PENDAHULUAN.
Sebuah
tulisan yang hadir dalam satu jurnal atau buku dan dibaca berbagai kalangan
jarang sekali dilihat sebagai suatu hasil dari proses panjang, sejak pemilihan
topik, mencari dukungan data, memaksa diri untuk menuliskannya, hingga menjamin
suatu tulisan menjadi menarik. Tidak jarang untuk menyelesaikan tulisan itu
seseorang harus pergi ke perpustakaan, atau ke suatu lokasi untuk mengumpulkan
data, ke suatu instansi, dan bahkan mendiskusikan dengan orang-orang lain.
Pendek kata, suatu tulisan selalu melibatkan banyak pikiran, waktu, dan
pengorbanan dalam berbagai bentuk. Sebuah tulisan indah dan menarik serta
bermutu hampir selalu dihasilkan oleh suatu proses yang membutuhkan komitmen,
perjuangan, kesungguhan, dan kesabaran. Ketika ia hadir di tangan pembaca,
tulisan itu telah menjadi milik publik yang otoritas penilaian sudah berpindah
tempat, kekuatan dan kelemahannya mulai dinilai oleh orang lain yang seterusnya
menentukan perjalanan hidup sebuah tulisan itu.
Ketika suatu
tulisan terbit dalam berbagai bentuk (jurnal atau bab dalam suatu buku),
tulisan itu bisa cepat atau lambat dilupakan, tulisan itu bisa diacu oleh
banyak orang, atau ia bisa mempengaruhi lahirnya tulisan-tulisan lain dari
orang lain yang membacanya, bahkan dapat mempengaruhi suatu kebijakan. Suatu
tulisan dapat saja memprovokasi lahirnya protes kaum muda (seperti tulisan
Marxist atau kelompok kiri) atau melahirkan kemarahan ummat (tulisan Salman
Rusdhi, Ayat-ayat Setan), dan berbagai kemungkinan lain yang sangat
perlu disadari kemungkinan dan potensi yang dimiliki oleh suatu tulisan. Dengan
demikian, suatu tulisan dapat dititipi nilai atau kepentingan moral-kultural
atau politik-struktural didalamnya, tergantung siapa penulisnya dan terkait dengan
situasi kultural dan struktur yang memayungi atau ”menekan” sang penulis.
Sebuah
tulisan yang baik dapat lahir atas sejumlah persyaratan yang kemudian
menentukan daya pengaruh dari tulisan itu. Pemilihan isu didalam
menulis sangat penting karena tingkat aktualitas/kebaruan dari suatu isu yang
dipilih memperlihatkan betapa pentingnya membaca suatu tulisan dan akan
memberikan, paling tidak, suatu informasi baru. Kalau pun isu baru tidak
ditemukan, masih ada peluang untuk melakukan perumusan ulang terhadap isu lama
yang sudah jenuh dibicarakan. Isu terkait ”ulama”, misalnya, telah menjadi isu
yang usang dan sudah banyak sekali ditulis, namun suatu formulasi baru yang
kreatif dalam melihat ulama dapat menjadi topik yang menarik untuk ditulis
kembali. Sebagai contoh, ulama dalam kaitannya dengan media (bagaimana ulama
menggunakan teknologi dan media dalam dakwah) atau ulama dalam kaitannya dengan
pemilu (bagaimana legitimasi ulama dalam pilihan partai), atau ulama dalam
hubungannya dengan bencana (bagaimana ulama memberi peran penting di dalam
trauma healing). Tentu saja banyak isu lain yang dapat dikembangkan secara
kreatif dan inovatif yang menunjukkan sifat aktual dan kontekstual dari suatu
tulisan.
Menarik
tidaknya suatu tulisan juga ditentukan oleh kemampuan bahasa dan gaya
penulisan yang memperlihatkan ciri khas dari suatu tulisan. Tulisan
yang ditulis oleh seseorang seyogyanya memiliki karakter yang khusus yang
membedakan tulisannya dengan tulisan orang lain. Pola dan karakter semacam ini
harus dibangun, baik melalui pilihan kata, susunan kalimat, maupun gaya
pengungkapan. Selain hubungan antar kalimat menjadi penting dalam suatu
tulisan, juga teknik-teknik mengungkapkan sesuatu dengan cara tertentu perlu
dipelajari. Daripada menulis ”... perubahan sosial adalah sesuatu yang tidak
dapat dihindari”, lebih menarik mengatakan ”... perubahan sosial adalah suatu
yang niscaya...” atau ”... hanya perubahan yang bersifat kekal....” Tentu saja
tingkat kelengkapan dari unsur-unsur atau aspek-aspek pembahasan akan sangat
menentukan kekuatan dari suatu tulisan, sebagaimana halnya analisis yang tajam
yang menyebabkan suatu tulisan enak dibaca dan mencerdaskan.
Makalah ini
merupakan panduan teknis selain untuk memberikan pemahaman tentang seluk beluk
menulis karya ilmiah, juga memberikan petunjuk praktis untuk meningkatkan skill
(keahlian) teknis di dalam menulis karya ilmiah sesuai dengan kaidah-kaidah
keilmuan dan standar yang berlaku. Tulisan ini dititik-beratkan pada tiga
kompetensi pokok: pemahaman strategi penulisan, keahlian didalam menyusun
tulisan, dan kemampuan didalam meningkatkan kualitas atau standar tulisan.
Ketiga pokok pembicaraan itu akan diuraikan satu persatu pada bagian berikut
ini.
STRATEGI JITU DALAM MENULIS
Pertanyaan
yang perlu diajukan dalam proses penulisan adalah: bagaimana suatu tulisan yang
berkualitas dapat dihasilkan, apa ukuran pokoknya, dan bagaimana melakukannya
secara tekniks. Seringkali kita tahu suatu tulisan berkualitas atau tidak,
tetapi untuk mewujudkan tulisan yang berkualitas itu tidak mudah. Menurut hemat
saya, tulisan paling tidak memenuhi syarat atau standar yang saya sebut sebagai
JITU (Jelas, Intensif, Tepat, dan Unik). Empat hal ini menjadi ukuran penting
tentang suatu tulisan yang baik, baik dalam pengertian substansi maupun
sistematika berpikir di dalam menulis. Ukuran-ukuran lain tentu saja dapat
digunakan, namun keempat hal inilah yang selama ini telah saya gunakan dan
ikuti di dalam praktik menulis yang memberikan banyak kemudahan dalam proses
kreatif dan apresiasi yang menggembirakan. Setiap penulis sesungguhnya dapat
mengembangkan caranya sendiri-sendiri untuk memungkinnya menghasilkan sesuatu
secara produktif dan berkualitas. Keempat indikator tersebut membentuk suatu
strategi dalam penulisan karya ilmiah yang masing-masing dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Jelas.
Suatu
tulisan haruslah memiliki fokus yang jelas karena suatu tulisan merupakan
respons terhadap suatu isu khusus sehingga arah dari tulisan itu semestinya
cukup jelas bagi si pembaca. Pada saat seseorang menulis perubahan sosial,
misalnya, maka suatu tulisan tentang perubahan sosial haruslah menegaskan fokus
yang akan ditulis: apakah menyangkut perubahan dalam hubungan sosial, atau
pengelompokan sosial, atau struktur sosial. Istilah perubahan sosial sama sekali
tidak jelas menegaskan apa yang sesungguhnya yang mau dibahas dalam suatu
tulisan. Perubahan sosial dapat justru dibicarakan dalam judul ”perubahan
solidaritas antar orang atau kelompok”. Ketidak-jelasan itu bermula dari judul,
rumusan masalah, hingga uraian unsur-unsur yang dipilih dalam suatu tulisan.
Kejelasan suatu tulisan dapat pula dilihat pada sistematika tulisan yang urut
yang menunjukkan kejelasan arah. Hal ini terefleksi pada rumusan masalah atau
isu yang dibicarakan dalam suatu tulisan. Pada saat kita berbicara tentang
konflik, tentulah topik itu sangat luas karena tidak jelas arahnya. Namun
demikian, kalau konflik itu dilihat dari ”faktor pendorong/penyebab konflik”
atau ”dampak dari adanya konflik”, tentu akan menjadi jauh lebih jelas apa yang
akan ditulis dalam suatu tulisan. Urutan logika yang jelas dalan suatu tulisan
tehtu saja perlu dilengkapi dengan atau tampak dari kalimat-kalimat yang
digunakan yang mudah dipahami.
Intensif.
Pada saat
suatu tulisan dibaca tidak jarang muncul kesan bahwa tulisan itu ditulis dalam
satu malam karena alur berpikir yang sangat runtut dan tidak terputus hubungan
antara gagasan satu dengan gagasan lain. Dari halaman pertama hingga terakhir
tulisan tersebut tidak menimbulkan kebosanan atau kesulitan untuk dibaca karena
ditulis secara intensif. Tingkat intensitas dari suatu tulisan memang
ditentukan oleh kemampuan konsentrasi sang penulis yang mampu membangun tulisan
secara utuh dari depan hingga belakang secara utuh. Keterpaduan menjadi
syarat bagi menariknya suatu tulisan, dalam pengertian bahwa hubungan setiap
unsur harus dipelihara dan ditegaskan dalam berbagai kesempatan dan media.
Kualitas semacam ini juga dapat dicapai dengan menjamin suatu konsistensi dalam
gaya bahasa yang sangat menentukan kelayakan suatu tulisan untuk dikutip sang
pembaca. Kekuatan suatu tulisan memang terletak pada tingkat keutuhan dari
bagian pendahuluan, seting, bagian-bagian isi atau analisis, hingga penutup
atau kesimpulan. Konsentrasi sang penulis selain tampak dari ketepatan komposisi
dan hubungan satu bagian dengan yang lain, juga tampak dari tingkat
kedisiplinan menjaga hubungan-hubungan antar-bagian dan antar-alinea dalam
suatu tulisan. Satu tulisan memberi kesan utuh dan jalin menjalin antara satu
aspek pembicaraan dengan aspek pembicaraan yang lain atau satu unsur dengan
unsur lain dalam suatu bahasan.
Tepat.
Ketepatan
dalam suatu tulisan terkait dengan bagaimana suatu tulisan disusun atas dasar
bahan yang tepat, baik menyangkut referensi yang digunakan dalam menentukan lahirnya
suatu tulisan, maupun dalam pengertian kelompok bahasan dan tempat yang
dijadikan landasan suatu tulisan. Bahan pustaka yang diterbitkan pada tahun
1980-an tentu menjadi tidak tepat jika sudah ada bahan pustaka yang terbit
tahun 2000-an. Bahan-bahan yang sudah out of date itu tentu saja dapat
digunakan jika sifatnya yang tua tersebut sebagai objek dari penjelasan.
Misalnya, suatu tulisan memang bertujuan untuk menganalisis konstruksi
pemikiran tentang agama dan konflik sejak tahun 1950-an. Suatu pustaka juga
membawa implikasi aliran yang perlu diperhatikan dalam mengutip dan
menggunakannya sebagai rujukan, apakah pustaka tersebut betul-betul relevan.
Demikian halnya dengan tempat, ketepatan dalam memilih tempat yang menjadi
acuan tulisan sangat dibutuhkan. Apakah studi agama tepat kita bicarakan di
Bali atau di Sumatera Barat; untuk studi konflik agama dibicarakan tentang Poso
atau Aceh; untuk studi migrasi internasional Pontianak atau Banjarmasin yang
dijadikan kasus; demikian pula pada tingkat kabupaten, kecamatan, atau desa dan
dusun. Pertanyaan yang lebih rinci adalah: jika membahas masalah relijiusitas,
apa tepat suatu perumahan dijadikan kasus acuan atau di suatu perkampungan
orang Arab? Banyak pertimbangan dan alasan yang perlu dikomunikasikan untuk
menjamin bahwa suatu tulisan memang didasarkan pada pilihan-pilihan yang tepat.
Meneliti kemiskinan tentu harus di tempat di mana kemiskinan itu betul-betul
terjadi dan pada kelompok yang memang mengalami kemiskinan tersebut. Ketepatan
juga perlu dibangun pada setiap pilihan kata dan kalimat yang digunakan karena
pengertian yang ingin dibangun melalui suatu tulisan harus dikendalikan
sedemikian rumah. Apakah, misalnya, perlu menulis ”banyak anggota masyarakat
setempat menghadiri acara pengajian” atau ”kaum perempuan setempat menghadiri
acara pengajian”. Anggota masyarakat yang dimaksud ternyata kaum perempuan
karena itu memang pengajian untuk kaum perempuan. Analisis dalam suatu tulisan
juga harus dilakukan dengan tepat, yakni harus didasarkan pada data yang
dikumpulkan dengan metode yang tepat dan analisis dapat dilakukan dalam
batas-batas yang dimungkinkan oleh data.
Unik.
Suatu
tulisan sesungguhnya memperlihatkan kepribadian dari sang penulisnya karena
suatu tulisan memang disusun untuk memperlihatkan suatu kecerdasan dalam
mengkaji dan mengkomunikasikan sesuatu pada pembaca. Untuk mencapai karakter
semacam ini, suatu tulisan harus memperlihatkan suatu keunikan karena itu pula
menyebabkan suatu tulisan menjadi perlu dibaca. Harus terpikir dalam benak bahwa
isu atau topik yang dipilih belum banyak diperhatikan orang lain atau, paling
tidak, berbeda dalam hal fokus dan analisis. Sebaliknya, pastikan bahwa kita
tidak sedang menulis suatu isu atau masalah yang telah atau sedang ditulis oleh
puluhan orang lain. Menulis tentang peranan ulama pastilah bukan pilihan yang
tepat dalam arti keunikan ini, tetapi bagaimana kiprah ulama dalam dunia
pengobatan dapat menjadi topik penting. Seringkali dibutuhkan kreativitas
didalam memilih isu atau topik untuk dibahas, yakni dengan membahas topik yang
sama dengan perspektif yang berbeda, pada kelompok yang berbeda, atau pada masa
yang berbeda (kontekstual). Keunikan suatu tulisan memang dapat dibangun dengan
sadar dalam berbagai bentuk, seperti menggunakan pilihan kata yang sangat
berbeda dengan penulis lain. Kata-kata ”niscaya”, ”piawai”, ”dahsyat”,
”pertikaian”, ”murka”, dll, dapat menjadi karakter dari suatu tulisan. Keunikan
suatu tulisan juga menjadi kunci dalam keterlibatan seseorang dalam berbagai
dunia akademik dan publikasi.
Strategi
JITU tersebut merupakan panduan untuk menjamin bahwa sang penulis paling tidak
telah memperhatikan beberapa indikator untuk melahirkan sebuah karya ilmiah.
Tanpa panduan semacam itu seringkali membuat kita menulis secara meraba-raba tanpa
mengetahui apa saja yang penting diperhatikan dan bahkan dihindari dalam
menulis. Seorang penulis umumnya mempelajari bagaimana menulis dari tulisan
orang lain yang dengan cara itu juga tidak diketahui secara persis kiat tulisan
itu dihasilkan. Untuk menerapkan strategi JITU tersebut, perlu dimulai dengan
kemampuan mendefinisikan struktur tulisan secara sistematis. Struktur tulisan
yang terumuskan dengan baik akan memperlihatkan alur berpikir yang sistematis
dan mudah dibaca serta dipahami.
STRUKTUR TULISAN ILMIAH
Sebuah
tulisan selalu terdiri dari empat bagian yang saling kait: Pendahuluan,
Seting/Gambaran Umum, Analisis, dan Kesimpulan. Pada bagian pendahuluan
dibicarakan alasan-alasan mengapa suatu isu atau topik menarik untuk ditulis,
rumusan masalah atau fokus tulisan, dan bagaimana isu tersebut akan dikaji
serta sistematika penulisan. Bagian Pendahuluan ini harus disusun secara
menarik karena ia merupakan kunci dari arah suatu tulisan yang dapat menentukan
pembaca akan meneruskan membaca tulisan itu atau tidak. Walaupun demikian,
bagian Pendahuluan ini tidak boleh ditulis panjang lebar sebaliknya dipaparkan
secara padat dan membantu pembaca memposisikan diri di mana. Bagian seting atau
gambaran umum seringkali terdiri lebih dari satu bab sehingga bab tulisan
menjadi lebih banyak. Seting yang pertama adalah lokasi dan yang kedua adalah
institusi yang dikaji atau bahkan kelompok yang dibahas atau suatu program yang
perlu dipaparkan. Dalam penelitian tentang Implementasi Program Pengentasan
Kemiskinan di Kabupaten Kubu Raya, misalnya, seting yang harus dibicarakan
menyangkut: (1) Kubu Raya sebagai tempat; dan (2) Program Pengentasan
Kemiskinan. Kedua bagian tersebut merupakan latar belakang untuk membahas isi
pokok yang menyangkut isu implementasi program. Namun demikian, suatu tulisan
dapat saja hanya terdiri dari satu seting, entah itu hanya Seting Wilayah atau
hanya Seting Isu/Persoalan. Studi tentang teks atau kitab tentu saja tidak
membutuhkan uraian tentang wilayah. Bagian seting kemudian hanya terdiri dari
satu bab yang mendeskripsikan teks tersebut secara umum untuk memberikan dasar
bagi isi dan analisis.
Tabel 1: Sistematika Menurut Urutan Bagian Tulisan
NO.
|
BAGIAN
|
SISTEMATIKA
TULISAN
|
I
|
PENDAHULUAN
|
1.
Pendahuluan
|
II
|
SETING/GAMBARAN
UMUM
|
2. Seting
Daerah/Wilayah 3.Seting Isu/Persoalan/Program
|
III
|
ISI/ANALISIS
|
4.
Analisis 1: Faktor Sosial 5. Analisis 2: Faktor
Ekonomi 6. Analisis 3: Faktor Budaya
|
IV
|
KESIMPULAN
|
7.
Kesimpulan
|
Bagian isi
atau analisis suatu tulisan secara ideal dibagi kedalam tiga bagian sesuai
dengan rumusan masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang telah dibicarakan pada
bagian pendahuluan. Karena bagian tiga merupakan bagian analisis maka pada
bagian ini dijawab pertanyaan secara seksama. Jika pertanyaan tersebut
menyangkut faktor maka bagian pertama dalam isi pokok tulisan ini dapat berupa
Analisis Faktor Sosial, bagian kedua Analisis Faktor Ekonomi, dan bagian ketiga
Analisis Faktor Budaya (lihat Tabel 1). Analisis faktor ini juga dapat berupa
faktor agama atau budaya, tergantung pada relevansinya atas kajian yang sedang
dilakukan.
Bagian
Analisis dapat juga berupa analisis proses atau analisis dampak.
Jika analisis proses yang ingin digunakan dalam suatu tulisan maka penjabaran
bab atau bagian tulisan menjadi tahapan-tahapan dari proses tersebut, yakni
berupa tahapan 1, tahapan 2, dan tahapan 3 atau dalam studi kebijakan akan
berarti: tahap formulasi, tahap implementasi, dan tahap evaluasi (tabel 2).
Demikian pula halnya dengan analisis dampak yang dapat disusun kemudian menjadi
dampak individu, dampak keluarga, dan dampak pada komunitas. Analisis tentu
saja dapat dibagi secara sistematis dengan berbagai cara, apakah itu pembagian
tegas, tataran/tingkatan dari yang terbatas ke luas atau yang rendah ke tinggi,
dan dapat pula berbagai kategori yang lain yang dianggap logis dan relevan.
Berikut ini contoh tiga model analisis yang menentukan isi dari suatu tulisan
yang masing-masing digunakan untuk tujuan yang berbeda sesuai dengan arah
penelitian dan kebutuhan pemecahan masalah.
Tabel 2.
Pilihan Pola Analisis dalam Isi Tulisan
ANALISIS
FAKTOR
|
ANALISIS
PROSES
|
ANALISIS
DAMPAK
|
1.
Pendahuluan
|
1.
Pendahuluan
|
1.
Pendahuluan
|
2. Seting
Daerah/ Wilayah
3. Seting
Persoalan/ Program
|
2. Seting
Daerah/ Wilayah
3.
Seting Persoalan/ Program
|
2. Seting
Daerah/ Wilayah
3. Seting
Persoalan/ Program
|
4.
Analisis 1: Faktor
Sosial
5.
Analisis 2: Faktor Ekonomi
6.
Analisis 3: Faktor Budaya
|
4.
Analisis 1: Formulasi
5.
Analisis 2:
Implementasi
6.
Analisis 3: Evaluasi
|
4.
Analisis 1: Individu
5.
Analisis 2: Keluarga
6.
Analisis 3: Komunitas
|
7.
Kesimpulan
|
7.
Kesimpulan
|
7.
Kesimpulan
|
Bagian
terakhir dari suatu tulisan tentu saja bagian kesimpulan yang seringkali
disebut sebagai penutup. Bagian ini berisi pernyataan tentang hal-hal yang
paling penting yang dapat dikomunikasikan terkait dengan pembahasan yang
dilakukan. Suatu kesimpulan harus berupa suatu kecerdasan yang hanya dapat
diperoleh ketika sesuatu itu dikaji atau ditulis melalui suatu perenungan.
Dengan kata lain, suatu kesimpulan tidak dapat ditulis jika kajian atau
evaluasi atau diskusi tentang isu tertentu tidak dilakukan. Untuk sampai ke
arah itu, permasalahan atau pertanyaan yang diajukan pada bagian awal tulisan
diharapkan dapat dijawab pada bagian kesimpulan. Seringkali bagian kesimpulan
ini digunakan sebagai kesempatan untuk memposisikan tulisan atau kajian dalam
hubungannya dengan kajian-kajian yang ada dalam bidang yang sama.
Untuk
menulis suatu artikel dari bagian pendahuluan hingga bagian kesimpulan/penutup
tersebut dibutuhkan kemampuan teknis dan strategi yang tepat. Pertama, perlu diputuskan
berapa halaman tulisan perlu ditulis. Untuk kepentingan artikel ilmiah kita
bisa mulai dengan menulis 10-12 halaman 1 spasi. Untuk itu kita dapat membagi
masing-masing bagian sebagaimana tampak pada tabel 3 berikut. Untuk memulai
menulis, perlu disadari bahwa setiap halaman 1 spasi berisi 3 alinea dengan
asumsi per alinea terdiri dari 12-15 baris. Tabel 3 menjelaskan pilihan
komposisi halaman dalam setiap bagian tulisan sebagai acuan untuk menghasilkan
karya ilmiah yang memenuhi standar.
Tabel 3: Jumlah
Halaman Perbagian Tulisan
No.
|
BAGIAN
|
SISTEMATIKA
PENULISAN
|
HAL
|
I
|
PENDAHULUAN
|
1.
Pendahuluan
|
1-1,5
|
II
|
GAMBARAN
UMUM
|
2. Seting
Daerah/Wilayah
3. Seting Isu/Persoalan/Program |
1,5
1,5 |
III
|
ISI /
ANALISIS
|
4.
Analisis 1: Faktor Sosial
5. Analisis 2: Faktor Ekonomi 6. Analisis 3: Faktor Budaya |
2-3
2-3 2-3 |
IV
|
KESIMPULAN
|
7.
Kesimpulan
|
Untuk
menulis bagian 4 dari tabel 3, yang mengakut Faktor Sosial, selanjutnya dapat
dijabarkan secara umum kedalam tiga aspek: Hubungan Sosial, Pengelompokkan
Sosial, dan Struktur Sosial. Ketiga aspek itu yang masing-masing ditulis
sebanyak satu halaman kemudian dibagi kedalam unsur-unsur yang masing-masing
unsur dapat ditulis satu alinea (dengan asumsi satu halaman berisi tiga
alinea). Penjabarannya sebagai berikut.
Hubungan sosial (ditulis 1 halaman)
– Pola hubungan sosial (1 alenia)
– Faktor pembentukan (1 alenia)
– Fungsi dan dampak hubungan sosial (1 alenia)
– Pola hubungan sosial (1 alenia)
– Faktor pembentukan (1 alenia)
– Fungsi dan dampak hubungan sosial (1 alenia)
Pengelompokan sosial (ditulis 1 halaman)
– Pola pengelompokkan (1 alenia)
– Faktor pengelompokkan (1 alenia)
– Fungsi dan dampak pengelompokkan
(1 alenia)
Struktur sosial (ditulis 1 halaman)
– Pola stratifikasi/struktur (1 alenia)
– Faktor pmbentukan struktur (1
alenia)
– Fungsi struktur dalam komunitas (1
alenia)
Ketiga aspek
tersebut akan mengisi satu bagian (Hubungan Sosial) dari tujuh bagian tulisan
dengan total tiga halaman. Jika bagian-bagian yang ditulis dengan cara yang
sama maka dengan sendirinya tulisan akan terdiri dari kurang lebih 12 halaman
satu spasi yang sudah memenuhi standar untuk sebuah artikel jurnal. Tentu saja
alinea-alinea yang ditulis dapat mengikuti tiga tipe alinea, yakni alinea
deskriptif, alinea deduktif, dan alinea induktif sesuai dengan kebutuhan dan
karakter dari sang penulis.
PENTINGNYA ANALISIS DAN KETAJAMAN
Ketika
secara teknis suatu tulisan sudah memenuhi syarat, maka kualitas substansi dari
suatu tulisan akan dipertanyakan. Kualitas suatu tulisan sangat ditentukan oleh
kemampuan memindahkan kumpulan data atau informasi yang bersifat deskriptif
menjadi suatu pembahasan analitis yang mengandung penjelasan dan pemahaman yang
komprehensif, kontekstual, dan mendalam. Peralihan tulisan dari deskriptif
menjadi analitis membutuhkan serangkaian tahapan. Paling tidak lima tahap dapat
membantu memberi jalan untuk mencapai suatu tingkat analitis yang lebih baik
dari suatu tulisan. Pertama, deskriptif, yang tampak dari
ciri tulisan terdiri dari paparan sifat-sifat atau unsur dari suatu gejala yang
sedang dibicarakan. Kecenderungan ini dalam tulisan tampak dari adanya tabel
atau data statistik atau kutipan hasil wawancara yang dihadirkan dengan
berbagai cara dalam suatu tulisan. Teknik deskripsi ini dibutuhkan untuk
hal-hal yang bersifat informatif agar si pembaca dapat mengetahui wujud dari
sesuatu yang sedang dibicarakan. Kedua, eksplanatif yang
berisi penjelasan atas data atau suatu deskripsi. Suatu tulisan akan lebih
berkualitas jika tidak hanya memaparkan, tetapi juga mampu menjelaskan ”mengapa”
sesuatu itu terjadi atau berlangsung seperti yang dipaparkan. Deskripsi tentang
prosentase pemilih Partai Demokrat dalam Pemilu 2009 yang berisi angka-angka
berbagai kategori harus segera diikuti oleh suatu penjelasan atas pertanyaan
”mengapa” Partai Demokrat berhasil memenangkan Pemilu? Ketiga, diskursif
yang merupakan tataran yang lebih tinggi yang tampak dari kecenderungan
tulisan memasukkan berbagai data lain dari berbagai sumber sebagai perbandingan
dalam memahami apa yang sedang dibicarakan. Diskursif ini tampak dari kutipan
teori atau literatur lain yang dihubungankan dengan tulisan kita agar
memperlihatkan usaha kontekstualisasi tulisan kedalam suatu perdebatan yang
sedang terjadi. Jika kita berbicara tentang hubungan agama dengan perubahan
sosial ekonomi, maka tulisan tidak bisa menghindarkan dirinya untuk tidak
mengutip Max Weber. Pada saat kita menulis perlu mengambil sikap bahwa tulisan
kita sesungguhnya merupakan bagian dari satu debat yang sedang terjadi
diberbagai tempat oleh berbagai orang. Keempat, interpretif yang
memperlihatkan bahwa suatu tulisan sudah mampu membangun pemahaman atas sesuatu
melalui pengertian dan makna suatu gejala yang dibicarakan. Interpretasi ini
dapat dilakukan melalui kontekstualisasi ruang dan waktu yang memperlihatkan
relevansi atas apa yang sedang ditulis. Kelima, implikatif yang
berisi analisis akibat dari adanya sesuatu yang sedang ditulis, baik itu
bersifat teoretis-konseptual maupun praktis-teknis yang kemudian melahirkan
pemahaman dan kebijakan baru terkait dengan isu yang sedang ditulis.
Ketika
kelima tataran analisis ini dapat dipraktikkan dalam menulis, maka ketajaman
sebuah tulisan akan muncul. Sebuah tulisan akan memberikan dampak yang lebih
besar karena disatu sisi tulisan memberikan keluasan wawasan dengan kemampuan
penulis memasukkan berbagai unsur yang kompleks dalam setiap narasi, dilain
sisi tulisan memiliki ketajaman didalam analisis dengan kemampuannya membahas
suatu isu dengan menggunakan berbagai perspektif. Suatu isu paling tidak dapat
dilihat pada lima dimensi yang berbeda yang akan memberikan kekuatan suatu
tulisan. Pertama, setiap isu atau pokok bahasan dapat dibahas melalui definisi
atau pengertian yang terkandung didalamnya. Definisi atau pengertian tidak
selalu berarti definisi formal suatu konsep, tetapi dapat juga berupa definisi
operasional atau pemahaman secara umum tentang sesuatu yang sedang dibicarakan.
Pada saat kita membicarakan relijiusitas, tentu saja selain definisi formal
tekstual dapat pula dikemukakan pemahaman umum tentang relijiusitas yang
menunjuk pada komitmen ibadah seseorang atau sekelompok orang. Kedua,
suatu pembicaraan dalam suatu tulisan perlu memaparkan bentuk atau format
atau aspek-aspek dari apa yang kita sebut sebagai, misalnya, relijiusitas
tersebut: apakah yang dimaksudkan dengan relijiusitas itu menyangkut
dimensi/bentuk ideal/gagasan seperti tingkat penguasaan atau pemahaman agama,
aspek/dimensi nilai atau sikap yang memperlihatkan tingkat relijiusitas
seseorang, atau aspek prilaku/tindakan yang menunjukkan komitmen waktu dan
fisik dalam melakukan ritual. Format atau bentuk serta dimensi/aspek dari suatu
yang dibicarakan dalam tulisan akan secara langsung memperlihatkan seberapa
luas kemampuan seseorang dalam memahami suatu pokok bahasan. Aspek atau dimensi
ini dapat diperluas sesuai dengan topik atau isu yang dibicarakan. Ketiga,
relijiusitas, seperti juga fenomena yang lain, dapat dibahas dari sudut proses
atau mekanisme operasionalnya yang menyangkut bagaimana relijiusitas itu
berlangsung. Apakah itu melibatkan institusi agama, peraturan, atau
tekanan-tekanan dalam masyarakat. Relijiusitas dapat juga terjadi akibat
kontrol sosial dengan karakter yang berbeda pada seting sosial keagamaan dan
politik yang berbeda. Pembicaraan tentang proses dapat juga berarti pemaparan
berdasarkan tahapan-tahapan yang relevan. Proses atau mekanisme ini membentuk
suatu perspektif dalam melihat suatu pokok bahasan sehingga akan menyumbangkan
pada ketajaman sebuah tulisan. Bahasan tentang proses merupakan suatu
pernyataan tentang bagaimana suatu gejala ditempatkan dalam konteks yang lebih
dinamis yang memungkinkan pemahaman secara lebih komprehensif. Keempat, suatu
pokok bahasan dapat dilihat atau dibicarakan dari faktor atau prakondisi kehadirannya
atau keberadaannya. Faktor dapat menjadi dasar suatu pemahaman yang juga
menyangkut sejarah lahirnya atau keberadaan sesuatu yang sedang dibicarakan
dalam tulisan. Realitas sosial dapat diasumsikan sebagai suatu bentukan atas
kekuatan-kekuatan yang berlaku yang perlu dibahas secara seksama dalam suatu
tulisan. Pemahaman tentang faktor akan memungkinkan melihat suatu pokok
pembicaraan dari perspektif yang berbeda yang memungkinkan munculnya
pilihan-pilihan dalam analisis atau pemahaman suatu pokok bahasan. Kualitas
tulisan akan tampak pada saat analisis faktor memberikan wawasan baru dibalik
suatu deskripsi yang telah diberikan tentang suatu isu atau pokok bahasan. Kelima,
suatu pokok isu dapat dibahas dari dampak atau implikasi keberadaan
sesuatu yang menyangkut hasil dari adanya suatu gejala atau proses.
Relijiusitas dapat dibicarakan dari dampaknya bagi tingkah laku individu atau
bagi penataan sosial secara kolektif. Relijiusitas sebagai suatu praktik
kolektif dapat bermakna atau berfungsi harmoni bagi kehidupan bermasyarakat
yang dapat menjadi pokok bahasan yang menarik. Implikasi sesuatu juga dapat
berarti implikasi teoretis atau konseptual yang muncul atas suatu gejala atau
proses atau pokok bahasan dalam suatu konteks kajian. Pembicaraan tentang
dampak akan memberikan kekuatan bagi tulisan karena memberikan dimensi yang
lebih kompleks dan memperlihatkan ketajaman di dalam suatu analisis. Kelima
pokok pikiran di atas merupakan kemungkinan yang terbuka untuk dimanfaatkan
dalam proses menulis yang sangat menentukan kekuatan suatu tulisan. Menulis
dengan sistematis dan dengan penjabaran logis berdasarkan kelima pokok pikiran
tersebut akan memungkinkan suatu tulisan bergeser dari tulisan deskriptif
menjadi suatu tulisan analitis yang secara akademik memiliki mutu yang jauh
lebih tinggi.
PENUTUP
Menulis itu
gampang jika secara teknis kita menguasai caranya, yakni dengan memiliki
keahlian dalam menjalankan tahap demi tahap penulisan. Menemukan ide untuk
menulis, memformulasikan suatu isu yang akan dijadikan fokus, pembuatan outline
tulisan, mencari dukungan data atas isu yang akan ditulis, memilih gaya
penulisan, hingga teknik menulis dan menghasilkan sebuah karya. Paling tidak,
tiga hal pokok dapat disimpulkan dalam keseluruhan proses tersebut. Pertama,
untuk menulis perlu terlebih dahulu dipahami dengan baik sasaran yang ingin
dituju dan diacu dalam suatu tulisan. Apakah kita hendak berkomunikasi dengan
pembaca kalangan berpendidikan yang cerdas dan kritis, atau kelompok masyarakat
umum yang awam dalam bidang tertentu dan tulisan yang dihasilkan merupakan
mandat untuk menjalankan misi mencerdaskan bangsa. Tulisan yang ditujukan untuk
kalangan akademisi tentu saja berisi analisis tajam tentang isu tertentu yang
kemudian melahirkan debat konseptual dan bahkan melahirkan teori baru dalam memahami
suatu gejala. Ketika suatu tulisan ditujukan kepada pembuat kebijakan dan
pengambil keputusan, maka suatu tulisan diharapkan berorientasi pada pemecahan
masalah. Hasil dari analisis dalam tulisan tersebut berupa wisdom (pandangan
bijak) yang dapat diacu dalam pemecahan masalah secara praktis dan teknis.
Suatu tulisan yang ditujukan kepada publik yang lebih luas tentu saja harus
memiliki bobot informatif yang lebih dominan dalam rangka perluasan wawasan
untuk mendorong lahirnya kesadaran baru tentang sesuatu yang ingin
dikomunikasikan. Kedua, suatu tulisan sangat tergantung pada kekuatan gagasan
yang dipilih dan dibangun. Apakah suatu tulisan didasarkan pada suatu kejadian,
peristiwa atau fenomena yang sedang terjadi di dalam masyarakat yang kemudian ditulis
untuk memberi jawaban atas pertanyaan tertentu. Suatu ide dapat juga muncul
akibat suatu keprihatinan individual atau kolektif atas ancaman-ancaman moral
atau agama yang sangat perlu pemecahan masalah demi suatu kepentingan yang
lebih besar. Tidak jarang ide menulis datang dari pihak lain atau pesanan untuk
tujuan-tujuan tertentu. Dalam upaya memenangkan suatu partai dapat saja
seseorang diminta menulis isu tententu yang menyebabkan tulisan tersebut
mengandung bias yang merugikan. Pemilihan tema/topik/isu menulis memang bisa
datang dari diri sendiri akibat perenungan atau suatu pengamatan, namun dapat
juga datang dari orang lain yang memberikan ide atau bahkan memberikan uang
untuk suatu kajian dan tulisan tertentu. Tentu saja integritas sang penulis dipertanyakan
dalam hubungannya dengan kemandirian seorang penulis dalam menghasilkan suatu
karya ilmiah. Paling tidak, kualitas suatu tulisan sangat ditentukan oleh
gagasan atau isu yang dijadikan acuan dalam menulis sebuah karya. Ketiga,
menarik tidaknya suatu tulisan tidak dapat dipisahkan dari cara atau gaya
pengungkapan tulisan itu sendiri. Yang membedakan satu penulis dengan penulis
lain adalah gaya didalam menulis, baik itu dalam pengertian kemampuan
menggunakan bahasa secara efektif maupun dalam cara membangun argumen atau
logika berpikir yang berbeda dengan kebiasaan umum. Pada saat satu tulisan
mengatakan bahwa ”konflik merupakan suatu yang niscaya, yang kehadirannya
dibutuhkan untuk penataan sosial yang lebih baik...,” maka tulisan itu sudah
mengundang pertanyaan dan keinginan-tahu pembaca. Gaya penulisan semacam ini
akan menjadikan tulisan menarik dan khas. Banyak penulis yang memilik cara
sendiri-sendiri dalam menggunakan berbagai teknik langsung atau idiom dalam
mengungkapkan sesuatu dalam karyanya.
Dibalik
semua itu, menulis sesungguhnya membutuhkan komitmen untuk duduk dan menulis.
Tidak banyak orang memiliki waktu atau mampu menggunakan waktunya untuk
betul-betul duduk dan menulis. Memilih waktu duduk dan menulis adalah satu cara
untuk bisa melahirkan suatu tulisan. Penulis yang berhasil, sebagian besar,
adalah orang yang mampu memaksa dirinya untuk duduk dipagi buta dan menulis
satu-dua halaman setiap hari. Dan satu-dua halaman itulah yang menjadikannya
seratus halaman dalam tiga bulan.
Selamat
mencoba . . . . !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan pertanyaan anda disini.