berbagai dunia akademik dan publikasi. 
Strategi JITU tersebut merupakan panduan untuk menjamin bahwa sang penulis paling tidak telah memperhatikan beberapa indikator untuk melahirkan sebuah karya ilmiah. Tanpa panduan semacam itu seringkali membuat kita menulis secara meraba-raba tanpa mengetahui apa saja yang penting diperhatikan dan bahkan dihindari dalam menulis. Seorang penulis umumnya mempelajari bagaimana menulis dari tulisan orang lain yang dengan cara itu juga tidak diketahui secara persis kiat tulisan itu dihasilkan. Untuk menerapkan strategi JITU tersebut, perlu dimulai dengan kemampuan mendefinisikan struktur tulisan secara sistematis. Struktur tulisan yang terumuskan dengan baik akan memperlihatkan alur berpikir yang sistematis dan mudah dibaca serta dipahami.

STRUKTUR TULISAN ILMIAH 
Sebuah tulisan selalu terdiri dari empat bagian yang saling kait: Pendahuluan, Seting/Gambaran Umum, Analisis, dan Kesimpulan. Pada bagian pendahuluan dibicarakan alasan-alasan mengapa suatu isu atau topik menarik untuk ditulis, rumusan masalah atau fokus tulisan, dan bagaimana isu tersebut akan dikaji serta sistematika penulisan. Bagian Pendahuluan ini harus disusun secara menarik karena ia merupakan kunci dari arah suatu tulisan yang dapat menentukan pembaca akan meneruskan membaca tulisan itu atau tidak. Walaupun demikian, bagian Pendahuluan ini tidak boleh ditulis panjang lebar sebaliknya dipaparkan secara padat dan membantu pembaca memposisikan diri di mana. Bagian seting atau gambaran umum seringkali terdiri lebih dari satu bab sehingga bab tulisan menjadi lebih banyak. Seting yang pertama adalah lokasi dan yang kedua adalah institusi yang dikaji atau bahkan kelompok yang dibahas atau suatu program yang perlu dipaparkan. Dalam penelitian tentang Implementasi Program Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Kubu Raya, misalnya, seting yang harus dibicarakan menyangkut: (1) Kubu Raya sebagai tempat; dan (2) Program Pengentasan Kemiskinan. Kedua bagian tersebut merupakan latar belakang untuk membahas isi pokok yang menyangkut isu implementasi program. Namun demikian, suatu tulisan dapat saja hanya terdiri dari satu seting, entah itu hanya Seting Wilayah atau hanya Seting Isu/Persoalan. Studi tentang teks atau kitab tentu saja tidak membutuhkan uraian tentang wilayah. Bagian seting kemudian hanya terdiri dari satu bab yang mendeskripsikan teks tersebut secara umum untuk memberikan dasar bagi isi dan analisis.

Tabel 1: Sistematika Menurut Urutan Bagian Tulisan
NO.
BAGIAN
SISTEMATIKA TULISAN
I
PENDAHULUAN
1. Pendahuluan
II
SETING/GAMBARAN UMUM
2. Seting Daerah/Wilayah 3.Seting Isu/Persoalan/Program
III
ISI/ANALISIS
4. Analisis 1: Faktor Sosial     5. Analisis 2: Faktor Ekonomi  6. Analisis 3: Faktor Budaya
IV
KESIMPULAN
7. Kesimpulan

Bagian isi atau analisis suatu tulisan secara ideal dibagi kedalam tiga bagian sesuai dengan rumusan masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang telah dibicarakan pada bagian pendahuluan. Karena bagian tiga merupakan bagian analisis maka pada bagian ini dijawab pertanyaan secara seksama. Jika pertanyaan tersebut menyangkut faktor maka bagian pertama dalam isi pokok tulisan ini dapat berupa Analisis Faktor Sosial, bagian kedua Analisis Faktor Ekonomi, dan bagian ketiga Analisis Faktor Budaya (lihat Tabel 1). Analisis faktor ini juga dapat berupa faktor agama atau budaya, tergantung pada relevansinya atas kajian yang sedang dilakukan.
Bagian Analisis dapat juga berupa analisis proses atau analisis dampak. Jika analisis proses yang ingin digunakan dalam suatu tulisan maka penjabaran bab atau bagian tulisan menjadi tahapan-tahapan dari proses tersebut, yakni berupa tahapan 1, tahapan 2, dan tahapan 3 atau dalam studi kebijakan akan berarti: tahap formulasi, tahap implementasi, dan tahap evaluasi (tabel 2). Demikian pula halnya dengan analisis dampak yang dapat disusun kemudian menjadi dampak individu, dampak keluarga, dan dampak pada komunitas. Analisis tentu saja dapat dibagi secara sistematis dengan berbagai cara, apakah itu pembagian tegas, tataran/tingkatan dari yang terbatas ke luas atau yang rendah ke tinggi, dan dapat pula berbagai kategori yang lain yang dianggap logis dan relevan. Berikut ini contoh tiga model analisis yang menentukan isi dari suatu tulisan yang masing-masing digunakan untuk tujuan yang berbeda sesuai dengan arah penelitian dan kebutuhan pemecahan masalah.

Tabel 2. Pilihan Pola Analisis dalam Isi Tulisan
ANALISIS FAKTOR
ANALISIS PROSES
ANALISIS DAMPAK
1. Pendahuluan
1. Pendahuluan
1. Pendahuluan
2. Seting Daerah/ Wilayah
3. Seting Persoalan/ Program
2. Seting Daerah/ Wilayah
 3. Seting Persoalan/ Program
2. Seting Daerah/ Wilayah 
3. Seting Persoalan/ Program
4. Analisis 1: Faktor Sosial                 
5. Analisis 2: Faktor Ekonomi               
6. Analisis 3: Faktor Budaya
4. Analisis 1: Formulasi 
5. Analisis 2: Implementasi         
6. Analisis 3: Evaluasi
4. Analisis 1: Individu
5. Analisis 2: Keluarga
6. Analisis 3: Komunitas
7. Kesimpulan
7. Kesimpulan
7. Kesimpulan

Bagian terakhir dari suatu tulisan tentu saja bagian kesimpulan yang seringkali disebut sebagai penutup. Bagian ini berisi pernyataan tentang hal-hal yang paling penting yang dapat dikomunikasikan terkait dengan pembahasan yang dilakukan. Suatu kesimpulan harus berupa suatu kecerdasan yang hanya dapat diperoleh ketika sesuatu itu dikaji atau ditulis melalui suatu perenungan. Dengan kata lain, suatu kesimpulan tidak dapat ditulis jika kajian atau evaluasi atau diskusi tentang isu tertentu tidak dilakukan. Untuk sampai ke arah itu, permasalahan atau pertanyaan yang diajukan pada bagian awal tulisan diharapkan dapat dijawab pada bagian kesimpulan. Seringkali bagian kesimpulan ini digunakan sebagai kesempatan untuk memposisikan tulisan atau kajian dalam hubungannya dengan kajian-kajian yang ada dalam bidang yang sama.
Untuk menulis suatu artikel dari bagian pendahuluan hingga bagian kesimpulan/penutup tersebut dibutuhkan kemampuan teknis dan strategi yang tepat. Pertama, perlu diputuskan berapa halaman tulisan perlu ditulis. Untuk kepentingan artikel ilmiah kita bisa mulai dengan menulis 10-12 halaman 1 spasi. Untuk itu kita dapat membagi masing-masing bagian sebagaimana tampak pada tabel 3 berikut. Untuk memulai menulis, perlu disadari bahwa setiap halaman 1 spasi berisi 3 alinea dengan asumsi per alinea terdiri dari 12-15 baris. Tabel 3 menjelaskan pilihan komposisi halaman dalam setiap bagian tulisan sebagai acuan untuk menghasilkan karya ilmiah yang memenuhi standar.

Tabel 3: Jumlah Halaman Perbagian Tulisan
No.
BAGIAN
SISTEMATIKA PENULISAN
HAL
I
PENDAHULUAN
1. Pendahuluan
1-1,5
II
GAMBARAN UMUM
2. Seting Daerah/Wilayah
3. Seting Isu/Persoalan/Program
1,5
1,5
III
ISI / ANALISIS
4. Analisis 1: Faktor Sosial
5. Analisis 2: Faktor Ekonomi
6. Analisis 3: Faktor Budaya
2-3
2-3
2-3
IV
KESIMPULAN
7. Kesimpulan


Untuk menulis bagian 4 dari tabel 3, yang mengakut Faktor Sosial, selanjutnya dapat dijabarkan secara umum kedalam tiga aspek: Hubungan Sosial, Pengelompokkan Sosial, dan Struktur Sosial. Ketiga aspek itu yang masing-masing ditulis sebanyak satu halaman kemudian dibagi kedalam unsur-unsur yang masing-masing unsur dapat ditulis satu alinea (dengan asumsi satu halaman berisi tiga alinea). Penjabarannya sebagai berikut.
Hubungan sosial (ditulis 1 halaman)
– Pola hubungan sosial (1 alenia)
– Faktor pembentukan (1 alenia)
– Fungsi dan dampak hubungan sosial (1 alenia)

Pengelompokan sosial (ditulis 1 halaman)
– Pola pengelompokkan (1 alenia)
– Faktor pengelompokkan (1 alenia)
– Fungsi dan dampak pengelompokkan (1 alenia)
 
Struktur sosial (ditulis 1 halaman)
– Pola stratifikasi/struktur (1 alenia)
– Faktor pmbentukan struktur (1 alenia)
– Fungsi struktur dalam komunitas (1 alenia) 

Ketiga aspek tersebut akan mengisi satu bagian (Hubungan Sosial) dari tujuh bagian tulisan dengan total tiga halaman. Jika bagian-bagian yang ditulis dengan cara yang sama maka dengan sendirinya tulisan akan terdiri dari kurang lebih 12 halaman satu spasi yang sudah memenuhi standar untuk sebuah artikel jurnal. Tentu saja alinea-alinea yang ditulis dapat mengikuti tiga tipe alinea, yakni alinea deskriptif, alinea deduktif, dan alinea induktif sesuai dengan kebutuhan dan karakter dari sang penulis.

PENTINGNYA ANALISIS DAN KETAJAMAN
Ketika secara teknis suatu tulisan sudah memenuhi syarat, maka kualitas substansi dari suatu tulisan akan dipertanyakan. Kualitas suatu tulisan sangat ditentukan oleh kemampuan memindahkan kumpulan data atau informasi yang bersifat deskriptif menjadi suatu pembahasan analitis yang mengandung penjelasan dan pemahaman yang komprehensif, kontekstual, dan mendalam. Peralihan tulisan dari deskriptif menjadi analitis membutuhkan serangkaian tahapan. Paling tidak lima tahap dapat membantu memberi jalan untuk mencapai suatu tingkat analitis yang lebih baik dari suatu tulisan. Pertama, deskriptif, yang tampak dari ciri tulisan terdiri dari paparan sifat-sifat atau unsur dari suatu gejala yang sedang dibicarakan. Kecenderungan ini dalam tulisan tampak dari adanya tabel atau data statistik atau kutipan hasil wawancara yang dihadirkan dengan berbagai cara dalam suatu tulisan. Teknik deskripsi ini dibutuhkan untuk hal-hal yang bersifat informatif agar si pembaca dapat mengetahui wujud dari sesuatu yang sedang dibicarakan. Kedua, eksplanatif yang berisi penjelasan atas data atau suatu deskripsi. Suatu tulisan akan lebih berkualitas jika tidak hanya memaparkan, tetapi juga mampu menjelaskan ”mengapa” sesuatu itu terjadi atau berlangsung seperti yang dipaparkan. Deskripsi tentang prosentase pemilih Partai Demokrat dalam Pemilu 2009 yang berisi angka-angka berbagai kategori harus segera diikuti oleh suatu penjelasan atas pertanyaan ”mengapa” Partai Demokrat berhasil memenangkan Pemilu? Ketiga, diskursif yang merupakan tataran yang lebih tinggi yang tampak dari kecenderungan tulisan memasukkan berbagai data lain dari berbagai sumber sebagai perbandingan dalam memahami apa yang sedang dibicarakan. Diskursif ini tampak dari kutipan teori atau literatur lain yang dihubungankan dengan tulisan kita agar memperlihatkan usaha kontekstualisasi tulisan kedalam suatu perdebatan yang sedang terjadi. Jika kita berbicara tentang hubungan agama dengan perubahan sosial ekonomi, maka tulisan tidak bisa menghindarkan dirinya untuk tidak mengutip Max Weber. Pada saat kita menulis perlu mengambil sikap bahwa tulisan kita sesungguhnya merupakan bagian dari satu debat yang sedang terjadi diberbagai tempat oleh berbagai orang. Keempat, interpretif yang memperlihatkan bahwa suatu tulisan sudah mampu membangun pemahaman atas sesuatu melalui pengertian dan makna suatu gejala yang dibicarakan. Interpretasi ini dapat dilakukan melalui kontekstualisasi ruang dan waktu yang memperlihatkan relevansi atas apa yang sedang ditulis. Kelima, implikatif yang berisi analisis akibat dari adanya sesuatu yang sedang ditulis, baik itu bersifat teoretis-konseptual maupun praktis-teknis yang kemudian melahirkan pemahaman dan kebijakan baru terkait dengan isu yang sedang ditulis. 
Ketika kelima tataran analisis ini dapat dipraktikkan dalam menulis, maka ketajaman sebuah tulisan akan muncul. Sebuah tulisan akan memberikan dampak yang lebih besar karena disatu sisi tulisan memberikan keluasan wawasan dengan kemampuan penulis memasukkan berbagai unsur yang kompleks dalam setiap narasi, dilain sisi tulisan memiliki ketajaman didalam analisis dengan kemampuannya membahas suatu isu dengan menggunakan berbagai perspektif. Suatu isu paling tidak dapat dilihat pada lima dimensi yang berbeda yang akan memberikan kekuatan suatu tulisan. Pertama, setiap isu atau pokok bahasan dapat dibahas melalui definisi atau pengertian yang terkandung didalamnya. Definisi atau pengertian tidak selalu berarti definisi formal suatu konsep, tetapi dapat juga berupa definisi operasional atau pemahaman secara umum tentang sesuatu yang sedang dibicarakan. Pada saat kita membicarakan relijiusitas, tentu saja selain definisi formal tekstual dapat pula dikemukakan pemahaman umum tentang relijiusitas yang menunjuk pada komitmen ibadah seseorang atau sekelompok orang. Kedua, suatu pembicaraan dalam suatu tulisan perlu memaparkan bentuk atau format atau aspek-aspek dari apa yang kita sebut sebagai, misalnya, relijiusitas tersebut: apakah yang dimaksudkan dengan relijiusitas itu menyangkut dimensi/bentuk ideal/gagasan seperti tingkat penguasaan atau pemahaman agama, aspek/dimensi nilai atau sikap yang memperlihatkan tingkat relijiusitas seseorang, atau aspek prilaku/tindakan yang menunjukkan komitmen waktu dan fisik dalam melakukan ritual. Format atau bentuk serta dimensi/aspek dari suatu yang dibicarakan dalam tulisan akan secara langsung memperlihatkan seberapa luas kemampuan seseorang dalam memahami suatu pokok bahasan. Aspek atau dimensi ini dapat diperluas sesuai dengan topik atau isu yang dibicarakan. Ketiga, relijiusitas, seperti juga fenomena yang lain, dapat dibahas dari sudut proses atau mekanisme operasionalnya yang menyangkut bagaimana relijiusitas itu berlangsung. Apakah itu melibatkan institusi agama, peraturan, atau tekanan-tekanan dalam masyarakat. Relijiusitas dapat juga terjadi akibat kontrol sosial dengan karakter yang berbeda pada seting sosial keagamaan dan politik yang berbeda. Pembicaraan tentang proses dapat juga berarti pemaparan berdasarkan tahapan-tahapan yang relevan. Proses atau mekanisme ini membentuk suatu perspektif dalam melihat suatu pokok bahasan sehingga akan menyumbangkan pada ketajaman sebuah tulisan. Bahasan tentang proses merupakan suatu pernyataan tentang bagaimana suatu gejala ditempatkan dalam konteks yang lebih dinamis yang memungkinkan pemahaman secara lebih komprehensif. Keempat, suatu pokok bahasan dapat dilihat atau dibicarakan dari faktor atau prakondisi kehadirannya atau keberadaannya. Faktor dapat menjadi dasar suatu pemahaman yang juga menyangkut sejarah lahirnya atau keberadaan sesuatu yang sedang dibicarakan dalam tulisan. Realitas sosial dapat diasumsikan sebagai suatu bentukan atas kekuatan-kekuatan yang berlaku yang perlu dibahas secara seksama dalam suatu tulisan. Pemahaman tentang faktor akan memungkinkan melihat suatu pokok pembicaraan dari perspektif yang berbeda yang memungkinkan munculnya pilihan-pilihan dalam analisis atau pemahaman suatu pokok bahasan. Kualitas tulisan akan tampak pada saat analisis faktor memberikan wawasan baru dibalik suatu deskripsi yang telah diberikan tentang suatu isu atau pokok bahasan. Kelima, suatu pokok isu dapat dibahas dari dampak atau implikasi keberadaan sesuatu yang menyangkut hasil dari adanya suatu gejala atau proses. Relijiusitas dapat dibicarakan dari dampaknya bagi tingkah laku individu atau bagi penataan sosial secara kolektif. Relijiusitas sebagai suatu praktik kolektif dapat bermakna atau berfungsi harmoni bagi kehidupan bermasyarakat yang dapat menjadi pokok bahasan yang menarik. Implikasi sesuatu juga dapat berarti implikasi teoretis atau konseptual yang muncul atas suatu gejala atau proses atau pokok bahasan dalam suatu konteks kajian. Pembicaraan tentang dampak akan memberikan kekuatan bagi tulisan karena memberikan dimensi yang lebih kompleks dan memperlihatkan ketajaman di dalam suatu analisis. Kelima pokok pikiran di atas merupakan kemungkinan yang terbuka untuk dimanfaatkan dalam proses menulis yang sangat menentukan kekuatan suatu tulisan. Menulis dengan sistematis dan dengan penjabaran logis berdasarkan kelima pokok pikiran tersebut akan memungkinkan suatu tulisan bergeser dari tulisan deskriptif menjadi suatu tulisan analitis yang secara akademik memiliki mutu yang jauh lebih tinggi.

PENUTUP
Menulis itu gampang jika secara teknis kita menguasai caranya, yakni dengan memiliki keahlian dalam menjalankan tahap demi tahap penulisan. Menemukan ide untuk menulis, memformulasikan suatu isu yang akan dijadikan fokus, pembuatan outline tulisan, mencari dukungan data atas isu yang akan ditulis, memilih gaya penulisan, hingga teknik menulis dan menghasilkan sebuah karya. Paling tidak, tiga hal pokok dapat disimpulkan dalam keseluruhan proses tersebut. Pertama, untuk menulis perlu terlebih dahulu dipahami dengan baik sasaran yang ingin dituju dan diacu dalam suatu tulisan. Apakah kita hendak berkomunikasi dengan pembaca kalangan berpendidikan yang cerdas dan kritis, atau kelompok masyarakat umum yang awam dalam bidang tertentu dan tulisan yang dihasilkan merupakan mandat untuk menjalankan misi mencerdaskan bangsa. Tulisan yang ditujukan untuk kalangan akademisi tentu saja berisi analisis tajam tentang isu tertentu yang kemudian melahirkan debat konseptual dan bahkan melahirkan teori baru dalam memahami suatu gejala. Ketika suatu tulisan ditujukan kepada pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, maka suatu tulisan diharapkan berorientasi pada pemecahan masalah. Hasil dari analisis dalam tulisan tersebut berupa wisdom (pandangan bijak) yang dapat diacu dalam pemecahan masalah secara praktis dan teknis. Suatu tulisan yang ditujukan kepada publik yang lebih luas tentu saja harus memiliki bobot informatif yang lebih dominan dalam rangka perluasan wawasan untuk mendorong lahirnya kesadaran baru tentang sesuatu yang ingin dikomunikasikan. Kedua, suatu tulisan sangat tergantung pada kekuatan gagasan yang dipilih dan dibangun. Apakah suatu tulisan didasarkan pada suatu kejadian, peristiwa atau fenomena yang sedang terjadi di dalam masyarakat yang kemudian ditulis untuk memberi jawaban atas pertanyaan tertentu. Suatu ide dapat juga muncul akibat suatu keprihatinan individual atau kolektif atas ancaman-ancaman moral atau agama yang sangat perlu pemecahan masalah demi suatu kepentingan yang lebih besar. Tidak jarang ide menulis datang dari pihak lain atau pesanan untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam upaya memenangkan suatu partai dapat saja seseorang diminta menulis isu tententu yang menyebabkan tulisan tersebut mengandung bias yang merugikan. Pemilihan tema/topik/isu menulis memang bisa datang dari diri sendiri akibat perenungan atau suatu pengamatan, namun dapat juga datang dari orang lain yang memberikan ide atau bahkan memberikan uang untuk suatu kajian dan tulisan tertentu. Tentu saja integritas sang penulis dipertanyakan dalam hubungannya dengan kemandirian seorang penulis dalam menghasilkan suatu karya ilmiah. Paling tidak, kualitas suatu tulisan sangat ditentukan oleh gagasan atau isu yang dijadikan acuan dalam menulis sebuah karya. Ketiga, menarik tidaknya suatu tulisan tidak dapat dipisahkan dari cara atau gaya pengungkapan tulisan itu sendiri. Yang membedakan satu penulis dengan penulis lain adalah gaya didalam menulis, baik itu dalam pengertian kemampuan menggunakan bahasa secara efektif maupun dalam cara membangun argumen atau logika berpikir yang berbeda dengan kebiasaan umum. Pada saat satu tulisan mengatakan bahwa ”konflik merupakan suatu yang niscaya, yang kehadirannya dibutuhkan untuk penataan sosial yang lebih baik...,” maka tulisan itu sudah mengundang pertanyaan dan keinginan-tahu pembaca. Gaya penulisan semacam ini akan menjadikan tulisan menarik dan khas. Banyak penulis yang memilik cara sendiri-sendiri dalam menggunakan berbagai teknik langsung atau idiom dalam mengungkapkan sesuatu dalam karyanya.
Dibalik semua itu, menulis sesungguhnya membutuhkan komitmen untuk duduk dan menulis. Tidak banyak orang memiliki waktu atau mampu menggunakan waktunya untuk betul-betul duduk dan menulis. Memilih waktu duduk dan menulis adalah satu cara untuk bisa melahirkan suatu tulisan. Penulis yang berhasil, sebagian besar, adalah orang yang mampu memaksa dirinya untuk duduk dipagi buta dan menulis satu-dua halaman setiap hari. Dan satu-dua halaman itulah yang menjadikannya seratus halaman dalam tiga bulan. 

Selamat mencoba . . . . !

Baca selengkapnya . . .