Di bidang militer kepemimpinan merupakan satu faktor yang sangat penting untuk mencapai suatu tujuan. Mengenai kepemimpinan ini banyak buku yang mengulasnya. Dari banyak buku tersebut biasanya ada satu kesimpulan secara umum yaitu berkaitan dengan keahlian dalam bidangnya, keteladanan, kemampuan komunikasi, kemampuan mengelola (manajemen), dan kemampuan memberikan perhatian kepada manusia lain. Bahkan John C. Maxwell dalam bukunya “The Right to Lead” secara tegas dan lugas mengatakan: “Hak untuk memimpin bukanlah diraih lewat pemilihan atau penunjukan. Mempunyai posisi, nama jabatan, pangkat atau gelar tidaklah membuat siapapun memenuhi syarat untuk memimpin sesamanya. Kepemimpinan adalah pengaruh, tidak kurang, tidak lebih.”
Dalam bidang militer untuk dapat mempunyai pengaruh dan agar dikenang oleh anak buah sebagai seorang pemimpin yang baik memerlukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Berikut ini ada satu buku mengenai kepemimpinan yang ditulis oleh Dr Edgar F. Puryear sebagai hasil dari wawancara dari kurun waktu PD II sampai tahun 1999 terhadap ratusan jenderal bintang empat atau lima dari AD, AU, AL, dan Marinir Amerika Serikat. Judul buku tersebut adalah AMERICAN GENERALSHIP. Character is Everything: The Art of Command. Selamat membaca. Semoga bermanfaat.
Buku ini akan menambah pengetahuan dan pengertian kita tentang kepemimpinan, yang berisi contoh sifat-sifat yang sudah teruji dari pemimpin-pemimpin militer Amerika yang diwawancarai oleh penulisnya Dr Edgar F. Puryear dari kurun waktu PD II sampai tahun 1999. (Lebih dari seratus jenderal bintang empat dari AD, AU, AL, dan Marinir dia temui, juga para perwira yang pernah berada di bawah komando mereka guna memperoleh jawaban, apa kunci sukses mereka). Puryear mengkaji beberapa orang jenderal bintang lima antara lain George Marshall, Douglas MacArthur, Dwight Eisenhower, George Patton sampai dengan Norman Schwarzkopf. Dari wawancara ini dirumuskan prinsip-prinsip kepemimpinan yang konsisten dengan nilai-nilai yang dianut oleh angkatan darat Amerika seperti yang dirumuskan dalam FM 22-100. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah pengetahuan profesional, kemampuan mengambil keputusan, rasa kemanusiaan, keberanian, perhatian, pendelegasian wewenang, loyalitas, pengorbanan diri dan berkarakter. Dari beberapa prinsip tersebut yang terpenting adalah berkarakter. “There are many qualities that combine to make a leader successful. Among the most important are professional knowledge, decision, humanity, equity, courage, consideration, delegation, loyalty, selflessness, and character... . it is clear that there is absolutely nothing as important in successful leadership as character”
Buku ini terdiri dari 11 bab membahas tentang tentang detail karakteristik yang menentukan keberhasilan seorang pemimpin mulai pengorbanan diri (selflessness), pengambilan keputusan, perlunya “indera keenam” dalam mengambil keputusan, tidak menjadi “yes man”, perlunya membaca buku sebagai upaya menambah pengetahuan profesionalnya, perlunya mentorship untuk menunjang keberhasilannya, pertimbangan-pertimbangan, pendelegasian wewenang, memecahkan persoalan, dan yang lain-lain yang berkaitan dengan kepemimpinan. Disamping menguraikan mengenai kualitas yang mendukung kepemimpinan buku ini juga mendiskusikan contoh-contoh reflektif dalam kehidupan sehari-hari para pemimpin tersebut.
Dalam bab pertama dibicarakan mengenai kualitas pengorbanan diri seorang pemimpin. Mengenai pengorbanan diri ini contoh yang sangat dominan adalah Washington yang mengorbankan diri demi Amerika yang demokratis seperti sekarang ini. Apabila dia mau maka dia akan dimahkotai, hidup enak, terkenal, namun dia menolaknya karena demi kepentingan yang lebih besar. Dalam hal pengorbanan diri ini kehidupan militer merupakan contoh yang baik bagi timbulnya karakteristik ini karena tugasnya yang biasanya berkaitan dengan situasi sulit baik bagi dirinya maupun bagi keluarganya. “In many respects, the entire military is selfless, as are their families. They put up with low pay, slow promotions, frequent moves, long family separations, and period of inadequate funding for training and supply resources; sometimes they have to put up with bureucratic stupidity and self seeking politicians, often suffering a lack of recognition and appreciation, indeed sometimes the hostility of the population. On occasion, their families have tolerate poor medical care ...”. Dalam hal pengorbanan diri, ternyata hal ini merupakan sesuatu yang sulit karena semakin lama bekerja di militer dan semakin tinggi pangkatnya semakin banyak keistimewaan yang diperoleh dan posisi menjadi mapan. Dalam kondisi mapan ini biasanya para pemimpin menjadi sulit berubah atau cenderung tidak mau berubah. Seperti kata Jenderal Spaatz “ the older you are in your profession, the more you resist change”. Jadi jenderal yang baik seharusnya sangat menonjol sifat pengorbanan dirinya, sehingga mengutamakan kepentingan yang lebih besar khususnya kepentingan negaranya.
Dalam bab kedua dibicarakan mengenai pengambilan keputusan sebagai intisari dari kepemimpinan. Demikian pentingnya pengambilan keputusan itu, maka timbul suatu rumusan yaitu keputusan yang buruk lebih baik dari pada tidak mengambil keputusan sama sekali (a bad decision is better than no decision). Memang tidak ada rumusan yang pasti mengenai bagaimana mengambil keputusan. Yang jelas pengambilan keputusan itu harus dilandasi dengan informasi atau pengetahuan yang cukup mengenai suatu hal. Oleh karena itu jenderal Marshall mempersyaratkan stafnya untuk membuat paper yang walaupun bagaimana kompleksnya persoalan hanya dalam maksimum dua lembar kertas. Formatnya adalah, pernyataan masalah, faktor-faktor yang berpengaruh (pro, kontra), diskusi, kesimpulan dan terakhir yang terpenting adalah cara bertindak yang harus diambil. Atau seperti yang ditanyakan kepada jenderal Schwarzkopf tentang bagaimana metodologi pengambilan keputusan yang dijawab dengan singkat, yang pertama ketahui tugas pokok, kemudian analisis tugas pokok, dan perintahkan staf kembangkan tiga cara bertindak dengan berbagai kerugian dan keuntungannya dan giliran saya untuk mengambil keputusan. Namun ketika ditanyakan kepada Eisenhower tentang bagaimana cara mengambil keputusan, dijawab dengan singkat: “ beradalah di sekitar para pengambil keputusan dan buku “ (Be arround people making decisions and books).
Dalam bab ketiga dibicarakan mengenai peranan “perasaan” dan “indera keenam” dalam proses pengambilan keputusan. Walaupun banyak ahli tidak menyetujuinya, namun dari berbagai wawancara dengan para jenderal ternyata “perasaan” dan “indera keenam” harus dimiliki dalam memimpin anak buahnya. Suatu contoh, Eisenhower selalu berinteraksi dengan anak buahnya (seperti yang pernah dilakukan oleh jenderal M. Yusuf) dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang sangat dimengerti oleh prajuritnya untuk menyukseskan tugasnya. Pernah suatu ketika, dia mengunjungi medan pertempuran dan dia melihat anggota yang termenung di pinggir sungai. Dia bertanya, ada apa nak (how are you feeling, son?). Angota tersebut menjawab, saya sangat cemas, saya baru saja terluka dan baru sembuh, saya merasa tidak nyaman. Eisenhower menjawab, “kalau begitu kita adalah pasangan yang tepat, karena saya cemas juga. Tetapi kami sudah rencanakan serangan ini masak-masak dan sudah lama, kita punya pesawat, punya senjata, punya pasukan lintas udara yang pasti akan menghancurkan Jerman. Kalau begitu, kita jalan-jalan bersama menyusuri sungai ini”. Atau ketika di rumah sakit, seorang tamtama yang sedang antri untuk menerima donor darah berkata, (ketika Eisenhower lewat), mungkin kita bisa dapat darahnya dan kita akan jadi jenderal karenanya. Mendengar hal tersebut, Eisenhower berkata “mudah-mudahan saja engkau tidak mewarisi sifat-sifat burukku”.Dan itulah yang dilakukan Eisenhower yaitu mengunjungi rumah sakit berbincang-bincang dengan yang luka, menyebut namanya dan melakukan tindakan-tindakan lain yang manusiawi. Mengenai “perasaan” dan “indra keenam”, Norman Schwarzkof menyatakan belajar dari Kolonel Ngo Quang Truong yang posturnya digambarkan sebagai “tidak tampak” atau “tidak menunjukkan” seorang tentara tetapi sangat ditakuti oleh para komandan Vietnam Utara. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya yang luar biasa dalam menghancurkan lawan dengan tepat dan jarang meleset. Ternyata dia adalah seorang jenius yang mengadopsi taktiknya Hannibal yang digunakan pada tahun 217 SM. Disamping hal-hal yang dilakukan oleh beberapa jenderal tadi, penampilan yang mencirikan seseorang juga menentukan dalam kepemimpinannya. Sebagai contoh Eisenhower selalu menggunakan topi dan jaket yang dikenal dengan “jaket Ike” yang akhirnya dijadikan seragam tentara Amerika. (seperti yang dilakukan jenderal Wismoyo Arismunandar dengan seragam yang sebenarnya tidak sesuai Gamad, dengan kaos hitam dan lengan sempit di ujung yang menjadi ciri pada saat itu)
Dalam bab keempat dibicarakan mengenai karakteristik tidak menjadi “yes man” atau “pak turut” yang menjadi ciri khas kepemimpinan para jenderal. Seorang pemimpin militer seharusnya mempunyai sifat menerima tentangan dari anak buahnya maupun teman sejawatnya walaupun itu menyakitkan dan sangat mengecewakan. Jadi sebagai pemimpin militer yang baik sebaiknya mempunyai staf atau anak buah dengan karakteristik yang mampu memberikan saran yang benar dan tidak harus menyenangkan hatinya. Sebagai contoh, Norman Schwarzkof karena keahlian dan pengalamannya pernah membantah perintah seorang Brigjen Zeni yang tidak punya kemampuan dalam bidang operasi. Sebagai akibatnya Danbrignya Kolonel Joe Clemons karena bertanggung jawab atas tindakan Norman Schwarzkof berhenti karirnya dan seperti kita ketahui Schwarzkof karirnya terselamatkan menjadi Jenderal, karena Danbrignya menyadari bahwa apa yang disampaikan anak buahnya itu benar walaupun itu bertentangan dengan pendapat atasannya.
Seperti disampaikan di bab sebelumnya, Eisenhower ketika ditanya tentang bagaimana cara mengambil keputusan, dijawab dengan singkat beradalah di sekitar para pengambil keputusan dan buku (Be arround people making decisions and books). Maksudnya adalah membaca itu merupakan sesuatu yang penting yang akan membantu membentuk seseorang menjadi pemimpin. Jenderal Paton juga berpendapat yang sama, untuk menjadi tentara yang sukses harus tahu mengenai sejarah yang pasti diketahui dari membaca. Bahkan jenderal David C. Jones yang melayani presiden Nixon, Ford, Carter, dan Reagan yang pendidikan formalnya “rendah” namun bisa menjadi sukses karena membaca buku. Namun membaca saja tidaklah cukup untuk menjadikan seorang pemimpin yang berhasil. Contohnya adalah George McClellan. Ia adalah lulusan terbaik kedua Akademi Militer AS tahun 1846, seorang perwira Zeni. Berdasarkan prestasi akademisnya, dia ditunjuk menjadi dosen di West Point. Sebagai pengajar, kariernya melesat sehingga ia ditugaskan ke Eropa untuk mengkaji sistem pertahanan setempat bahkan sempat mengunjungi Waterloo. Kembali ke negaranya, dia membawa lebih dari 200 buku dan pengamatannya selama tugas dia tuangkan dalam sebuah laporan yang bagus, kritis, dan sangat mengagumkan. Dengan tulisannya, dia berhasil memesona pucuk pimpinan militer sekaligus meraih predikat pakar ilmu perang serta dicalonkan untuk menjabat posisi panglima. Tidak lama setelah itu, Amerika Serikat dilanda perang saudara. Semua orang menyambut gembira ketika Presiden Abraham Lincoln mengangkat McClellan menjadi mayor jenderal sambil menetapkannya sebagai panglima pertahanan ibu kota. Namun prestasinya di lapangan sangat mengecewakan. Pasukan Konfederasi berhasil menjebol pertahanannya dan membakar Gedung Putih yang saat itu sedang dibangun. Kegagalan McClellan memicu pertanyaan, bagaimana mungkin sosok yang begitu pintar, penampilan meyakinkan, pemikiran cemerlang, pada uji pertama sudah harus gagal. Kasus ini membuktikan, kemampuan mendalami ilmu perang tidak otomatis menjamin keberhasilan sebagai panglima dan komandan di lapangan. Jadi membaca saja untuk menjadi pintar tidak cukup tetapi harus juga diimbangi dengan karakter yang kuat untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil.
Dalam bab enam ditekankan pentingnya mentoring dalam mencetak pemimpin-pemimpin yang baru. Seperti yang disampaikan oleh Eisenhower untuk menjadi seorang pemimpin harus berada di sekitar pemimpin. Bahkan Jenderal W.L. Creech menyampaikan bahwa tugas utama dari seorang pemimpin adalah mencetak pemimpin yang baru. Mentorship berbeda dengan sponsorship. Mentorship ini lebih mengarah pada meritokrasi yang berbasiskan pada kemampuan. Mentorship lebih menekankan aspek memberikan petunjuk, bimbingan, konsultasi, nasehat serta pengajaran, termasuk kerelaan sang mentor untuk “membuka pintu” bagi yang dibimbing. Eisenhower menjadi jenderal juga tidak terlepas dari peran mentornya jenderal Gerow, yang mengangkatnya. Disamping itu ada juga peran temannya yaitu, Mark Clark yang ketika ditanya jenderal Marshall tentang siapa orang yang tepat untuk menduduki jabatan Kepala Divisi Operasi, berikan kepadaku sepuluh nama. Clark menjawab, “hanya ada satu nama dalam daftar itu, kalaupun harus membuatnya sepuluh, saya akan cantumkan nama yang sama untuk yang sembilan di bawahnya”, yaitu Ike Eisenhower. Mentor tidak harus selalu menyangkut pangkat yang lebih tinggi atau teman seangkatan. Sebagai contoh, kasus jenderal Shalikashvili adalah seorang sersan yaitu sersan Grice. Shalikashvili pada saat awal meniti karirnya tidak berpikir bagaimana menjadi kapten atau mayor atau pangkat yang lebih tinggi, tetapi dia hanya ingin menjadi letnan dua yang terbaik, dan sersan Grice benar-benar membimbing, mempersiapkan, dan mementori Shalikashvili menjadi letnan dua yang terbaik. Mentoring ini harus dihargai sebagai suatu pekerjaan yang berat, memerlukan waktu yang lama dan memerlukan pengorbanan pribadi yang sangat besar dalam rangka menyiapkan seorang pemimpin.
Dalam bab tujuh dibicarakan mengenai perhatian terhadap anak buah. Dalam posisi sebagai komandan, anak buah hanya menginginkan komandan memperhatikannya. Ada satu pertanyaan (diajukan ke lebih dari seratus orang jenderal berbintang empat) mengapa para prajurit itu rela bertempur dan bekerja 24 jam sehari?. Jawabannya adalah yang pertama memberi contoh bagaimana berkorban demi negara dan yang kedua harus memberikan perhatian kepada anak buah. Dengan demikian maka komandan mampu membakar semangat anak buahnya untuk setia dan bersedia mengikuti perintahnya. Jenderal Brown yang memperhatikan anak buahnya sampai hal-hal yang kecil dan mereka diperlakukan sama baik non perwira maupun perwiranya. Sebagai contoh, Brown merubah aturan buka mess pukul 06.00 sampai 08.00 yang memberatkan para tamtamanya menjadi pukul 08.00 sampai 11.00 seperti perwiranya. Masih banyak contoh yang diberikan dalam bab ini seperti yang dilakukan oleh Norman Schwarzkof yang memberikan libur kepada brigadenya yang tegang karena latihan sebelum pelantikan dirinya menjadi Brigjen.
Dalam bab delapan dibicarakan mengenai pendelegasian wewenang. Seperti kata Jenderal Marshall, “apabila anak buah tidak melakukan pekerjaannya untukmu, kamu tidak mengorganisasikannya dengan baik”. Pendelegasian wewenang ini sangat penting dlam bidang militer untuk menyelesaikan tugas pokok. Salah satu kuncinya adalah memilih orang dengan kemampuan yang baik, mendelegasikan wewenang itu, dan memberikan petunjuk yang sifatnya umum untuk menyelesaikan suatu tugas. Pendelegasian wewenang ini juga sebagai salah satu bentuk pengkaderan kepada anak buah, karena sebagai sosok pemimpin akan berusaha memberi arah kepada pemimpin-pemimpin yang masih muda. Berbicara mengenai kaitan antara pendelegasian wewenang dan keberhasilan pencapaian tugas pokok, Norman Schwarzkof berbagi mengenai pengalamannya ketika bertugas di Vietnam. “Alasan mengapa sulit menjadi komandan batalyon di Vietnam adalah karena sedikitnya orang yang bisa saya limpahi wewenang karena mereka baru saja belajar. Eisenhower menyatakan “ apabila kamu mendelegasikan sesuatu kepada bawahanmu, mutlak tanggung jawabmu dan harus diberitahukan kepadanya. Kamu sebagai pemimpin harus mengambil tanggung jawab sepenuhnya terhadap apa yang dilakukan oleh bawahanmu”.
Dalam bab sembilan dibicarakan mengenai selesaikan masalahnya dan jangan menyalahkan orang lain. Eisenhower mengatakan bahwa esensi dari kepemimpinan adalah mengambil alih tanggung jawab ketika anak buah bersalah atau gagal dan memberinya penghargaan ketika anak buah berhasil. Hal ini sangat relevan karena dalam banyak kasus sering dipertanyakan oleh para anggota di lapangan “mengapa para petinggi bisa terbebas dari kesalahan atau tanggung jawab sementara yang pangkatnya rendah cenderung disalahkan dan terkena jerat hukum”. Berani mengambil alih tanggung jawab terhadap yang dilakukan oleh bawahannya ini menjadi keharusan bagi pimpinan. Dan seharusnya pimpinan mengatakan bahwa kesalahan itu sampai disini saja atau seperti kata presiden Truman “The buck stops here”. Norman Schwarzkof melaksanakan hal ini ketika Letnan Jenderal Cal Waller salah dalam memberikan keterangan pers sehingga menyudutkan posisi presiden dalam masalah Irak. Schwarzkof mengatakan, saya lah yang bersalah karena menempatkan orang masih belum berpengalaman di lapangan untuk memberikan keterangan pers.
Dalam bab sepuluh, berbicara mengenai gambaran karakter yang terbentuk dalam kaitannya dengan pengalaman dan kehidupan para pemimpin tersebut. Hal ini berkaitan dengan upaya pencapaian untuk mencapai pangkat yang tertinggi yang digambarkan dengan cukup menarik, baik persaingan bagaimana mencapai kedudukan tersebut sampai kesulitan dan penderitaan yang dialaminya selama perjalanan karirnya. Dari pengalaman para pemimpin tersebut, tantangan pembentukan karakter itu lebih berat pada masa damai dibandingkan pada masa perang. Para pemimpin tersebut rata-rata adalah orang-orang yang sangat berdedikasi waalaupun mereka juga manusia biasa. Tantangan paling utama pada masa damai adalah godaan untuk meninggalkan kemiliteran karena peluang yang sangat terbuka dan lebih menjanjikan di lingkungan bisnis, sementara pengembangan karir di militer kurang jelas. Sebagai contoh Marshall pada umur 35 tahun masih berpangkat Letnan Satu berarti empat belas tahun setelah tamat dari akademi. Pangkatnya menanjak ketika menunjukkan unjuk kerjanya pada perang dunia pertama. Pada saat itu Marshall ditawari gaji $ 20.000 apabila mau keluar dari tentara dan bekerja untuk JP Morgan. Padahal Marshall tahu pasti sebentar lagi akan kehilangan pangkat Kolonel karena diturunkan menjadi Mayor ketika masa damai dan gajinya hanya $ 3.000, namun demikian dia tetap bertahan di militer. Lain lagi pengalaman McArthur, dia tidak menikah sampai usia 42 dan isterinya adalah seorang janda kaya. Namun isterinya mempengaruhinya bahwa lebih baik meninggalkan tentara saja karena sayang dengan kepintaran seperti itu tetap bekerja di tentara. Akhirnya McArthur memilih bercerai dari isterinya. Pengalaman tidak naik pangkat juga dialami oleh Jenderal Lawton Collins yang tetap menjadi Letnan selama 17 tahun, sama seperti yang dialami oleh Nathan F. Twining. Lain lagi pengalaman Norman Schwarzkof yang terus mau bertahan di militer karena keprihatinannya ketika masa Letnan menghadapi para senior yang tidak kompeten sama sekali. “Hanya ada dua pilihan yaitu keluar dari tentara atau tetap bertahan. Kalau tetap bertahan suatu saat kelak kalau pangkatnya lebih tinggi bisa memperbaiki kondisi tersebut. Kalau meninggalkan tentara maka akan diisi oleh orang yang tidak kompeten. Saya tidak ingin yang tidak kompeten itu menang”. (“There are two ways to approach it.Number one is to get out; number two is to stick arround. Someday, when you have more rank, fix the problem. But don’t forget, if you get out, the bad guys will win. I didn’t want the bad guys to win”). Karir di bidang militer bukan merupakan pekerjaan dengan bayaran yang tinggi atau nyaman dan mudah. Sesungguhnya merupakan pekerjaan yang berbahaya. Apa yang menjadi motivasi banyak orang untuk bertahan? Yang terutama adalah cintanya pada Tuhan dan Negara.
Dalam bab terakhir dibicarakan mengenai hasil dari wawancara tersebut dapat dirumuskan dalam pola-pola secara umum yang menentukan keberhasilan seseorang menjadi pemimpin. Memang sangat banyak karakteristik yang membuat seseorang itu menjadi pemimpin. Karakteristik tersebut antara lain adalah pengetahuan profesional, kemampuan mengambil keputusan, rasa kemanusiaan, keberanian, perhatian, pendelegasian wewenang, loyalitas, pengorbanan diri dan berkarakter. Namun dari semua itu rasanya belum cukup karena kepemimpinan ini juga merupakan suatu seni. Jenderal Eisenhower misalnya melukiskan dengan kata “born to command” yaitu memang ada potensi pada sejumlah orang untuk bisa jadi panglima, sebagaimana potensi seseorang untuk jadi seniman terkenal, tetapi langkah ke sana tidak akan mungkin tanpa mengikuti latihan berikut terbukanya peluang untuk mengekspresikan talentanya. Jenderal Omar Bradley menilai, sebagian panglima memang punya bekal ciri lahir; semisal raut tubuh, kecerdasan, keseimbangan jiwa, berikut tingginya sikap ingin tahu. ”… namun demikian, semuanya memerlukan latihan, pengalaman, sekaligus jam terbang. Maka, keberhasilan memenuhi tuntutan profesi merupakan syarat mutlak suksesnya kepemimpinan.”. Dari sisi lain, perlu kualitas tertentu untuk bisa menjadi komandan atau panglima seperti yang disebutkan di atas, namun yang terpenting adalah berkarakter seperti kata Jenderal Lucian Truscott. Jenderal Carl Spaatz, Panglima Udara AS dalam Perang Dunia II, mengatakan, ”Seorang panglima tidak boleh peragu. Harus tanggap situasi dan berani mengambil keputusan. Ragu- ragu merupakan ciri utama lemahnya karakter pribadi”
Budiman S. Pratomo
Kasubbag Puspeng, Pusinfolahta TNI
Good story about leadership. Tx, sir
BalasHapusselain buku ini? apa ada buku lain terkait model kepemimpinan militer?
BalasHapus