04 Februari 2014

Benahi Negeri Gunakan Pancasila

D alam berbagai pembicaraan baik dengan sesama Perwira maupun dengan kalangan sipil sudah sangat jarang saya mendengar pembicaraan tentang Pancasila. Pancasila seolah terlupakan, hanya diingat tatkala memperingati hari-hari bersejarah tertentu, ataupun saat melaksanakan upacara mingguan dan bulanan. Bagi sebagian kita berbicara tentang Pancasila seolah membicarakan sesuatu yang angker atau mungkin tabu. Sebagian lagi ada yang memandang bahwa membicarakan Pancasila sepertinya membicarakan sesuatu yang tidak ada gunanya (just wasting time).

Pada suatu kesempatan mengobrol empat mata di kediaman seorang senior (beliau mantan Kasad) mengatakan kepada saya, bahwa Pancasila ibarat “ koreksi nolbagi Bangsa dan Negeri ini. Ibarat peluru meriam yang bergeser perkenaannya beberapa puluh meter, maka untuk dapat memperbaiki agar perkenaan sedekat mungkin dengan sasaran dilaksanakan koreksi nol menggunakan perangkat bidik. Demikian juga ketika banyak yang menyimpang ditengah-tengah Bangsa ini dan dinegeri ini, maka hanya Pancasila yang dapat mengembalikannya. Karena Pancasila dengan Bangsa dan Negeri ini ibarat sebuah Meriam dengan Perangkat Bidiknya. Bayangkan sebuah meriam ditembakkan tanpa menggunakan perangkat bidik, bisa jadi peluru kena pada sasaran atau juga peluru nyasar menghujam pasukan sendiri. Kira-kira seperti itulah yang terjadi di negeri ini, ada arah yang sudah sesuai dengan haluan yang diinginkan namun lebih banyak lagi arah yang menuju entah kemana. Mengapa demikian?, karena Pancasila hanya dipandang sebagai simbol keramat semata dan tidak (pernah) digunakan sebagai haluan untuk mengarahkan negeri ini.

Realita faktual yang kita lihat di negeri ini, antara lain: Negeri ini masih berkutat tentang KETUHANAN, karena walaupun sebagian besar rakyat negeri ini mempunyai agama, apakah itu Hindu, Budha, Kong Fu Tsu, Kristen ataupun Islam tetapi sesungguhnya sebagian besar diantara mereka dapat dikatakan tidak beragama. Mempunyai agama tidak serta-merta beragama, ibarat kita punya baju, tetapi belum tentu kita berbaju (contoh: saat mandi). Seandainya seluruh rakyat negeri ini beragama maka tidak akan terjadi korupsi, tidak akan terjadi pembalakan hutan, tidak akan terjadi tindakan semena-mena apakah terhadap sesama manusia maupun makhluk ciptaan TUHAN lainnya; Bangsa ini juga masih bermasalah dengan KEMANUSIAAN, karena banyak rakyat negeri ini yang tidak menyadari bahwa dia adalah manusia. Karena tidak menyadari keberadaannya sebagai manusia, dia tidak dapat berinteraksi secara manusia dengan sesama manusia maupun kepada makhluk hidup lain, dan lebih parah lagi sadar atau tidak disadari banyak yang telah membuat manusia menjadi bukan manusia. Padahal sebagai seorang manusia, justru harus bisa memanusiakan manusia; Dalam hal PERSATUAN negeri ini pun masih bermasalah. Keutuhan wilayah negeri sedang terancam, baik yang selalu terperhatikan seperti kemungkinan lepasnya Aceh ataupun Papua termasuk yang kurang terperhatikan seperti klaim hingga lepasnya teritori negeri ini oleh negeri tetangga. Selain itu juga konflik-konflik antar perorangan – kelompok–institusi merupakan indikasi nyata bahwa negeri ini masih bermasalah dengan PERSATUAN; Masalah selanjutnya, bahwa konon di negeri ini kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat (melalui perwakilan yang duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang kemudian memberikan mandat kekuasaan rakyat tersebut kepada Presiden. Namun apakah rakyat negeri ini sudah merasakan kekuasaan yang dimandatkan tersebut ? Yang terasa adalah wakil-wakil yang lupa siapa yang telah mendudukkan dia, wakil-wakil yang sering menyakiti perasaan rakyat yang memilih mereka, wakil-wakil yang sering adu jotos dengan sesama wakil-wakil, dlsb. Wakil-wakil itu jangankan memiliki hikmat/kebijaksanaan, hal kedewasaan saja ibarat jauh panggang dari api; Dan puncak dari semua itu, negeri ini masih bermasalah dengan KEADILAN. Manusia makhluk sosial adalah takdir Tuhan dan dalam pembukaan UUD 45 telah diamanatkan dalam tujuan nasional yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya. Itulah keberadaan tertinggi manusia Indonesia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial.

Berkenaan dengan realita faktual yang terjadi di negeri ini dan di bangsa ini dan bagaimana kita mengambil sikap, saya ingin menyampaikan satu tesis sederhana tentang Pancasila, sebagai berikut: “Bahwa kelima sila dalam Pancasila terdiri dari tiga sila prasyarat, satu sila kondisi merangkap sila prasyarat dan satu sila kondisi. Sila pertama dan sila kedua adalah sila prasyarat untuk mewujudkan sila ketiga (sila kondisi 1). Setelah sila ketiga terwujud dia akan menjadi sila prasyarat bersama sila keempat untuk mewujudkan sila kelima (sila kondisi 2. Dari tesis sederhana tersebut (menurut pandangan saya), apabila negeri ini ingin mewujudkan PERSATUAN INDONESIA, maka syaratnya sila pertama dan kedua harus terwujud lebih dahulu. Bila sila pertama dan sila kedua sudah terwujud maka PERSATUAN INDONESIA secara otomatis akan terwujud dengan sendirinya. Selanjutnya bila negeri ini ingin paripurna sesuai tujuan nasionalnya yaitu dengan mewujudkan KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA, maka setelah PERSATUAN INDONESIA dapat diwujudkan, masih ada satu prasyarat lagi yang harus terpenuhi yaitu terwujudnya sila keempat. Berkaitan dengan tesis sederhana yang saya sampaikan ini, ijinkan saya untuk mengulas ataupun mengupas sila demi sila, bukan secara teoritis namun lebih secara filosofis sesuai dengan kelahiran Pancasila itu sendiri yang sarat dengan spirit para founding fathers bangsa ini  …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan pertanyaan anda disini.