Pada suatu kesempatan mengobrol empat
mata, seorang senior (beliau mantan Kasad) mengatakan kepada saya, bahwa
Pancasila ibarat “ koreksi nol “bagi Bangsa dan bagi Negeri ini. Ibarat peluru
meriam yang bergeser perkenaannya beberapa puluh meter, maka untuk dapat
memperbaiki agar perkenaan sedekat mungkin dengan sasaran dilaksanakan koreksi nol menggunakan
perangkat bidik. Demikian juga ketika banyak yang menyimpang di Bangsa ini dan
di Negeri ini, maka hanya Pancasila yang dapat mengembalikannya. Karena
Pancasila dengan Bangsa dan Negeri ini ibarat sebuah Meriam dengan Perangkat
Bidiknya. Bayangkan sebuah meriam ditembakkan tanpa menggunakan perangkat
bidik, bisa jadi peluru kena pada sasaran atau juga peluru nyasar menghujam
pasukan sendiri. Kira-kira seperti itulah yang terjadi di negeri ini, ada arah
yang sudah sesuai dengan haluan yang diinginkan namun lebih banyak lagi arah
yang menuju entah kemana. Mengapa demikian?, karena Pancasila hanya dipandang
sebagai simbol keramat semata dan tidak
(pernah) digunakan sebagai haluan untuk mengarahkan negeri ini.
Realita faktual yang kita
lihat di negeri ini, antara lain: Negeri ini masih berkutat tentang KETUHANAN,
karena walaupun sebagian besar rakyat negeri ini mempunyai agama, apakah itu
Hindu, Budha, Kong Fu Tsu, Kristen ataupun Islam tetapi sesungguhnya sebagian
besar diantara mereka tidak beragama. Mempunyai agama tidak otomatis beragama,
ibarat kita punya baju, tetapi belum tentu kita berbaju (contoh: saat mandi).
Seandainya seluruh rakyat negeri ini beragama maka tidak akan terjadi korupsi,
tidak akan terjadi pembalakan hutan, tidak akan terjadi tindakan semena-mena
apakah terhadap sesama manusia maupun makhluk ciptaan TUHAN lainnya; Bangsa ini
juga masih bermasalah dengan KEMANUSIAAN, karena banyak rakyat negeri ini yang
tidak menyadari bahwa dia adalah manusia. Karena tidak menyadari keberadaannya
sebagai manusia, dia tidak dapat berinteraksi secara manusia dengan sesama
manusia maupun kepada makhluk hidup lain, dan lebih parah lagi sadar atau tidak
disadari telah membuat manusia menjadi bukan manusia. Padahal sebagai seorang
manusia, justru harus bisa memanusiakan manusia; Dalam hal PERSATUAN negeri ini
pun masih bermasalah. Keutuhan wilayah negeri sedang terancam, baik yang selalu
terperhatikan seperti kemungkinan lepasnya Aceh ataupun Papua termasuk yang
kurang terperhatikan seperti klaim hingga lepasnya teritori negeri ini oleh
negeri tetangga. Selain itu juga konflik-konflik antar perorangan – kelompok–institusi
merupakan indikasi nyata bahwa negeri ini masih bermasalah dengan PERSATUAN;
Masalah selanjutnya, bahwa konon di negeri ini kekuasaan tertinggi ada ditangan
rakyat (melalui perwakilan yang duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang
kemudian memberikan mandat kekuasaan rakyat tersebut kepada Presiden. Namun
apakah rakyat negeri ini sudah merasakan kekuasaan yang dimandatkan tersebut ?
Yang terasa adalah wakil-wakil yang lupa siapa yang telah mendudukkan dia,
wakil-wakil yang sering menyakiti perasaan rakyat yang memilih mereka,
wakil-wakil yang sering adu jotos dengan sesama wakil-wakil, dlsb. Wakil-wakil
itu jangankan memiliki hikmat kebijaksanaan, kedewasaannyapun ibarat jauh
panggang dari api; Dan puncak dari semua itu, negeri ini masih bermasalah
dengan KEADILAN. Manusia makhluk sosial adalah takdir Tuhan dan dalam pembukaan
UUD 45 telah diamanatkan dalam tujuan nasional yaitu membangun manusia
Indonesia seutuhnya. Itulah keberadaan tertinggi manusia Indonesia dalam
kapasitasnya sebagai makhluk sosial.
Berkenaan dengan realita
faktual yang terjadi di negeri ini dan di bangsa ini dan bagaimana kita
mengambil sikap, saya ingin menyampaikan satu tesis sederhana tentang Pancasila,
sebagai berikut: “Bahwa kelima sila dalam Pancasila terdiri dari tiga sila
prasyarat, satu sila kondisi merangkap sila prasyarat dan satu sila kondisi. Sila
pertama dan sila kedua adalah sila prasyarat untuk mewujudkan sila ketiga (sila
kondisi 1). Setelah sila ketiga terwujud dia akan menjadi sila prasyarat bersama
sila keempat untuk mewujudkan sila kelima (sila kondisi 2. Dari tesis sederhana
tersebut (menurut pandangan saya), apabila negeri ini ingin mewujudkan
PERSATUAN INDONESIA, maka syaratnya sila pertama dan kedua harus terwujud lebih
dahulu. Bila sila pertama dan sila kedua sudah terwujud maka PERSATUAN INDONESIA
secara otomatis akan terwujud dengan sendirinya. Selanjutnya bila negeri ini
ingin paripurna sesuai tujuan nasionalnya yaitu dengan mewujudkan KEADILAN
SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA, maka setelah PERSATUAN INDONESIA dapat
diwujudkan, masih ada satu prasyarat lagi yang harus terpenuhi yaitu
terwujudnya sila keempat. Berkaitan dengan tesis sederhana yang saya sampaikan
ini, ijinkan saya untuk mengulas ataupun mengupas sila demi sila, bukan secara
teoritis namun lebih secara filosofis sesuai dengan kelahiran Pancasila itu
sendiri yang sarat dengan spirit para founding fathers bangsa ini.
( Bersambung . . . )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan pertanyaan anda disini.